bc

Bintang Di Ujung Senja

book_age16+
201
FOLLOW
1.3K
READ
others
friends to lovers
goodgirl
confident
dare to love and hate
twisted
sweet
basketball
first love
chubby
like
intro-logo
Blurb

Indra dan Rasti, memiliki sebuah hubungan yang menjadi 'relationship goals' bagi sebagian besar remaja lainnya.

Hubungan yang sehat, saling mendukung satu sama lain.

Bukan cinta yang justru menjerumuskan pada hal hal yang negatif.

Hingga seorang Bintang datang, menggoyahkan perasaan keduanya.

Memberikan pengertian bahwa cinta yang agung bukan tentang bagaimana memilik orang yang disayang, namun saling mendo'akan dan menitipkan segala perasaan pada Tuhan, itulah sebaik baiknya cara menitipkan cinta pada dia yang belum halal.

Saat perasaan Indra terbelah antara Bintang dan Rasti, siapa yang akhirnya akan dia pilih?

chap-preview
Free preview
Pacaran Positif
"Mending pacaran tapi tetap positif, Apa gak pacaran tapi pikirannya negatif, Hayooo...!" INDRA. _____ "Finish!" Sambil mengembuskan napas lega, gadis manis berambut lurus sebahu itu menutup lembaran buku catatan di hadapannya. Kupusatkan perhatian padanya. Menopang kepala dengan tangan kiri yang berdiri tegap menyangga di atas meja kaca setinggi 50cm di depanku. "Gimana?" Mata yang berbinar, juga senyum yang mengulum bak sabit di awal bulan itu membuat pandanganku tak bisa berpaling. Mungkinkah ini yang dinamakan candu?? Saat kedua matamu tak mampu lepas dari salah satu bagian wajah berwarna merah merona yang tertarik di setiap sudutnya itu. Rasanya seperti.... Ah Indraaa... Mikir apa sih kamu ini!! "Oke fix!! Ulangan besok aku pasti dapet nilai di atas 90!!" Dengan semangat empat lima, dia mengangkat kedua tangannya yang terkepal. "Yakin? Kalo ternyata di bawah itu, gimana?" Kegiatan menyenangkan yang mampu membuat mood buruk menjadi baik, yang lelah menjadi sumringah, dan letih menjadi segar kembali adalah, menggoda dia, gadisku. "Kamu aku pecat jadi pacar!!" Lalu dia tertawa. Sedang aku, sedikit tercengang dengan ucapannya. Bukan bermaksud meragukan kepintarannya. Aku percaya Rasti, dia gadis cerdas yang membanggakan. Hanya saja, menjadikan hubungan sebagai taruhan itu...rasanya kayak ada nyesek-nyeseknya gitu. "Hey... Aku cuma becanda, jangan kaku gitu dong!" Menyadari reaksiku yang mendadak gagu, dia mengguncang tubuhku pelan. Dan demi senyum manisnya, aku ikut tersenyum. Meski masih sedikit kaku. "Iya, Ras. Aku percaya kok, kamu bisa ngelakuin yang terbaik besok," kuusap pelan kepalanya. Sebagai tanda betapa aku begitu menyayanginya. Sayang yang teramat sangat sayang. Tatapan mata kami beradu. Saat itu, rasanya seperti di dunia hanya ada aku dan dia. "Rasti." Oopss... Setidaknya sebelum tante Rena datang. "Udahan belajarnya?" Menyadari kehadiran tante Rena yang semakin mendekat, kami saling beringsut menjauh. Kulihat, dia bahkan sedikit gelagapan. Mungkin karena belum siap menjauh dariku. Asal tau saja, kalau Rasti punya bibir ranum yang menggoda, aku juga tak kalah memesona. Ada mata yang bila kukedip sekali, para wanita mulai salah tingkah. Kedipan dua kali, mereka bisa langsung terpesona. Dan di kedipan yang ketiga, aku yakin mereka pasti akan tegila-gila. "Ndra, kamu nggak apa-apa?" Sentuhan lembut di bahu membuat aku tersadar. "Eh, a-apa tante?" Sumpah, aku gak tau kenapa tante Rena menatapku dengan tatapan aneh begitu. Kucari tahu lewat Rasti, gadis itu malah tertawa kaku. Dan justru semakin terpingkal-pingkal di saat aku semakin tak paham apa yang terjadi. Aah Rasti!! "Kamu tadi kenapa, Ndra? Kedipin mata sambil meringis begitu. Kamu sakit?" Ya Tuhan!! Ternyata itu sebabnya!! Guys, berhayal itu perlu. Tapi coba lihat dulu di sekelilingmu. Jangan biarkan karena hayalan itu, harga dirimu jadi jatuh!! "Enggak, tante." Sambil menggaruk rambut yang sebenarnya tak gatal, aku meringis menahan malu. "Mungkin dia laper, Ma." Semakin puas saja dia menertawakanku. Gadis itu, benar-benar tidak berperikekasihan. Sudah tau pacarnya ini sedang malu setengah gila di depan calon mertua, dia malah asik menertawai. "Kamu jangan ketawa terus dong Ras. Mendingan kamu ambil cemilan gih di dapur. Kasihan Indra, dia pasti capek ngajarin kamu yang rada bebal itu." Thanks tantee, tante Rena memang calon mertua idaman banget!! "Mama!! Kok malah mojokin Rasti, sih!" Protes dengan nada manja andalannya. Huhuhuuuu.... Puas rasanya liat dia kalah. 'Satu sama!' Kuucapkan kata itu tanpa suara. Hanya bibir yang bergerak-gerak, juga tangan yang memperagakan. Kemudian kujulurkan lidah sambil memutar bola mata ke arahnya, di sebalik pandangan tante Rena tentunya. Dan gadis itu, membalasnya dengan pelototan tajam juga muka masam yang terlipat. "Udah-udah, gak usah pada ledek-ledekan gitu. Mama cuma becanda, Ras. Kalian berdua sama membanggakannya buat Mama." Sambil merapikan buku pelajaran yang berserakan di meja, tante Rena kembali bersuara, "Rasti, ayo dong. Ambil makanannya buat Indra." "Iya, Ma." Jawabannya terdengar malas, dari cara berjalannya menuju dapur juga terlihat tak bersemangat. Tapi, apa aku peduli? Anggap saja ini sebagai hukuman karena sudah menertawaiku tadi. *** Beginilah senangnya punya pacar lima puluh langkah dari rumah. Bisa main berlama-lama, berangkat siang pulang petang. Kedua orangtua juga  saling tahu dan sudah membagi restu. Jadi, tidak ada lagi tuh yang namanya kekhawatiran atas retaknya jalinan kasih sayang yang terhalang restu orang tua, kayak cerita di tivi-tivi. "Aku pulang ya, Yank." Berjalan beriringan menuju pintu depan, sambil menggenggam erat tangannya. "Iya. Hati-hati nyebrangnya. Tengok kanan-kiri dulu. Kalo pas nengok ternyata ada cewek cantik, buru-buru liat ke depan terus Istighfar sebanyak-banyaknya." Dia itu...kadang sok ngelucu, sok ngelawak, sok ngegemesin, dan sedikit aneh. Tapi...lebih sering ngangeninnya sih. "Siap, Ibu Presdir!!" Kujawab sambil mengangkat tangan kanan dan menempelkannya di dahi. Berlagak layaknya ajudan yang baru saja menerima mandat dari tuannya. Dia balas hormat, tapi tak lama ia menurunkan tangan. Aku mengikuti. Rasti itu, suatu anugerah terindah yang Tuhan berikan. Memiliki pacar seperti dia, adalah sebuah keberuntungan. Iya beruntung. Karena saat aku lelah, dia yang memberi semangat, dia yang mengajariku arti kepercayaan, bersamanya aku jadi mengerti arti ketulusan. Kami ada untuk saling melengkapi. Begitulah kesimpulannya. Kadang aku suka heran sama mereka-mereka yang punya pemikiran keras. Para anti-pacaran. Yang anggep pacaran itu lebih banyak mudharatnya daripada faedah nya. Kata siapa?? Menurutku, itu tergantung dari manusianya aja. Kalo manusia itu punya pikiran kotor dan bernapsu binatang, mau pacaran atau enggak, dia pasti tergoda liat cewek-cewek di luaran sana. Lain lagi kalo manusia itu punya pikiran teguh, dan berkomitmen. Dia pasti bisa lebih menghargai sesamanya. Malah, dengan berpacaran mereka bisa lebih mengikuti aura positif yang pasangannya tularkan. Contohnya? gak usah jauh-jauh. Tengok aja nih, aku sama Rasti. Pacaran pada jalur yang positif! "Udah sana pulang. Pamit dari tadi tapi nggak pergi-pergi." Sambil menggerakkan tangan. Seperti sedang mengusir segerombolan anak ayam yang hendak naik ke halaman. Dasar cewek! Berlagak sok ngusir padahal sebenernya hati gak mau aku pergi. "Iya, aku pulang. Galak banget sih, Yank." Sebelum melanjutkan kalimat, aku bergeser beberapa senti dari posisi semula, bersiap untuk lari, "Awas cepet tua!!" kataku lebih keras. "Indraa...!!!" Terdengar teriakan nyaring memekakkan telinga. Untungnya, aku telah berhasil melarikan diri sebelum suara Rasti mengudara. Sambil berlari, sesekali kulihat ke arah Rasti. Seperti biasa, dia masih setia menunggu di halaman depan. Tak mau masuk sebelum tubuhku benar-benar hilang dari pandangannya. Lebay kan, dia? Padahal sudah berkali-kali aku bilang, tidak perlu seperti itu. Aku bukan anak kecil  yang harus terus diawasi. Rumah kami padahal saling berhadapan, hanya terpisah oleh jalanan yang di tengahnya ada sedikit taman. Sama sekali gak jauh, kan? Lagian, aku kan cowok. Ganteng lagi. Mana ada sih orang yang tega melukai apalagi berbuat jahat dengan lelaki berkharisma seperti aku. Kekhawatiran Rasti itu terlalu berlebihan. "Awaaaassss....!!!" Sebuah teriakan keras menarik perhatianku. Dan sialnya, saat aku menoleh ke sumber suara, sebuah sepeda melaju kencang dengan jarak kurang dari dua meter di depanku. Dan.... Gubraakk!!! Belum sempat aku menghindar, roda dengan diameter sekitar 87cm itu terlanjur menyentuh kaki. "Aduh," aku mengaduh menahan sakit. Kedua lutut memerah, juga luka goresan di beberapa bagian di tangan. Kulihat di rerumputan, seorang perempuan berpakaian serba panjang sedang tertunduk sambil memegangi kakinya. "Hati-hati naik sepedanya, Mbak. Kalo nggak bisa, nggak usah sok-sok an naik sepeda keliling komplek. Bahayain orang tau, nggak!" Kesal. Aku sedikit menaikkan nada bicara. Masabodo dia perempuan. Salah sendiri cari gara-gara sama Indra. "Maaf, Mas. Aku nggak sengaja." Suaranya sedikit tertahan. Mungkin menahan sakit. Kulihat dari tadi ia sibuk memegangi kaki kanannya. Perempuan ceroboh. Kesal sih, tapi bggak tega juga lihat dia kesakitan seperti itu. Sebagai siswa yang aktif dalam keanggotaan di organisasi Palang Merah yang bersih, sehat, berjiwa kepemimpinan, peduli, kreatif, bertanggung jawab, bersahabat, dan juga ceria, aku nggak mungkin ninggalin dia sendiri. Belum sampai kaki melangkah, kudengar derap langkah yang berlari ke arah kami. Siapa yang datang? Siapa lagi kalau bukan.... "Indraa...." Si cempreng Rasti. Sekarang dia sudah berada tepat di sebelahku. Sedikit membungkukkan badan untuk mengatur napas, setelah berlari dari rumahnya. "Indra. Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? " Setelah lelahnya reda, ia kembali bersuara. Kedua tangannya meraba-raba wajahku. Wajahnya terlihat begitu cemas. Tapi, kan.... "Yang sakit itu ini." Aku menunjuk lutut yang merah merona. Akhirnya, dia berhenti menelusuri setiap lekuk di wajahku. Tersenyum lebar hingga menampakkan hampir seluruh gigi-gigi putihnya, begitu polos. "Maaf." Dan selalu, kenaif-annya itu yang membuat aku nyaman berada di dekatnya. Kupandangi dia yang masih sibuk tersenyum. Senyum yang benar-benar melenakan. Tuhan... Aku sangat bersyukur atas segala yang Kau berikan pada diri Rasti. Yang konyol dan luar biasa menggemaskan ini. Dalam segala situasi, kepolosan dan kekonyolannya selalu bisa membuatku lebih nyaman. "Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Hati-Hati. Jadi gini, kan. Perih, ya. Harus buru-buru diobati, nih. Takut infeksi." Si comel Rasti masih bersuara, tapi entah aku tak begitu mendengarkan apa yang dia katakan selanjutnya. Fokusku buyar karena terlalu sibuk mencari-cari keberadaan si pengendara sepeda tadi. Kenapa bisa cepat sekali dia pergi? Memang, sudah berapa lama aku memandangi Rasti tadi? Perasaan cuma sebentar. Apa dia punya jurus menghilang? Aah!! Orang itu, buat aku bingung saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

HYPER!

read
556.9K
bc

When The Bastard CEO Falls in Love

read
370.0K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Wedding Organizer

read
46.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook