bc

My Ex is My Neighbor

book_age16+
2.6K
FOLLOW
15.4K
READ
possessive
badboy
neighbor
student
comedy
sweet
bxg
campus
first love
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana rasanya saat kamu diputusin pacar tanpa alasan yang jelas? Terlebih dia cinta pertama kamu dan susah banget buat move on dari dia?

Itulah yang Nesya Abriana Arundaya rasakan. Hidupnya terasa semakin runyam saat Alvino Marcello Anindito, sang mantan yang sudah dua tahun menghilang tiba-tiba muncul kembali. Parahnya sekarang menjadi tetangganya.

Bagaimanakah nasib Nesya selanjutnya karena sang mantan kini bersikap seolah tak pernah terjadi apa pun, seolah mereka masih sepasang kekasih? Padahal Nesya ingin lepas dari sang mantan yang mengajarkan arti patah hati padanya ini. Berhasilkah dia melepaskan diri?

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
Seorang gadis berseragam abu tengah berlari menembus kerumunan para siswa di sepanjang lorong sekolah. Wajah cantiknya tampak berseri-seri, sembari memeluk sebuah buku, dia terus berlari. Dia memberikan senyuman lebar beserta lambaian tangan saat berpapasan dengan beberapa orang yang dikenalnya. Namun, sama sekali tak mengurungkan niat untuk berlari menelusuri lorong sekolah yang tampak ramai tersebut.  Hari ini merupakan pembagian raport, semua siswa bersuka cita karena mereka dinyatakan naik kelas, begitu pun dengan gadis ini. Dia sedang bahagia karena kini dirinya resmi naik ke kelas tiga. Si gadis terengah saat dirinya tiba di belakang sekolah. Sembari membungkuk dan menopang dua tangannya pada lutut, dia mencoba mengatur napas agar kembali tenang. Menghela napas panjang saat dirasa deru napasnya tak sehebat tadi. Tatapannya menelisik ke penjuru halaman belakang sekolah, senyuman pun tersungging di bibir, akhirnya dia menemukan orang yang sejak tadi dicarinya. Pemuda itu tengah berdiri membelakangi, satu tangannya berpegangan pada pohon yang tumbuh di dekatnya. Sang gadis kembali berlari untuk menghampiri si pemuda. “Udah aku duga kamu ada di sini,” katanya. Si pemuda masih betah dengan kebisuannya. Dia tak membalik badan maupun menoleh untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara. Bahkan sekedar menyahut pun tidak dia lakukan. “Gimana? Kamu udah nerima raport? Kamu naik kelas, kan?” Si gadis kembali bertanya. Dan untuk kedua kalinya, kembali diabaikan. Gadis itu mengernyit bingung, heran melihat tingkah pemuda itu yang tak seperti biasanya. Dia menyentuh lengan pemuda itu, memutar tubuhnya paksa agar menghadap padanya. “Gimana nilai raport kamu? Jangan bilang kamu gak naik kelas?” Pemuda yang sedang menunduk itu pun mendongak, manatap datar pada si gadis yang masih mengulas senyum manis. Sang gadis memiringkan kepala, melihat pemuda itu menatapnya tanpa ekspresi, benar-benar sangat aneh menurutnya. “Kenapa? Muka kamu serem banget,” ucap sang gadis seraya menyenggol lengan si pemuda, “Jangan-jangan beneran kamu gak naik kelas?” Pemuda itu memicingkan mata, membuat si gadis terkekeh geli berpikir ucapannya telah menyinggung perasaan pemuda itu. “Bercanda, aku tahu kamu gak sebodoh itu kok. Paling nilai kamu jelek kan makanya jadi murung gini?” Si gadis kembali menyenggol lengan sang pemuda, “Sudah jangan sedih, yang penting kan kamu naik kelas. Sekarang kita resmi jadi anak kelas tiga.” Gadis itu merentangkan kedua tangannya tinggi di udara, senyuman masih belum luntur menghiasi wajahnya. “Tinggal satu tahun lagi, kita akhirnya lulus dari sekolah ini. Terus kita jadi anak kuliahan deh. Sesuai rencana, nanti kita kuliah di universitas yang sama ya, supaya kita bisa sama-sama terus,” ajak si gadis, antusias. Sungguh bertolak belakang dengan si pemuda yang masih diam membisu dengan raut wajah tak bersahabat. Menyadari pemuda itu masih tak merespon ditambah ekspresi wajahnya yang terlihat masam, si gadis pun menghentikan tawanya. Dia bertolak pinggang, menelisik dengan seksama wajah tampan pemuda itu. “Kamu kenapa sih dari tadi diem aja? Aneh banget. Biasanya seanjlok apa pun nilai kamu, kamu gak pernah peduli.” Si gadis mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin merapatkan tubuh pada si pemuda. “ Ada yang mau kamu ceritain sama aku? Aku siap kok jadi pendengar curhatan kamu.” Gadis itu menghela napas panjang saat si pemuda benar-benar seperti patung tak bernyawa saat ini. Mendesah lelah, dia pun berinisiatif untuk melakukan tindakan. Dia merangkul lengan pemuda itu dan berjalan, hendak mengajaknya pergi. “Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Karena kamu kayaknya lagi badmood, kita nyari hiburan aja. Gimana kalau kita ke kantin? Kamu kan paling hobi makan. Makan mie ayam yang super pedes kesukaan kamu, OK?” Si gadis nyaris melangkah dengan ceria, namun harus urung karena tubuh si pria yang tetap bergeming di tempat. Tak mau ikut melangkah bersamanya. Yang membuat gadis itu terkejut adalah rangkulan tangannya ditepis kasar oleh si pemuda. Cepat-cepat gadis itu berbalik badan menghadap sang pemuda, mengernyitkan alis meminta penjelasan atas sikap kasarnya ini. “Kamu tuh kenapa sih sebenarnya? Nggak kayak biasanya. Kamu marah sama aku? Aku ada salah sama kamu? Bilang aja kalau aku punya salah,” ucap si gadis, bertubi-tubi. “Aku minta maaf kalau aku ....” “Nesya.” Suara baritone pemuda itu mengalun, seketika membuat gadis bernama Nesya itu menjeda ucapannya yang masih menggantung di udara. “Iya, kenapa sayang?” tanya Nesya, menyahuti. “Kita putus aja.” Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Nesya masih terdiam bagai patung, hingga di detik berikutnya dia terbelalak saking terkejutnya. Katakan dia salah dengar, pemuda di depannya yang tidak lain merupakan kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 2 tahun ini, tidak mengatakan mereka putus, kan? Nesya tertawa lantang, menganggap ucapan pemuda itu hanya candaan belaka. “Please deh, gak lucu tahu candaan kamu.” “Aku serius.” Si pemuda langsung menyahut, membuat Nesya menghentikan tawa dan berubah kaku. “K-Kenapa tiba-tiba minta putus? Aku punya salah?” Si pemuda menggelengkan kepala. “Gak ada alasan. Aku pengen putus aja.” “Gak bisa gitu dong. Kamu harus kasih alasan kenapa tiba-tiba putusin aku?” “Aku gak punya alasan. Aku cuma pengin kita putus aja.” “G-Gak bisa gitu. Kasih tahu aku alasannya. Kamu gak bisa putusin aku gitu aja.” Si pemuda mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh, sebelum akhirnya dia melangkahkan kaki bersiap untuk pergi. Dengan secepat kilat Nesya mencekal lengan pemuda itu. “Kamu gak bisa mutusin aku gitu aja. Apa salah aku? Kenapa tiba-tiba pengin putus?” Pemuda itu mencoba melepaskan cekalan tangan Nesya, namun Nesya semakin mencekalnya erat, tak membiarkan pemuda itu pergi. “Jawab dulu pertanyaan aku, baru aku izinin kamu pergi.” Si pemuda masih mengabaikan permintaan Nesya. “Aku sayang sama kamu. Aku gak mau putus!!” teriak Nesya, mengutarakan isi hatinya. Siapa sangka pemuda itu akhirnya menoleh melalui bahunya, menatap Nesya yang nyaris meneteskan air mata. “ Aku gak mau kita putus.” “ Cari cowok laen yang lebih pintar dari aku.” Nesya menggelengkan kepala, tak mau. “Cari cowok yang lebih baik dari aku.” Nesya masih menggeleng cepat. “Cari cowok yang lebih bisa bahagiain kamu.” “Aku cuma bahagia sama kamu. Aku cuma cinta sama kamu. Aku cuma pengen sama kamu, aku gak mau sama yang lain!” Nesya kembali meneriakkan isi hatinya. Pemuda itu mendengus kasar, sebelum dia kibaskan tangannya kasar membuat cekalan tangan Nesya terlepas. Pemuda itu pun mempercepat langkahnya, mengabaikan Nesya yang terjatuh karena tersandung batu saat mengejar dirinya.   Bruuuk Suara keras yang berasal dari sesosok tubuh yang menabrak lantai itu seketika membangunkan Nesya dari tidur panjangnya. Nesya mengusap-usap pinggulnya yang sakit karena berbenturan dengan lantai. “Sial. Lagi-lagi mimpiin cowok b******k itu,” gerutunya, menyadari kejadian yang terjadi barusan adalah sebuah mimpi buruk. Sebenarnya bukan sekadar mimpi buruk karena faktanya kejadian yang terjadi dalam mimpinya itu benar-benar pernah menimpanya di dunia nyata.  Dua tahun yang lalu lebih tepatnya kejadian itu menimpa seorang Nesya Abriana Arundaya. Ketika itu dirinya masih duduk di bangku kelas XI di salah satu SMA swasta di kota Surabaya. Tepat di hari kenaikan kelas, pemuda yang sudah menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya, memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas. Bahkan sampai sekarang Nesya tak tahu kenapa mantan pacarnya itu mengakhiri hubungan mereka. Hari kenaikan kelas kala itu menjadi hari terakhir pertemuannya dengan sang mantan, karena setelahnya pemuda itu tak pernah menampakan batang hidungnya lagi di depan Nesya. Salah satu guru mengatakan dia pindah sekolah. Dan Nesya tak tahu sang mantan pindah kemana karena saat dia pergi ke rumahnya, rumah itu kosong melompong, tak berpenghuni lagi. Sejak saat itu, sudah dua tahun dia tak pernah bertemu dengan sang mantan sekaligus cinta pertamanya tersebut. Kini Nesya bukan lagi siswa SMA yang baru mengenal cinta, melainkan seorang mahasiswi di salah satu universitas ternama di Jakarta.  Nesya bangkit berdiri, dengan tangannya yang masih sibuk mengusap-usap pinggulnya yang berdenyut sehabis mencium lantai. “Sial, sakit banget nih,” gumamnya. Dia melangkah menuju kamar mandi. Hari ini merupakan hari pertama dirinya masuk kuliah setelah libur akhir semester selama dua bulan lamanya. Kini dia resmi duduk di tingkat dua atau akan menjalani semester tiga lebih tepatnya. Dia senang akhirnya bisa kembali ke ibu kota setelah dua bulan lamanya berlibur di kampung halamannya, Surabaya. Dia bisa pergi ke kampus dan berkumpul lagi bersama teman-temannya, tidak ada hal yang lebih menyenangkan dari ini. Karena bagi Nesya, saat dirinya berkumpul dengan teman-temannya adalah saat dimana dirinya bisa melupakan sejenak si mantan yang masih sulit dia lupakan hingga detik ini.   Hanya membutuhkan waktu 15 menit, Nesya menyelesaikan aktivitas mandinya. Membuka lemari dan mengambil celana jeans berwarna hitam beserta kaos polos berwarna cream s**u. Pagi ini dia akan tampil sederhana ke kampus, lagi pula Nesya bukan tipe orang yang senang tebar pesona ataupun mempercantik diri di hadapan orang lain. Dia selalu tampil apa adanya, bahkan wajahnya selalu dibiarkan polos. Nesya memoles wajahnya dengan bedak tipis dan memberi pelembab bibir agar terlihat berkilauan. Sebagai polesan terakhir, dia mengikat tinggi rambut sebahunya. “Sempurna!” pekiknya girang sambil berputar-putar di depan cermin. Dia sudah siap untuk pergi ke kampus. Setelah memakai sepatu flat hitam kesayangannya beserta menyampirkan tas selempangnya di bahu, dia pun melangkah meninggalkan kamar kost. “Pagi, Nes.” “Hai, pagi,” ucapnya, saat membalas sapaan salah satu tetangga kost-nya. Nesya berjalan dengan riang menuruni tangga karena tempat kost-nya memang terdiri dari dua lantai. Terkesiap saat dia nyaris bertabrakan dengan penghuni kamar lain saat dirinya hendak melawati pintu gerbang. “Oopppss ... sori,” ucapnya, yang dibalas anggukan kecil oleh seorang pria yang menjadi salah satu tetangganya. Kost-an yang ditempati Nesya memang campuran. Menerima pria maupun wanita untuk menyewa kamar di sana. Alasan Nesya memilih kost-an itu karena bangunannya yang masih baru, tempatnya bersih dan nyaman. Penghuninya ramah-ramah terutama pemilik kost-an. Harganya pun relatif murah untuk bangunan yang baru didirikan beserta cukup luasnya area kamar yang disewakan. Dan yang paling penting jaraknya sangat dekat dengan kampus. Hanya perlu berjalan selama 10 menit, dan dia akan tiba di kampus tercinta.   “ Nes!!” Suara teriakan terdengar saat Nesya hampir melewati gerbang kampus. Dia memutar leher mencari darimana gerangan suara yang memanggil namanya. Ketika sosok si pelaku berhasil dia temukan, seketika Nesya melambai heboh. Si pelaku yang memanggil dirinya adalah sahabat baiknya di kampus ini. Erin Widya Ningrum namanya. Sama-sama mengambil jurusan Farmasi seperti Nesya. “Waah, gue kangen,” ucap Erin, heboh sembari memeluk Nesya. “Gue juga kangen sama lo. Ngapain aja lo liburan kemarin?” “Jalan-jalan dong sama abang gue. Kalau lo?” Erin balik bartanya. Nesya mengembuskan napas frustasi. “ Liburan gue membosankan. Gue setiap hari diem di rumah.” “Lho, kenapa gak jalan-jalan? Refreshing gitu, sayang banget liburan lo terbuang percuma.” Nesya diam membisu. Bukannya dia tak mau jalan-jalan, hanya saja hampir semua tempat wisata di Surabaya sudah pernah dia kunjungi bersama sang mantan. Bagi Nesya, kota Surabaya adalah kota kenangannya dengan sang mantan. Berada di kota itu membuatnya tersiksa karena kemana pun dia pergi, kenangannya bersama si mantan yang memutuskan hubungan mereka tanpa kejelasan itu, selalu terngiang, membuatnya semakin sulit untuk move on. Jika boleh memilih, sebenarnya Nesya tidak ingin kembali ke Surabaya, jika saja dia tak ingat semua keluarganya tinggal di kota itu. Bukan kotanya yang salah. Salahkan si mantan yang sering mengajaknya jalan-jalan mengitari kota Surabaya dulu. Salahkan juga pemuda b******k itu yang tiba-tiba mengakhiri hubungan mereka. “Bete banget lo kayaknya ngebahas liburan kemarin.” “Emang bete banget gue,” jawab Nesya, tak membantah. “Ya udahlah, dari pada inget-inget kejadian yang bikin badmood, mendingan kita masuk ke dalam,” ajak Erin, sembari merangkul lengan Nesya, membawanya melangkah bersama memasuki kampus tercinta.  Di sepanjang lorong kampus mereka berpapasan dengan beberapa kenalan, mereka saling menyapa dan sempat terlibat obrolan dengan teman-teman satu fakultas. Semua keresahan Nesya sirna seketika, memang seperti itu, saat dirinya bertemu dengan teman-teman di kampus dan mengobrol dengan mereka, saat itulah semua beban pikirannya menguap entah kemana.  Nesya dan Erin masih berjalan beriringan dengan mulut mereka yang tak hentinya mengoceh, tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Mereka hendak menaiki tangga menuju lantai tiga dimana kelas mereka berada, jika saja mereka tidak melihat beberapa mahasiswa sedang berkerumun di dekat jendela. Melihat ke bawah sembari bersorak ramai, membuat kedua gadis ini penasaran setengah mati. Mereka pun melangkah mendekati kerumunan. Nesya ikut mengintip ke bawah, kepo karena ingin melihat apa yang terjadi sampai mengundang keributan seperti ini. “Gila tu cowok kayaknya anak baru deh. Anak tingkat satu yang baru diterima di kampus, kan?” Suara seorang mahasiswa mengalun, menarik atensi Nesya. Dia tidak bisa melihat dengan jelas sosok anak baru yang dibicarakan ini karena di bawah sana pun begitu ramai. Semua mahasiswa yang masih berada di halaman depan kampus, berkerumun untuk menonton entah keributan apa, Nesya belum sepenuhnya paham situasi ini. “Kayaknya ada yang berantem ya di bawah?” tanya Erin pada si mahasiswa yang tadi bersuara. Mahasiswa itu mengangguk, “Iya ada anak baru, cowok gitu. Dia berantem sama senior tingkat empat, anak hukum.” “Serius? Berani banget tuh anak baru berantem sama senior tingkat empat.” “Yoi, makanya gue salut.” “Kenapa mereka bisa berantem?” tanya Nesya, ikut penasaran. “Katanya sih tuh senior gangguin cewek gitu, anak baru juga kayaknya. Terus dibelain deh sama tuh anak baru. Makanya mereka berantem. Saling tonjok-tonjokan kayak di ring tinju.” “Waaw, gila! Ganteng banget tuh anak baru. Macho, berani banget lagi. Calon most wanted kampus nih kayaknya!!” Beberapa mahasiswi terdengar memekik histeris layaknya fans yang sedang menonton konser artis idolanya. Rasa penasaran Nesya sudah berada di level maksimal saat ini, dia pun berjalan menghampiri kerumunan mahasiswi yang tak hentinya berteriak histeris mengagumi si anak baru yang katanya ganteng. Nesya ikut melihat ke bawah dari jendela tempat para mahasiswi mengintip, ternyata benar dari jendela itu terlihat jelas pemandangan di bawah. Dan sosok dua pria sedang berkelahi itu terekspos jelas. Nesya mematung, benaknya penuh tanda tanya. Sosok anak baru yang sedang berkelahi itu sepertinya tak asing. Meski dilihat dari belakang karena wajahnya terhalangi, Nesya merasa mengenal anak baru itu. Nesya memiringkan kepala untuk melihat lebih jelas wajah si anak baru. Sedikit lagi dia bisa melihatnya. Nesya semakin memicingkan mata, menatap lurus ke arah si anak baru dengan jantung berdebar cepat. “Nes, udah yuk ... kita ke kelas aja. Palingan bentar lagi juga bakalan ada yang ngelerai mereka," ajak Erin, sukses membuat Nesya berjengit kaget. Nesya mengusap-usap dadanya, saking terkejutnya dia merasa jantungnya bisa melompat keluar dari rongga d**a. Erin hanya terkekeh mendapati pelototan dari Nesya. “Tunggu bentar, Rin. Gue penasaran nih.” “Udahlah, yuk cabut!” Erin menarik paksa tangan Nesya, tak mempedulikan penolakan gadis itu. Akhirnya Nesya hanya bisa mendesah pasrah dan tak memiliki pilihan lain. Dia pun mengikuti kemana sahabatnya itu membawanya pergi. Huuh, padahal sedikit lagi dia bisa melihat wajah si anak baru.  ***  Tepat pukul 4 sore, Nesya pulang ke kost-annya. Dia berjalan riang seperti biasa, sesekali bersiul dengan tangan kanan yang menenteng kantong berisi makanan yang baru dia beli untuk makan malam. Sebenarnya di dalam kamar tersedia peralatan memasak, hanya saja Nesya sedang malas memasak sendiri. Alhasil dia pun membeli makanan di warteg terdekat. “Nesya!!” Langkah riang Nesya terhenti saat sebuah suara menginterupsinya. Ternyata pelakunya adalah ibu pemilik kost. Cepat-cepat Nesya menghampiri. “Ibu, apa kabar?” tanya Nesya, karena ini pertama kalinya dia bertemu dengan ibu pemilik kost-an setelah dirinya selesai liburan. “Baik, Nes. Kamu juga kayaknya baik. Soalnya kelihatan ceria seperti biasa.” Nesya tersenyum lebar. “Ibu manggil kamu cuma mau ngasih tahu, kamar di seberang kamar kamu yang kosong itu, sekarang udah ada yang isi. Ibu ngasih tahu supaya kamu gak kaget kalau lihat ada yang keluar masuk ke kamar itu.” “Oh ya? Siapa bu?” “Kayaknya anak baru di kampus kamu.” “Oh, bagus deh, Bu. Jadi makin rame di atas,” sahut Nesya, sembari menyengir lebar. Ibu kost mengangguk antusias, sebelum dia menepuk pelan lengan Nesya dan mempersilakan gadis itu untuk pergi ke kamarnya.   Setibanya di dalam kamar, Nesya langsung membersihkan diri. Setelahnya, dia menelepon ibunya di kampung. Bergosip ria bersama sang ibu selama hampir 30 menit. Lalu memakan makanan yang dia beli sembari menonton acara favoritnya di televisi. Berjam-jam dia duduk manis di karpet sembari menonton acara-acara favoritnya di televisi, hingga tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 8 malam, Nesya terkesiap. Tak sadar dia sudah duduk manis di depan TV selama hampir tiga jam lamanya. Nesya duduk di kursi yang diletakan tepat di depan meja belajar. Dia mengambil buku yang dipinjamnya di perpustakaan kampus sepulang kuliah tadi. Ada beberapa materi yang ingin dia pelajari meski belum dijelaskan oleh dosen. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Nesya terbilang memang sangat rajin. Setiap malan selalu belajar sekalipun materinya belum diajarkan.  Berjam-jam Nesya fokus mempelajari materi yang menarik minatnya, sebelum tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ribut dari seberang kamarnya. Nesya tertegun, baru ingat kamar yang sudah beberapa bulan kosong itu, kini ada penghuninya. Awalnya, Nesya berniat mengabaikan. Namun, semakin lama suara musik terdengar keras mengalun dari kamar itu. Nesya jengkel bukan main, konsentrasi belajarnya jadi terganggu karena tetangga tak tahu diri itu. Anehnya tak ada penghuni kamar lain yang menegur, apa mereka tidak terganggu juga? Entahlah, yang jelas Nesya menjadi orang yang paling terganggu di sini.  Nesya keluar dari kamarnya dengan wajah memerah menahan emosi. Menggelengkan kepala saat tak ragu lagi musik yang menggelegar ini memang berasal dari kamar di seberangnya. Nesya mengetuk pintu itu. Tak ada jawaban bahkan tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu meski sudah tiga kali Nesya mengetuknya. Kesabaran Nesya pun menguap bagai asap, hingga akhirnya dia menggedor-gedor kencang pintu itu. Kenop pintu diputar oleh seseorang dari dalam kamar, Nesya sudah bersiap menghadapi penghuni baru kamar yang tak tahu diri itu. Dia sengaja melipat tangan di depan d**a. “Kenapa, ya?” Seorang gadis keluar dari kamar tersebut, melontarkan pertanyaan seolah tak merasa bersalah sedikit pun karena sudah mengganggu ketenangan tetangganya. “Bisa nggak musiknya tolong dipelanin dikit aja?” pinta Nesya. “Kenapa emangnya?” What? Nesya rasa-rasanya ingin melemparkan sendal kelinci yang dia kenakan ke wajah tetangganya yang selain tak tahu diri sepertinya juga i***t. “Musiknya kekencengan, ngeganggu banget. Lagian ini udah malam, para tetangga mau tidur kali,” ucap Nesya, kali ini bernada ketus. “Tapi tetangga yang lain nggak ada yang protes tuh,” ujar gadis itu, semakin membuat Nesya tersulut emosi. “Hellooww, nggak protes bukan berarti nggak mengganggu. Harusnya situ tahu diri dikit dong, di sini tuh kost-kostan bukan apartemen yang ruangannya kedap suara.” Nesya tidak menahan lagi kekesalannya. “Oh gitu, OK deh. Tunggu bentar.” Nesya berdecak ketika gadis tak sopan itu menutup pintu kasar hingga nyaris mencium hidung mancung Nesya. Awalnya, Nesya berpikir gadis itu masuk ke dalam untuk memelankan suara musik, nyatanya tidak, musik itu masih sama menggelegarnya seperti sebelumnya. Nesya jengkel bukan main, dia berniat menggedor pintu lagi namun urung karena seseorang dari dalam kembali membukanya. Nesya siap menyemprot dengan berbagai makian pada si gadis tadi yang dia yakini akan muncul di balik pintu, namun dia terbelalak saat sosok yang muncul kali ini bukan gadis tadi, melainkan seorang pemuda. Mulut Nesya refleks terbuka membentuk huruf O, saking kagetnya melihat sosok itu. Sosok pemuda seumurannya yang tengah bertelanjang d**a hingga lekuk tubuh atletisnya terekspos jelas. Perut kotak-kotak beserta d**a bidang yang sukses membuat Nesya meneguk ludah dan kedua lututnya tiba-tiba lemas. Fokus Nesya tertuju pada tato bergambar wajah Nesya yang masih melekat manis di bahu kanan pemuda itu. Sebuah tato yang menyimpan kenangan indah bagi Nesya. Oh, s**t! Dia Alvino Marcello Anindito, sang mantan kekasih yang masih berusaha Nesya lupakan. Jadi, si mantan inikah yang sekarang menjadi tetangganya? Siapa pun tolong katakan, ini anugerah atau musibah untuk Nesya?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.2K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.3K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
450.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook