bc

Pilihan Cinta Ustaz Tampan

book_age18+
717
FOLLOW
3.7K
READ
drama
sweet
Writing Challenge
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Hingga usia dua puluh delapan tahun, Slamet masih melajang. Sebenarnya ketampanan dan bagusnya akhlak membuatnya banyak disukai perempuan, tetapi dalamnya cinta terhadap Rachela membuatnya sulit membuka hati untuk perempuan lain. Dulu selepas wisuda ia pernah melamar gadis itu, namun ditolak hanya karena dirinya memiliki nama aneh: Slamet Tahun Baru.

Oleh gurunya, Slamet ditugaskan untuk berdakwah di sebuah kampung. Di sana, ia bertemu Ida, gadis yang akan dijodohkan dengannya dan Isna yang banyak membantunya dalam menjalankan tugasnya.

Dalam perjalanan dakwahnya, Slamet bertemu Rachela, yang ternyata sudah menikah. Pertemuan tersebut membuat Herman, suami Rachela cemburu dan melakukan segala cara untuk menggagalkan dakwahnya.

Selain harus menghadapi rintangan dakwah, Slamet juga dibuat pusing oleh perjodohan yang makin rumit karena ternyata Ida sudah menjalin hubungan tanpa status dengan Imron. Di sisi lain, Isna menunjukkan rasa cinta kepadanya.

Apakah ustaz tampan itu akan berhasil melewati semua rintangan dakwah dan menemukan gadis yang tepat menjadi pendamping hidupnya?

chap-preview
Free preview
Syarat dan Ketentuan
Bisa dibilang, Slamet Ghaissan memiliki hampir semua ciri sebagai lelaki idaman. Akhlaknya baik, wajah tampan, postur ideal, tidak merokok, sarjana, dan mudah membawa diri. Sayangnya, ia kerap kali mendapatkan pengalaman tidak mengenakan gara-gara nama lahirnya yang dianggap aneh dan menggelikan. Dalam pergaulan Slamet dikenal dengan panggilan Ghaissan, tambahan nama itu baru ia dapatkan setelah melakukan protes terhadap ibunya, ketika SMP. Namun teman-teman sekolah, dari mulai SD sampai perguruan tinggi terlanjur terbiasa menyebut nama aslinya. Seperti halnya pengalaman hari ini ketika Slamet didaulat menjadi MC dalam sebuah acara yang diselenggarakan kelurahan. Dengan penuh rasa percaya diri, ia menapaki anak tangga, menuju panggung. Suasana yang sebelumnya riuh rendah, mendadak hening. Semua mata terpusat kepadanya. Bapak-bapak di barisan kursi depan memandangnya takjub. Para tamu kehormatan itu merasa tersanjung, meskipun ini hanya acara khitanan masal tingkat kelurahan, tetapi menghadirkan pembawa acara berkelas. Sementara istri-istri mereka mulai bersemangat mengikuti acara yang tahun-tahun sebelumnya membosankan. Slamet merapikan jas, memandang pengunjung dengan sorot mata berwibawa. Obrolan para gadis seketika berhenti. Bibir mereka terkatup rapat, tidak lagi mengoceh. Sedangkan ibu-ibu muda yang sejak tadi resah karena anak-anaknya rewel, mulai merasa nyaman. “Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh!” Slamet memulai acara. Matanya beredar ke setiap sudut aula, berusaha menguasai suasana. “Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh!” Pengunjung menjawab kompak dengan suara nyaring. “Kepada Bapak Lurah dan ibu, beserta jajarannya yang saya hormati.” Slamet mengangguk hormat kepada pria setengah baya berbaju batik. Pak Lurah membalas dengan anggukan. “Kepada bapak-bapak, ibu-ibu, dan hadirin, yang saya hormati.” Slamet kembali mengangguk hormat kepada seluruh tamu undangan. “Pertama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah swt. yang telah memberikan nikmat dan karunia sehingga kita dapat berkumpul pada acara khitanan masal tahun ini. Kedua, sholawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad saw, nabi akhir zaman dan tidak ada lagi Nabi setelahnya.” Kalimat pembuka Slamet tidak istimewa, terlalu baku. Kalimatnya tak beda dengan teks siswa SD yang sedang lomba pidato. Hanya saja, yang membuat para tamu terkesan adalah cara penyampaiannya. Ia tidak seperti sedang berbasa-basi, tapi berkomunikasi dengan baik. “Sebelum membacakan susunan acara, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Slamet Ghaissan.” Seorang janda muda tersedak. Biji jeruk menyangkut di tenggorkan akibat kaget, mendengar pengakuan pembawa acara, seakan tidak percaya, pemuda tampan berpenampilan menarik itu memiliki nama Slamet. Nama itu mengingatkannya kepada mantan suami. Di barisan depan janda muda tersebut, para bapak saling pandang. Di barisan belakangnya, para gadis saling berbisik. Suasana aula mendadak riuh rendah. Slamet, sang pembawa acara, mulai grogi. Keringat dingin membasahi leher. Otaknya blank, tidak tahu apa yang akan disampaikan selanjutnya. Teks pidato yang sudah dihafal selama seminggu, lenyap begitu saja. Sadar sedang menjadi bahan kasak-kusuk. Slamet mencoba menguasai diri. Mau tidak mau ia harus terus bicara. “Saya bangga memiliki nama Slamet.” Sebagian besar pengunjung tertawa. Beberapa di antaranya menahan diri, merasa itu bukan lelucon. Sisanya tak peduli. Slamet merasa tidak nyaman. Ia yakin, pengunjung sedang menertawakan namanya, membuat kepercayaan dirinya menjadi luntur. Namun ia tidak ingin berkecil hati. “Slamet adalah nama yang bagus.” Beberapa orang tertawa, menganggap Slamet sedang berkelakar. “Bagus menurut ibu saya! Kalau jelek beliau tidak akan memberi saya nama tersebut.” Tawa pengunjung lebih keras dari sebelumnya. Mereka menganggap Slamet sedang bercanda. Mereka tidak menyadari kalau pembawa acara itu sedang bicara melantur. “Bahkan orang Indonesia yang pertama kali menginjakkan kaki di bulan bernama Slamet.” Pengunjung saling pandang, merasa tidak percaya. “Waktu itu, bapak saya yang masih kecil, menonton acara berita di televisi. Beliau mendengar pembawa berita mengabarkan: Neil Amstrong baru saja menginjakkan kaki di bulan dengan Slamet!” Hampir semua para tamu terbahak-bahak. Pecahlah suasana aula. “Rupanya bapak saya salah dengar, seharusnya selamat, bukan Slamet!” Tawa pengunjung semakin tidak terkendali. Mereka merasa terhibur dengan penampilan pembawa acara, sudah tampan, lucu pula. “Banyak orang terkenal bernama Slamet, misalnya Slamet Rahardjo dan Bing Slamet. Namun di antara orang-orang bernama Slamet, barangkali hanya saya yang nama lahirnya paling unik.” Suasana kembali hening. Para tamu merasa penasaran, kenapa Slamet mengaku nama lahirnya paling unik. Slamet menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “Setelah saya lahir, ibu saya memberi nama lengkap: Slamet Tahun Baru.” Tawa meledak di dalam aula. Para tamu menganggap pembawa acara sedang melucu. Mereka tidak tahu Slamet sedang mengakui nama lahirnya. Slamet menelan ludah, maksud hati ingin menguasai suasana, apa daya semakin terjebak kepada kekonyolan. Ia pun latah, membuka dompet, mengambil KTP, mengacungkannya tinggi-tinggi. “Mungkin bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua yang hadir di sini menganggap saya sedang bercanda. Tetapi percayalah, dulu ibu saya memberikan nama itu dengan keseriusan luar biasa. KTP ini menjadi buktinya.” Tawa semakin kencang di aula. Para tamu merasa terhibur. Slamet sadar sedang menjadi bahan tertawaan. Ia menyalahkan diri sendiri karena pembukaan acara khitanan masal ini mendadak seperti acara standup comedy. “Saya rasa perkenalannya sudah cukup.” Slamet memasukkan KTP ke saku jas. Ia harus tetap melanjutkan tugas sebagai pembawa acara. “Selanjutnya saya akan membacakan susunan acara pada malam hari ini.” Di beberapa titik, beberapa tamu masih tertawa. Slamet menunggu sejenak sampai tawa benar-benar reda. “Sebelum acara dimulai, marilah kita mengucapkan basmalah bersama-sama.” Para tamu mengucapkan bacaan basmalah bersama-sama. Slamet menggunakan kesempatan itu untuk menarik napas dalam-dalam. Ia harus menguasai kembali suasana, kalau tidak, acara khitanan masal tahun ini bisa kacau. Terhiburnya penonton membuat acara berjalan dengan menggembirakan, tidak membosankan seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka terkesan dengan performa Slamet yang meski berpenampilan resmi, tetapi membawakan acara dengan santai. Pengalaman pertama menjadi pembawa acara sangat berkesan bagi Slamet. Ia bersyukur bisa melakukan tugasnya dengan baik, meski di awal-awal sempat goyah, namun kekonyolan yang tidak direncanakan itu menjadi hiburan yang menyegarkan. Selepas acara, Slamet merasa lapar. Ia pergi ke pasar untuk mengisi perut. Di pojok pertokoan, pandangan matanya tertambat kepada banner yang bertuliskan: Bakso Pak Slamet. Di bawahnya, dengan ukuran huruf yang lebih kecil, tertulis: Gratis makan bakso setiap hari selama setahun untuk orang bernama Slamet. Di bawahnya masih ada sebuah tulisan yang ukuran hurufnya lebih kecil lagi, tetapi ia malas membaca karena sedang dikuasai euforia atas keberhasilannya menjadi pembawa acara. Melihat kedatangan Slamet, seorang pelayan menyambut dengan ramah. “Selamat datang, Pak! Ada yang bisa saya bantu?” Dipanggil dengan sebutan 'pak', Slamet cengar-cengir. “Apa benar orang bernama Slamet boleh makan gratis setiap hari di sini?” “Benar, Pak. Gratis setiap hari selama setahun.” Pelayan mengernyitkan dahi. Pandangannya menyisir penampilan Slamet, dengan sorot mata tidak percaya. Tadinya ia menduga calon pelanggan di hadapannya itu akan memesan menu paling spesial, bukan menanyakan menu gratisan, karena penampilannya seperti seorang eksekutif muda, memakai jas dan sepatu pantofel. Slamet merasa gembira, ternyata memiliki nama Slamet ada manfaatnya. “Tetapi ada syarat dan ketentuannya.” Pelayan buru-buru menjelaskan. “Apa syarat dan ketentuannya?” Slamet berharap-harap cemas. Dengan sopan, Pelayan menunjuk sebuah papan di dinding. “Silakan baca, Pak!” Dengan antusias, Slamet membacanya: Gratis makan bakso setiap hari selama setahun untuk orang bernama Slamet. Syarat : Berumur kurang dari sepuluh tahun Ketentuan : Menunjukkan identitas setiap kali makan. Wajah Slamet mendadak mendung. Ia menggerutu, mana ada anak sepuluh tahun zaman sekarang yang bernama Slamet? “Apakah pemiliknya bernama Slamet?” Slamet bertanya untuk menutupi rasa kecewa. “Benar, Pak.” Selera makan Slamet mendadak hilang. “Maaf, saya tidak jadi makan.” Pelayan mengangguk dengan wajah masam. “Iya, tidak apa-apa.” Sebelum pulang, Slamet membaca tulisan paling bawah pada banner yang tadi sempat dilewatkankannya: Syarat dan ketentuan berlaku. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.0K
bc

Call Girl Contract

read
323.1K
bc

The Seed of Love : Cherry

read
111.6K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.7K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook