Long Flight

Koridor rumah sakit semakin menyempit di mata laki-laki bersurai jingga tersebut. Kepalanya masih terbebat kain kasa tebal, tangannya sendiri masih gemetaran bertumpu pada dinding koridor rumah sakit. Para perawat pun menghalangi jalannya untuk pergi dari ruangannya.  “Tolong sus, biarkan saya pergi! Saya perlu bertemu dengan Luna!” “Maaf Mas tapi, Mas Jay masih belum boleh keluar dari ruangan ini ... Mbak Luna sendiri masih ada di dalam ruang ICU,” ucap perawat. “Tapi, saya harus bertemu dengannya sus!” bentak pria bertubuh atletis setinggi 178 sentimeter itu sembari mencoba melepaskan rengkulan tangan para perawat pria yang mencekalnya. “Mas Jay tenang dulu ya Mas, Mas Jay kan harus sembuh dulu biar bisa ketemu Mbak Luna.” “Kamu pikir aku ini anak kecil, lepasin aku harus bertemu Luna!” “Mas dengarkan kami, ini juga demi kebaikan Mas Jay,” ucap salah satu perawat sembari terus membujuk pria bernama Jay itu agar mau kembali ke ruang rawatnya. Namun usaha mereka sia-sia, pria bernama Jay itu terlepas dan berjalan menjauhi mereka tertatih dengan bertelanjang kaki. Bertumpu pada dinding dingin koridor rumah sakit, sesakali meracau tidak jelas. “Jay!” Seorang pria paruh baya yang terlihat tegap di balik seragam dinasnya memanggil Jay dengan suara lantang juga tegas, tangannya terkepal keras menahan seluruh emosinya. Arjuna. Laki-laki itu memegangi bahu Jay erat, mata elangnya menusuk kornea mata Jay tajam namun, Jay tetap saja Jay seperti hilang kendali. “Tatap mata saya saya!” bentak Arjuna keras. Mata Jay masih saja bergetar tak fokus, Jay sadar bahwa ayah Luna sedang mencoba menenangkannya tetapi, bayang-bayang kecelakaan yang ia alami beberapa minggu lalu masih menjadi momok menyeramkan baginya, ia takut, ia marah pada dirinya sendiri. “Om, bagaimana keadaan orang itu? Lalu bagaimana dengan Luna?” tanya Jay. “Tenanglah Jay, semua baik-baik saja.”  “Tapi, kecela—“  “DIAM! SAYA BILANG DIAM YA DIAM! LUPAKAN ORANG ITU!”  “Orang itu kemungkinan mati Om!” balas Jay tanpa mengindahkan perkataan Arjuna.  “Tidak ada yang mati dalam kecelakaan itu Jay, tenanglah!” Arjuna mengguncang bahu Jay keras namun, Jay masih berusaha menegaskan opininya.  KEPLAK!  Sebuah tamparan keras membuat Jay terdiam seperti orang linglung, tubuhnya semakin melemas karena tamparan tiba-tiba itu.  Arjuna mencengkeram kerah seragam rumah sakit yang dikenakan Jay, hingga kusut tak terbentuk. “Dengarkan saya Jay, mulai saat ini lupakan apa yang sudah terjadi beberapa minggu yang lalu. Tidak ada yang mati dalam kecelakaan itu, semua selamat.” Napas Jay tampak tak beraturan. “Ti—tidak ada yang mati, Om?” ulangnya.  Arjuna mengangguk. “Benar, tidak ada yang mati. Mulai sekarang lupakan kejadian ini, jangan mengatakan hal ini di depan Luna.”  Dengan lemas ia mengangguk, tubuhnya merosot ke lantai, seperti tidak ada yang menahan tubuhnya, perlahan air matanya berjatuhan, ia emosi, ia hampir depresi setiap saat dihantui rasa bersalah. Dan mulai saat ini juga ia harus berpura-pura tidak pernah mengalami kecelakaan itu.