bc

Symphony of Autum (Bahasa Indonesia)

book_age16+
796
FOLLOW
3.4K
READ
independent
CEO
heir/heiress
drama
bxg
city
friendship
tortured
virgin
office lady
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan Reyner Saputra terlihat begitu sempurna, setidaknya begitulah persepsi publik terhadapnya. Paras lelaki itu rupawan, memiliki jabatan, popularitas dan harta yang berlimpah.

Namun itu semua hanyalah topeng kepalsuan yang dikenakannya. Di balik topeng, terdapat seorang lelaki rapuh yang memiliki masa lalu kelam dan luka yang begitu dalam dan buruk hingga hampir mustahil untuk disembuhkan.

Hingga takdir mempertemukan lelaki itu dengan seseorang yang menawarkan diri untuk mengobati luka hatinya. Sanggupkah ia membuka dirinya?

chap-preview
Free preview
Bab Satu
"Pelaku p*********n bocah MS yang selama ini menjadi buronan polisi telah ditangkap--" Ucapan reporter wanita yang terdengar melalui speaker pada televisi terputus ketika mendadak televisi itu dimatikan. Seorang lelaki muda berambut hitam yang sedang duduk menonton televisi itu memutuskan untuk mematikan televisi dengan mengerahkan sekuat tenaga. Sekujur tubuhnya mulai bergetar dan ia menundukkan kepala.   Ini bukanlah kali pertama lelaki itu mengalami hal seperti ini. Faktanya ia sudah berkali-kali mengalami hal yang sama. Biasanya ia akan merasa mual dan berakhir dengan mengeluarkan seluruh isi perutnya melalui mulut.   Kali ini pun ia merasa mual. Ia segera menuju kamar mandi dengan setengah berlari dan mengeluarkan isi perutnya di kloset sambil membayangkan masa lalu yang begitu ingin dilupakannya selama lebih dari dua dekade namun sama sekali tidak bisa dilupakannya.   Lelaki itu mengeluarkan seluruh isi perutnya dan menekan tombol flush ketika selesai. Kini tubuhnya terasa agak lemas dan wajahnya terlihat pucat. Ia segera berjalan ke wastafel dan mencuci mulutnya serta mengusap air mata yang entah sejak kapan menetes di pipinya, memperlihatkan ekspresi yang tak akan pernah ia perlihatkan pada siapapun selain dirinya sendiri. . . Reyner mengeluarkan sebuah pil dari botol plastik dan segera memasukkannya ke dalam mulutnya serta menenggak segelas air yang telah ia persiapkan.   Pagi ini mood-nya benar-benar kacau setelah menyaksikan berita di televisi yang membangkitkan traumanya. Jantungnya bahkan berdebar-debar dan nafasnya terasa sesak. Kenangan buruk di masa lalu terus menerus berputar di otaknya bagaikan sebuah film yang begitu nyata.   Dan kini hidupnya bergantung pada pil anti depresan yang dikonsumsinya setiap hari. Pil-pil itulah yang membantunya untuk tetap berfungsi layaknya manusia normal lainnya. Matanya menatap guratan bekas luka tusuk di bagian perut dan dadanya serta bekas sayatan di bagian pergelangan tangannya. Inilah yang didapatnya ketika ia memutuskan untuk tidak mengkonsumsi pil-pil itu. Ia merasa dirinya begitu kotor dan menjijikan serta begitu tak berharga. Ia  berpikir tak seorang pun di muka bumi ini menginginkannya sehingga ia memutuskan untuk melakukan percobaan bunuh diri.Kemudian ia berakhir dengan menghabiskan beberapa minggu di ruang perawatan intensif di rumah sakit.   Tak seorang pun mengetahui pengalaman di masa lalunya selain orang tua dan kakak laki-lakinya. Kedua orang tuanya melarangnya untuk bercerita pada siapa pun untuk menjaga image. Sangat memalukan jika putra bungsu dari pemiliki grup perusahaan yang bergerak di berbagai bidang ternyata merupakan korban sodomi yang dilakukan beberapa kali oleh sesama laki-laki.   Sebagai putra yang berbakti, Reyner, memutuskan untuk menuruti permintaan orang tuanya untuk tak pernah bercerita pada siapapun. Setidaknya orang tuanya masih cukup peduli padanya dengan membesarkan dan mengirimnya ke psikiater meski tampaknya mereka kecewa karena memiliki anak yang mengalami gangguan mental. . . "Kenapa banyak sekali orang sakit jiwa di jaman sekarang sih?" keluh Hana tepat setelah membaca berita online di ponselnya.   Nadya, menatap sahabat berambut cokelatnya yang duduk di hadapannya. Wanita itu terlihat benar-benar jengkel setelah membaca sesuatu di ponselnya.   "Apa yang kau baca, sih?"   "Seorang anak laki-laki menjadi korban sodomi. Gila sekali, kan? Masa menyodomi anak-anak?"   Perempuan berkulit kuning langsat itu mengangkat gelasnya dan meneguk teh sebelum mengeratkan pegangan pada cangkir gelasnya hingga buku-buku jarinya memutih.   "Memang sangat gila. Kalau aku menjadi orang tuanya, akan kupotong alat kelamin si pelaku dan kuberikan pada hewan liar untuk dijadikan makanan," ucap Nadya dengan berapi-api. Sebagai wanita, ia merasa kesal dengan berita seperti itu dan membayangkan jika anaknya yang menjadi korban.   UcapanNadya terdengar mengerikan dan wanita itu terlihat penuh dengan emosi. Inilah salah satu kesamaan yang membuat kedua wanita itu menjadi sahabat, mereka berdua sama-sama tertarik dengan berita terkini dan bisa membahasnya dengan berapi-api seperti ini.   Kedua wanita itu adalah sahabat sejak sekolah dasar yang melanjutkan pendidikan di sekolah dan universitas yang sama serta bekerja di gedung perkantoran yang sama, hanya saja berbeda perusahaan. Kini, Nadya dan Hana memutuskan untuk bertemu dan menghabiskan jam makan siang bersama serta membahas berita terkini.   "Kudengar katanya sodomi bisa mempengaruhi orientasi seks korbannya, lho. Saat sudah besar nanti si anak bisa menjadi homoseksual," ujar Hana.   Nadya meringis, "Kuharap sih, tidak. Kasihan sekali orang tuanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula."   Entah kenapa, emosi merasuki perempuan berkulit kuning langsat itu dikuasai emosi yang lain. Ia mendadak teringat akan kasus pelecehan yang umumnya kerap menyasar kaum hawa sehingga ia menghela napas dalam-dalam dan berkata dengan suara yang agak keras tanpa ia sadari, "Yah, mungkin saja ini karma dari Tuhan. Selama ini kaum pria selalu melakukan pelecehan seksual. Sekarang biar mereka rasakan bagaimana rasanya menjadi korban."   Hana tak sadar jika seorang lelaki yang duduk di belakangnya sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Lelaki itu merasa tidak tahan lagi ketika mendengar ucapan Hana. Ia merasa benar-benar tersinggung.   Nadya terkejut ketika melihat lelaki di belakang Hana bangkit berdiri dan berjalan ke mejanya. Ia segera berkata, "Han ...."   Sang lawan bicara mengernyitkan dahi, tak menyadari jika seorang lelaki kini berdiri di depan mejanya dan menatapnya dengan tajam.   "Kenapa?"   Nadya terdiam dan menatap ke arah lelaki itu. Hana yang merasa heran segera mengikuti arah pandang Nadya dan mendapati seorang lelaki sedang berdiri diam sambil menatapnya dengan raut wajah sinis. Terlihat jelas bahwa lelaki itu merasa tidak senang.   "Ada apa, ya?" ucap Hana sambil mengernyitkan dahi, merasa tak nyaman dengan orang asing yang berdiri di depan mejanya sambil menatapnya dengan intens.   Reyner terdiam sejenak, ia sendiri tak tahu mengapa ia mendadak menghampiri wanita itu. Tak biasanya ia bersikap seperti ini, dan ia berharap ini bukan karena obat yang dikonsumsinya. Mendadak ia merasa tersinggung ketika mendengar ucapan wanita yang berada tepat di belakangnya dan ia menghampiri wanita itu tanpa berpikir panjang.   "Kurasa tak ada seorangpun yang mau menjadi korban pelecehan seksual. Kalau kau pernah menjadi korban, kau pasti mengerti bagaimana rasanya," ucap Reyner dengan suara datar, seolah tanpa emosi meskipun hatinya sudah menjerit.   Hana hanya bisa terdiam, sementara Nadya merasa terkejut. Kini ia bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas dan mengenalinya. Lelaki itu adalah pemilik gedung ini yang perusahaan keluarganya menempati setidaknya setengah dari keseluruhan gedung. Logo perusahaannya bahkan terpampang besar-besar di luar gedung serta dijadikan nama gedung ini. Wajah lelaki itu juga pernah muncul di majalah maupun portal berita daring sehingga ia mengenalinya.   Nadya merasa ngeri ketika menyadari lelaki itu adalah orang yang berpengaruh dan mungkin saja bisa melakukan sesuatu untuk mencelakai Hana. Ia cepat-cepat menundukkan kepala dalam-dalam, "Maafkan temanku ini. Kata-katanya memang agak keterlaluan."   "Ya."   Reyner mengangguk sekilas dan tak berniat menghabiskan sedetik lebih lama di tempat itu. Iasegera melangkah meninggalkan meja dan berjalan menuju kasir, tak lagi kembali ke mejanya. Ia tak mempedulikan Nadya yang terus menundukkan kepala karena canggung meski bukan ia yang berbicara sembarangan.   Hana mengernyitkan dahi melihat reaksi sahabatnya yang benar-benar aneh. Namun ia tak peduli dan segera berdecak kesal, "Dasar laki-laki aneh." . . Reyner menepuk pipinya sendiri. Sejak tadi sudut bibirnya terangkat secara refleks dan membentuk seulas senyum meski sebetunya ia tak memiliki alasan untuk tersenyum. Obat yang tadi pagi dikonsumsinya membuatnya bereaksi seperti ini dan sedikit mempengaruhi emosinya, hingga terkadang membuatnya merasa bingung akan kepribadiannya sendiri.   Kemarin lelaki itu merasa dirinya benar-benar aneh. Seharusnya ia tak akan merasakan emosi negatif berkat obat anti depresan yang dikonsumsinya. Namun ternyata ia masih merasa tersinggung mendengar ucapan wanita tak dikenal, dan ia bahkan tanpa sadar melabrak wanita itu. Biasanya ia tak akan pernah melakukan hal semacam ini. Namun kemarin ia malah melakukan hal itu tanpa sadar dan ia berharap agar tindakannya tak akan merusak image pribadi maupun image perusahaan.   Terdengar suara ketukan di pintu dan ia segera mengalihkan pandangan dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota. Ia segera menatap kearah pintu dan mendapati pintu telah terbuka.   Seorang wanita berambut hitam bergelombang yang berusia empat puluh awal masuk bersama dengan seorang wanita muda berambut coklat  dan seorang laki-laki berambut coklat yang tampak canggung.   "Selamat pagi, Pak. Saya berniat memperkenalkan dua karyawan yang baru bergabung di perusahaan."   Reyner hanya menganggukan kepala. Matanya tertuju pada wanita muda yang kepalanya agak tertunduk itu.   "Perkenalkan, ini Hana. Dia adalah assistant manager bagian keuangan yang menggantikan Karina." Hana segera mengangkat kepalanya dan menatap sosok sang direktur. Hari ini merupakan hari pertamanya bekerja di perusahaan berskala besar yang sejak dulu menjadi impiannya. Ia merasa benar-benar senang ketika akhirnya diterima bekerja di perusahaan ini dengan gaji dan jabatan yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan sebelumnya. Rasanya ia sangat beruntung bisa diterima bekerja di perusahaan ini berkat sahabatnya, Andrew.   Seketika Hana membelalakan mata saat ia mengangkat kepala dan mendapati lelaki yang duduk di kursi direktur. Lelaki itu memiliki kulit putih bersih dengan bibir tipis, hidung mancung dan mata hitam kelam yang besar namun tajam.   Rasanya ia pernah melihat wajah lelaki ini sekilas entah dimana. Namun ia segera menundukkan kepala dalam-dalam mengikuti manajer HRD yang sedang menundukkan kepala. "Dan ini Riko, karyawan bagian pemasaran."   Hana mengangkat kepalanya dan lelaki di sampingnya kini tersenyum ramah pada sang atasan. Ia menyadari kalau lelaki berambut hitam itu menatapnya dengan tajam, namun ia segera menghindari tatapan lelaki itu.   "Selamat atas bergabungnya kalian sebagai karyawan perusahaan ini," ucap Reyner sambil mengakhiri kalimat dengan seulas senyum.   "Terima kasih," sahut Hana dan lelaki disampingnya secara serempak sambil membalas senyuman sang direktur.   Riko segera berjalan menuju pintu, mengikuti manajer HRD yang berniat meninggalkan ruangan. Hana baru saja akan meninggalkan ruangan ketika mendadak namanya dipanggil.   "Hana."   Hana segera menoleh dan mendapati lelaki itu sudah menatapnya,"Bisa bicara sebentar?"   "Tentu saja," sahut Hana sambil memaksakan diri untuk tersenyum meskipun sudut bibirnya bergetar karena gugup.   Sang direktur masih tetap tersenyum, namun tatapannya tajam. Reaksi lelaki itu agak aneh dan berlawanan, membuat Hana merasa heran.   "Kemarin kita bertemu di kafe, kan?"   Hana terkejut setengah mati mendengar ucapan lelaki itu. Kini ia benar-benar ingat siapa lelaki itu, dan mendadak ia merasa agak ketakutan. Lelaki itu adalah direktur di perusahaan barunya dan ia tak ingin kehilangan pekerjaan di hari pertama bekerja.   Ia segera tersenyum kikuk dan meremas kedua telapak tangannya, "Benarkah? Kurasa anda salah mengenali orang."   "Kau bersama wanita berambut hitam lurus yang matanya besar itu, kan?"   Jantung Hana berdegup keras. Sungguh sial dirinya, lelaki itu memiliki ingatan yang begitu tajam. Reyner menyadari kalau wanita dihadapannya gugup. Ia hanya memastikan kalau ingatannya mengenai wanita itu memang benar, dan wanita itu terlihat tidak nyaman.   Hana merasa sangat tidak enak. Ia ingin meminta maaf, namun di sisi lain ia tak mengerti mengapa lelaki itu tampak begitu marah ketika ia sama sekali tidak membicarakan lelaki itu. Rasanya reaksi lelaki itu terlalu berlebihan.   "Ya. Sepertinya kemarin kita memang bertemu. Apakah anda memiliki trauma hingga bereaksi terhadap ucapan saya kemarin?"   Seketika Reyner terbelalak dan ia terdiam. Ia terkejut karena pertanyaan wanita itu begitu blak-blakan dan begitu tepat sasaran.   Hana sendiri terkejut dengan ucapannya sendiri. Ia merasa ingin menangis merutuki kebodohannya sendiri. Rasa penasaran akan sikap lelaki yang aneh itu membuatnya berbicara tanpa berpikir sama sekali.   Hana merasa ingin menangis. Ia tak ingin kehilangan pekerjaan di hari pertamanya bekerja. Ia baru saja akan meminta maaf, namun lelaki itu segera berkata, "Perhatikan ucapanmu ketika berbicara dengan orang lain. Kembalilah ke ruanganmu."   Ucapan lelaki itu terlihat datar dan sudut bibirnya agak terangkat. Hana merasa heran dengan reaksi lelaki itu yang aneh, namun ia cepat-cepat meminta maaf dan meninggalkan ruangan. Lelaki aneh itu membuatnya penasaran entah kenapa. Ia merasa jika ada yang salah dengan lelaki itu    -Bersambung-

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Rujuk

read
909.1K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook