bc

SUDAH SAMPAI RUMAH, TAPI..

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
dark
family
HE
goodgirl
heir/heiress
blue collar
drama
tragedy
bxg
lighthearted
city
office/work place
small town
like
intro-logo
Blurb

Sejak langkah pertamanya menginjak karpet tebal ruang tamu itu, Dara tahu ada yang hilang. Ini adalah rumah yang membesarkannya, dinding-dinding ini menyimpan gema tawa dan pertengkaran masa kecilnya. Namun, setelah lima tahun merantau di Ibu Kota, kembali ke desa kecilnya terasa seperti memasuki museum dari kehidupan orang lain.

Dara kembali bukan karena rindu, melainkan karena kewajiban-merawat Ayahnya yang sakit parah. Cuti dari pekerjaannya sebagai seorang Pengacara Wanita di salah satu Firma Hukum di Ibu Kota. Rumah itu masih sama, beraroma kayu lapuk dan masakan Ibu yang selalu terlalu asin. Fotonya saat wisuda masih terpajang miring di dinding, seolah waktu hanya berhenti untuk dirinya.

Namun, kenyamanan yang Ia cari tak ditemukan.

Ayah kini diam, tatapannya kosong, tak lagi menyambutnya dengan teriakan teguran khasnya. Ibu semakin menjauh, membalut diri dalam keheningan yang lebih dingin dari angin malam desa. Dara menemukan dirinya tidur di kamar masa kecilnya yang terasa asing, diantara boneka-boneka berdebu yang kini menatapnya seperti saksi bisu. Ia tak lagi mengenali dirinya dalam cermin kamar mandi itu, pun tak menemukan kehangatan dalam pelukan orang tuanya.

"Sudah Sampai Rumah, Tapi.." adalah kisah tentang seorang anak yang mencoba membangun kembali ikatan di tempat yang terasa sudah runtuh. Tentang menemukan bahwa rumah ternyaman bukanlah sekadar alamat, melainkan rasa aman yang tidak bisa ia temukan lagi di antara keluarga yang seharusnya menjadi pelabuhannya. Dalam proses merawat dan mencari tahu kebekuan dalam keluarganya, Dara harus menghadapi kenyataan pahit : bahwa terkadang, tempat yang paling kita rindukan bisa menjadi tempat yang paling menyakitkan. Namun, adakalanya tempat yang berusaha kita hindari, adalah tempat yang selalu menerima kepulangan kita dengan cinta dan kasih yang tulus.

chap-preview
Free preview
BAB 1 : Pulang
**Aroma Karpet Usang** Mobil travel itu mengerem dengan decitan panjang, memuntahkan seorang gadis di pinggir jalan desa yang sepi. Debu tipis dari tanah kerikil mengepul, menyelimuti sepatuku yang bersih. Ia menatap punggung mobil yang menjauh, perlahan menghilang di balik tikungan, meninggalkan sunyi yang tiba-tiba terasa begitu pekat. Di depannya, jalan setapak berlumut terentang, menuntunnya pulang. Pulang. Sebuah kata yang terasa aneh di lidahnya. Lima tahun sudah. Lima tahun ia meninggalkan semua ini demi gemerlap Jakarta yang tak pernah benar-benar ia temukan. Sekarang, ia kembali dengan koper usang dan hati yang kosong, dipanggil oleh kabar yang tak ingin ia dengar: Ayah sakit. Parah. Gadis berambut panjang itu mulai melangkah, tas ransel yang terasa lebih berat dari biasanya membebani punggungnya. Setiap langkah membawa kenangan yang berseliweran di kepala, seperti film lama yang diputar ulang. Pohon jambu air di pojok jalan, rumah Pak RT dengan genteng merahnya, warung Mak Ijah yang baunya selalu perpaduan antara kopi dan tempe goreng. Semuanya masih sama, namun terasa seperti pemandangan di balik kaca jendela kereta yang melaju. Dekat, tapi tak bisa ia gapai. Akhirnya, di ujung jalan, siluet rumah itu muncul. Rumah kayu bercat hijau pudar dengan teras depan yang selalu dihiasi pot-pot bunga. Jendela-jendela kayunya seolah menatapnya, memancarkan cahaya jingga dari senja yang mulai meredup. Dulu, pemandangan ini selalu mengisi dadanya dengan kehangatan. Kali ini, hanya ada gumpalan asing yang bersemayam. Ia berdiri di depan pagar, ragu-ragu. Pintu kayu cokelat itu masih sama, dengan ukiran bunga matahari di tengahnya yang kini sudah sedikit pudar. Di samping pintu, ada ayunan kayu yang dulu jadi saksi bisu tawanya saat kecil, kini tergantung lesu, seolah turut merasakan kebekuannya. Gadis itu menarik napas dalam, mencoba menghirup udara rumah yang seharusnya akrab ini. Tapi yang ia dapatkan hanyalah aroma karpet usang, debu, dan jejak-jejak masa lalu yang tak ingin ia ingat. "Dara?" Sebuah suara serak memanggil nama Gadis itu, Seorang Pengacara yang merantau selama lima tahun di Jakarta. Dara menoleh. Ibu. Berdiri di ambang pintu, dengan rambut digelung seadanya dan sorot mata yang entah kenapa, terasa asing. Tak ada senyum lebar, tak ada pelukan hangat. Hanya tatapan lelah yang entah sudah berapa lama bersemayam di sana. "Ibu," jawabnya, suaranya tercekat. Entah apa yang ia harapkan. Pelukan? Tangisan haru? Sebuah sapaan yang menghapus jarak lima tahun? Yang ada hanyalah keheningan yang memekakkan telinga. Ibunya hanya mengangguk pelan, lalu melambaikan tangan, memberi isyarat agar Dara masuk. Saat kakinya menginjak karpet tebal di ruang tamu, gema langkahnya terasa terlalu keras. Rumah itu terasa luas dan kosong, seolah semua penghuninya telah tiada. Dinding-dindingnya masih memajang foto-foto lama, termasuk fotonya saat wisuda yang sedikit miring, seolah waktu berhenti hanya untuknya. Tapi kehangatan itu, kenyamanan itu, sudah lama pergi. Dara tidak pulang ke rumah. Dara pulang ke sebuah bangunan. **Punggung Ayah yang Beku** Udara di dalam rumah terasa lebih berat daripada di luar. Dara menyeret kopernya melewati ruang tamu yang sunyi, keheningan dipecahkan hanya oleh bunyi jam dinding kuno berdentang pelan, seolah menghitung setiap detik yang terbuang. Ibu sudah berjalan di depannya, langkahnya lambat dan berhati-hati, seperti takut mengganggu sesuatu yang rapuh. “Kamarmu sudah Ibu bersihkan,” kata Ibu tanpa menoleh, suaranya datar. “Di sebelah, di kamar Ayah.” Mendengar kata ‘Ayah’, detak jantung Dara sedikit tercekat. “Bagaimana kondisi Ayah, Bu?” tanya Dara, berharap mendapat jawaban yang meyakinkan, atau setidaknya, penjelasan yang rinci. Ibu berhenti di depan pintu kamar tidur utama—lalu menoleh padanya. Raut wajahnya tidak menunjukkan kesedihan, hanya semacam penerimaan yang dingin. “Sama saja. Kadang sadar sebentar. Lebih banyak tidur.” Itu saja. Tidak ada air mata. Tidak ada keluh kesah. Hanya fakta. Keasingan ini membuat perutnya mual. Dara meletakkan koper di ambang pintu kamar tidurnya yang dulu, dan melangkah perlahan ke kamar sebelah. Jantungnya berdebar semakin cepat. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Aroma obat-obatan dan minyak kayu putih yang kental langsung menyambutnya. Dara mendorong pintu perlahan. Di atas ranjang kayu yang besar, Ayahnya terbaring. Tubuhnya yang dulu tegap dan besar kini terlihat menyusut, ditutupi selimut tebal hingga ke d**a. Ia menghadap jendela, membelakangi Dara. Dara berdiri di ambang pintu untuk waktu yang lama, tak sanggup bergerak. Ayahnya adalah sosok yang paling keras kepala sekaligus paling ia cintai. Mereka berdua sering bertengkar hebat, terutama saat Dara memutuskan untuk kuliah jauh dan meninggalkan desa ini. Kata-kata terakhirnya sebelum Dara pergi adalah sebuah teguran pahit. “Kau akan tahu, Dara, rumah ternyamanmu bukanlah kota besar, tapi tempat yang kau tinggalkan.” Kata-kata itu selalu terngiang, menjadi bayangan yang mengikutinya. Dara memberanikan diri melangkah masuk, mendekati ranjang. Karpet di kamar ini lebih tebal dan empuk, karpet yang dulu selalu Ayahnya larang ia injak dengan sepatu. “Ayah,” panggilnya pelan. Tidak ada respons. Dara menyentuh bahunya hati-hati, merasa permukaan kain selimut itu dingin. “Ayah, ini Dara. Aku pulang.” Ayah perlahan membalikkan wajah. Matanya terbuka, tetapi pandangannya kosong, seperti kaca yang tidak memantulkan apa-apa. Wajahnya kurus, garis-garis keriputnya semakin dalam, dan janggutnya yang biasanya selalu rapi kini tumbuh liar. Ia menatap Dara sejenak, lalu matanya kembali terpejam. Ibu yang berdiri di belakang Dara berbisik, “Jangan berharap dia banyak merespons, Ra. Dia tidak mengenali siapa-siapa lagi.” Dara menarik tangannya, rasa dingin menjalar dari bahu Ayah ke seluruh tubuhnya. Bukan karena sakitnya, tapi karena ketiadaan pengakuan di matanya. Pria yang dulu begitu dominan, penuh amarah dan kasih sayang yang canggung, kini hanyalah tubuh asing yang terbaring kaku. "Aku akan mengurusnya, Bu," suara yang Dara rasakan bergetar. Ibunya hanya mengangguk, lalu berbalik dan meninggalkannya sendirian bersama punggung Ayah yang beku. Dara duduk di kursi kayu di samping ranjang Ayahnya, menatapinya dalam keheningan yang panjang. Rumah ini memang masih ada. Dara memang sudah sampai. Tapi melihat Ayahnya yang hanya terbaring diam, Dara merasa seperti kehilangan jangkar yang menahan seluruh masa kecilnya di tempat ini. Dara bertanya-tanya, apakah saat Ayahnya menatapnya tadi, ia melihat putrinya? Atau ia hanya melihat bayangan asing yang kebetulan berdiri di samping ranjangnya? Malam itu, di samping tempat tidur Ayahnya, Dara menyadari. Ia tidak hanya kehilangan rumah ternyamannya. Dia telah kehilangan alasan kenapa rumah ini terasa seperti rumah. Cahaya lampu kamar yang redup membuat bayangan Ayahnya tampak seperti pahatan batu—keras, dingin, dan tak bergerak. Dara tahu ia harus mulai melakukan sesuatu, bukan hanya duduk dan meratap dalam kesendirian. Dara teringat akan alasan kepulangannya: merawat. Dara mencari baskom dan handuk kecil di kamar mandi, mengisi air hangat, dan kembali ke sisi Ayahnya. Ini adalah tugas pertama dan mungkin yang paling sulit. Dia belum pernah merawat Ayahnya seperti ini. Dengan hati-hati, Dara membuka kancing piyama Ayahnya. Tubuhnya yang kurus tampak rentan. Dara mulai menyeka lengan Ayahnya, kulitnya terasa lembut dan tipis di bawah handuk. Aroma obat dan minyak kayu putih bercampur dengan aroma tubuhnya yang familier. Saat Dara menyeka dadanya, matanya tertuju pada selembar foto kecil yang terselip di balik kalung emas yang biasa Ayahnya kenakan. Foto itu buram, menunjukkan wajah Dara saat masih kecil, sekitar usia tujuh tahun, dengan gigi ompong yang tersenyum lebar. Foto itu sudah usang, tertekuk di sudut-sudutnya, menunjukkan betapa seringnya ia disentuh. Tiba-tiba, tenggorokan Dara tercekat. Foto ini, Ayahnya selalu bilang, adalah foto terjeleknya, dan ia suka menyembunyikannya dari semua orang. Tapi di sinilah ia, tersimpan di tempat paling dekat dengan jantungnya. Perlahan, air mata Dara menetes, jatuh membasahi d**a Ayahnya. Bukan tangisan sedih yang meluap, melainkan air mata kelegaan yang menyesakkan. Selama ini, ia pikir kepergiannya telah memutus segalanya. Dia pikir Ayahnya benar-benar sudah membencinya. "Ayah... kenapa Ayah simpan ini?" bisiknya, air mata terus mengalir. Dara menyeka d**a Ayahnya lagi, kali ini dengan sentuhan yang lebih lembut, seolah ia sedang menyentuh sisa-sisa diri Ayahnya yang hidup. Tiba-tiba, jari Ayahnya yang kaku bergerak. Hanya sedikit, gerakan yang nyaris tak terasa. Tetapi bagi Dara, itu seperti gempa bumi. Dara membeku, menahan napas. "Ayah?" Gerakan itu terulang. Jari telunjuknya yang kurus dan pucat bergerak perlahan, seolah mencoba meraih sesuatu. Bukan ke arah Dara, tapi ke arah langit-langit, mencari-cari. Dara segera menggenggam tangan Ayahnya yang dingin. "Ayah, ini Dara. Aku di sini." Tangan Ayahnya terasa rapuh, tapi genggamannya erat. Beberapa detik berlalu, dan kemudian, sepasang mata Ayahnya yang semula tertutup rapat, terbuka sedikit. Pandangannya tidak kosong kali ini. Ada fokus yang samar, seperti api kecil yang hampir padam. Ia menatap Dara, matanya bergerak perlahan dari wajah putrinya, turun ke tangan yang menggenggamnya, lalu kembali ke mata Dara. Dan kemudian, dengan usaha yang mengerikan, bibirnya bergerak. "Pulang..." bisiknya, suara yang keluar hanya berupa hembusan napas yang bergetar. "Kenapa... baru..." Kata-kata itu terhenti. Mata Ayahnya kembali terpejam, dan ketegangan di wajahnya menghilang. Tangannya kembali lemas dalam genggaman Dara. Dara menahan tangis. Itu adalah dua kata yang paling menyakitkan dan paling ia inginkan. Itu adalah pertanyaan yang selalu menghantuinya selama lima tahun. Ayahnya tidak bertanya kenapa ia pergi, Ayahnya hanya bertanya kenapa ia baru kembali sekarang. Seketika, rasa bersalah itu terasa nyata dan berat, menimpanya seperti beban yang tak terhindarkan. Dara meletakkan kembali tangan Ayahnya di sisi tubuhnya, merapikan selimutnya. Di samping ranjang Ayahnya yang tak berdaya, Dara berjanji dalam hati. Dia tidak pulang ke rumah hanya karena kewajiban. Dia harus kembali menemukan apa yang tersisa dari Ayahnya, dan apa yang telah hilang dari rumah ini karena kepergiannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
310.7K
bc

Too Late for Regret

read
289.4K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.0K
bc

The Lost Pack

read
402.2K
bc

Revenge, served in a black dress

read
147.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook