bc

Night of The Darkness

book_age0+
423
FOLLOW
2.9K
READ
fated
manipulative
powerful
bxg
like
intro-logo
Blurb

Selama beberapa detik aku menatap laki-laki dihadapanku dengan seksama meski itu cukup tidak sopan. Kulitnya putih dan nyaris pucat. Matanya tidak bisa dibilang sipit namun tidak juga bulat seperti mataku.

Ya Tuhan!

Laki-laki asing itu meraih tanganku dan menggenggamkan pegangan kantong belanjaan padaku. “Lain kali, berhati-hatilah kalau berjalan, Nona. Dan berbahaya jalan sendirian di malam hari untuk wanita sepertimu.”ujarnya sambil kembali tersenyum lalu melewatiku begitu saja sebelum aku sempat mengatakan apapun atas bantuan kecilnya itu

Saat pesona laki-laki itu belum memudar dari ingatannya, Lily harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa laki-laki itu juga membawa teror dalam hidupnya yang selama ini datar. Semakin lama mengenal Wren membuat Lily semakin yakin kalau hidupnya saat ini sudah dijungkir balikkan oleh laki-laki tampan itu. Hidup Lily semakin berubah saat dia dihadapkan dengan kenyataan kalau Lay adalah salah satu dari mitos yang menjadi kenyataan.

Benarkah vampir itu ada?

Bersama Wren, Lily akhirnya mengungkap sebuah tabir yang menyelimuti salah satu rahasia terbesar di dunia. Termasuk tabir rahasia yang mengungkap masa lalu dan masa depannya.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Aku menatap langit malam musim dingin London yang terbentang luas di atasku saat ini. Selalu seperti ini. Hitam dengan sedikit bintang. Awan menggantung dimana-mana hingga menutupi bintang-bintang  di langit, sekaligus mengancam para manusia untuk segera menyelesaikan urusan di luar rumah karena hujan salju akan segera turun. “Seandainya sekarang bukan musim dingin, toko pasti tidak akan ramai dan aku bisa pulang lebih cepat untuk menghangatkan tubuh di rumah.” Gerutuku sepanjang jalan sambil memperhatikan orang-orang disekitarku yang sudah mulai sibuk menyiapkan persediaan bahan makanan di rumah kalau-kalau musim dingin kali ini cukup buruk dan menghambat kegiatan normal apapun. Bahkan aku sendiripun sudah mulai membawa beberapa barang-barang yang diperlukan untuk musim dingin nanti dari toko. Setidaknya kalau salju menumpuk tinggi dan menyebabkan pemblokiran jalan, aku tidak akan terkurung kelaparan dan kedinginan di rumah. Tiba-tiba saja kepalaku membentur sesuatu yang cukup keras namun juga terasa lembut. “Ups... Sorry.” Bisikku pelan saat aku menabrak sesuatu yang kusadari_beberapa detik kemudian_adalah punggung seorang laki-laki. Rasanya aku sering membaca adegan seperti ini di banyak novel-novel fiksi saat sang wanita bertabrakan dengan laki-laki yang nantinya akan menjadi bagian hidupnya. Tapi percayalah, sulit untuk tidak menabrak seseorang saat kau berjalan di trotoar yang dipenuhi orang-orang seperti saat ini. Sebagian besar dari mereka sama denganku, terburu-buru untuk segera mencapai rumah masing-masing sebelum uSara semakin dingin dan membekukan. Selama beberapa detik aku menatap laki-laki dihadapanku dengan seksama meski itu cukup tidak sopan. Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama denganku jika melihat laki-laki ini. Wajahnya bukan tipe yang bisa kau lupakan begitu saja. Laki-laki itu hanya tersenyum lalu mengambil kantong belanjaku yang terjatuh begitu menabraknya tadi. “Kau tidak terluka, Nona?” Tanya laki-laki itu lembut. Ya Tuhan! Ada banyak sekali laki-laki tampan yang sering datang ke toko hanya sekedar membeli permen karena ingin melihat Saralee_teman yang satu shift denganku yang kebetulan bertubuh mungil dengan wajah luar biasa cantik_tapi pria ini bukan hanya tampan. Dia seakan diciptakan Tuhan untuk menggantikan Rafael, malaikat yang konon katanya merupakan malaikat paling tampan. Bibirnya benar-benar membuatku nyaris seperti remaja yang sedang jatuh cinta hingga tidak bisa mengalihkan perhatian ke tempat yang lain, bukannya wanita 24 tahun yang seharusnya sudah dewasa. Laki-laki itu meraih tanganku dan menggenggamkan pegangan kantong belanjaan padaku. “Lain kali, berhati-hatilah kalau berjalan, Nona. Dan berbahaya jalan sendirian di malam hari untuk wanita sepertimu.” Ujarnya lalu melewatiku begitu saja sebelum aku sempat mengatakan apapun atas bantuan kecilnya itu. Aku hanya terpaku diam. Apa maksudnya dengan wanita sepertiku? Dan sekarang baru jam 12 malam. Tidak pernah ada kata terlalu malam di kota seperti London yang memang tidak memiliki jam malam. Lihat saja trotoar pejalan kaki ini. Masih sangat ramai dilalui orang-orang. “Sudahlah, Lily. Lebih baik kau pulang sekarang sebelum jari-jarimu putus karena membeku.” Bisikku pada diriku sendiri lalu berlari-lari kecil sepanjang beberapa blok hingga sampai ke apartemen mungilku yang jauh dari kata mewah. Aku berlari menaiki tangga menuju apartemenku di lantai dua. Begitu sampai aku langsung mencari kunci di dalam tas dan kemudian bergegas masuk. Tanpa membuka sepatu aku langsung menyalakan pemanas ruangan dan meletakkan semua belanjaanku di dapur. Saat itulah aku baru sadar kalau kantong belanjaanku terkena noda berwarna merah. “Oke, sepertinya saus tomat yang kubeli tumpah saat kujatuhkan tadi.” Gumamku pelan sambil membongkar belanjaanku dan mendapati kalau noda merah itu bukan saus tomat karena botol saus tomatku sama sekali tidak pecah atau cacat. Aku menatap noda itu sekali lagi sebelum menyentuhnya dengan jariku. “Darah...” Bisikku pelan. “Ini darah pria tadi. Ya Tuhan! Dia terluka separah ini dan masih bisa tersenyum dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa? Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia bisa mengeluarkan darah sebanyak ini?” Ketakutan mulai merayapi hatiku. Bagaimana kalau ini bukan darahnya? Bagaimana kalau ini darah orang lain? Bagaimana kalau dia pembunuh? Dan ini darah korbannya, bukan darah pria itu? Bagaimana kalau aku ternyata telah melepaskan pembunuh begitu saja ke tengah keramaian London, bukannya menyerahkannya pada polisi? “Apa yang harus aku lakukan?” Tiba-tiba telepon rumahku berdering, ketakutanku sampai pada batas maksimum saat ini. Siapa yang meneelpon selarut ini? Aku tidak punya banyak kenalan selain teman kerjaku, aku tidak punya kekasih dan aku juga jelas tidak punya keluarga. Jadi, siapa yang meneleponku selarut ini? Aku hanya menatap telepon itu hingga deringnya berhenti dan mesin penjawab teleponku berbunyi. “Lily kau belum sampai? Semoga kau belum tertidur, ponselmu ketinggalan di laci meja kasir. Aku akan menunggu sampai Tim menjemputku yang berarti hanya sampai jam 2. Kalau kau ingin mengambilnya, ambil sekarang atau besok saja.” Itu suara Sara! Sara memang masih di toko karena dia belum di jemput dan berjanji akan menjaga toko sampai jemputannya tiba. Malam ini kami sepakat untuk menutup toko karena berita mengatakan cuaca akan memburuk menjelang pagi meski biasanya kami membuka toko 24 jam dengan shift bergantian. “Bodohnya aku.” Gumamku pelan lalu segera mencuci tangan dan bergegas kembali ke toko untuk mengambil ponselku.   “Tidak biasanya kau sampai ketinggalan barang ini, Lily.” Tegur Sara begitu melihatku melangkah memasuki toko. Kulihat kalau Tim sudah duduk di hadapannya dan kemudian tersenyum padaku. Aku selalu iri pada mereka. Bagaimana bisa mereka mendapatkan anugrah yang sangat berlebihan seperti ini? Wajah cantik, tubuh mungil, dan kulit mulus yang dimiliki Sara kuyakini akan sanggup membuat beberapa wanita rela membunuh dokter kulit hanya untuk mendapatkan apa yang Sara miliki sejak lahir. Wajah tak berdosa, suara bagus, dan tubuh tinggi yang dimiliki Timothy membuatnya sukses bekerja sebagai penyanyi dan dipuja wanita. Dan sebagai saudara, mereka telah membuat iri orangtua manapun di dunia ini. Untung saja aku tidak mengenal siapa orangtuaku. “Tim sudah tiba dan kau masih menungguku?” Tanyaku begitu saja menghempaskan tubuhku ke kursi kosong di sebelah Tim. Sara merengut. Membuatnya jauh dari kata wanita berusia 30 tahun. “Kau selalu tidak pernah berterima kasih padaku.” Gerutu wanita itu lalu menyerahkan ponselku. “Tapi kalau kau berterima kasih, mungkin aku yang akan dirawat karena terlalu shock mendengarnya. Karena aku sudah memberikan barang pada pemiliknya, sekarang aku mau pulang sebelum ada fans Tim yang menghancurkan toko ini hanya untuk mengambil foto adikku yang tak berguna ini.” Sambung Sara lalu segera bangkit. “Sampai jumpa, Lily.” Pamit Tim ramah lalu mengecup pipiku sebelum mengikuti kakaknya keluar dari toko setelah memakai kembali topi dan kacamatanya. Entah kenapa Sara memilih bekerja di toko barang harian seperti ini daripada menjadi artis seperti adiknya. Bahkan kalau Sara tidak bekerja, aku yakin kalau penghasilan Tim lebih dari cukup untuk menghidupi selusin anak jalanan. Mereka memang sangat beruntung. Dan aku juga cukup beruntung karena bisa bersahabat dengan Sara walau usia kami terpaut 6 tahun dan berteman dengan Tim yang lebih muda dariku setahun. Mereka berdua memperlakukanku dengan sangat baik. Berhubung tidak ada lagi yang harus kulakukan, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan istirahat. Semoga tidak ada kejadian aneh lagi di jalan kali ini, seperti menabrak orang atau mendapati kalau ada darah di kantong belanjaanku. *** Sudah seminggu berlalu sejak insiden aku menabrak laki-laki berdarah itu. Tapi selain keanehan yang kutemui setelah pulang mengambil ponsel, aku sama sekali tidak menemukan keanehan apapun bahkan aku juga masih hidup sampai detik ini. Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Tiga kali shift malam, tiga kali shift siang, dan satu hari libur. Semuanya berjalan lancar tanpa kendala sedikitpun. Keanehan yang kukatakan sebelumnya adalah kantong belanjaku yang bernoda darah laki-laki itu menghilang saat aku kembali ke rumah setelah mengambil ponselku di toko. Aku yakin kalau meletakkan kantong itu ke dalam tempat sampah. Tapi saat aku pulang, tidak ada kantong apapun di dalam tempat sampahku. Kantong itu lenyap begitu saja. Aku tidak berani berpikir kalau kantong itu diambil oleh si pemilik darah. Tidak. Karena kalau aku berpikir seperti itu artinya aku mengakui kalau laki-laki itu masuk ke dalam apartemenku yang aku yakin sudah kukunci! Dan aku tidak mau memikirkannya karena aku akan ketakutan setengah mati saat memasuki rumahku karena aku tahu ada seorang laki-laki diluar sana yang bisa keluar masuk rumahku tanpa meninggalkan jejak apapun. Suara klakson menyadarkanku dari semua pemikiran yang entah kenapa menggangguku hari ini. Aku mencari arah sumber suara klakson itu karena aku sudah berjalan di trotoar dan kenapa aku masih harus ditegur dengan suara klakson mobil? Kulihat sebuah sedan sporty keluaran Audi terparkir manis beberapa langkah dariku. Seorang laki-laki yang sangat kukenal keluar dari sedan biru itu dan tersenyum padaku. Ya Tuhan. Lihat dia! Bagaimana bisa dia tidak memakai topi atau kacamata yang biasa dipakainya untuk menyembunyikan jati dirinya? Kenapa dia muncul di siang bolong seperti ini di tengah keramaian London? Oh, maaf, bukan siang bolong, tapi sesore ini? “Melamun sendirian, Lily?” Tanya Tim sambil menghampiriku tanpa memperdulikan kalau sekeliling kami sudah mulai membisikkan namanya. “Apa yang kau lakukan disini, Tim? Dimana topi dan kacamatamu? Dimana Sara?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya. Kulihat Tim memperhatikan kesekeliling kami, menyadari kalau dia menjadi pusat perhatian dan dengan sangat cepat dia menarik tanganku, mendorong tubuhku agar masuk ke dalam mobilnya sementara dia berputar ke kursi pengemudi dan beberapa detik kemudian kami sudah melaju di jalanan Kensington Rd yang ramai. “Aku meralat pertanyaanku. Apa yang akan kau lakukan padaku?” Lagi-lagi pemuda itu tersenyum. Dan sialnya, wajahnya memang wajah tidak bersalah. Entah malaikat mana yang menganugrahkan wajah tanpa dosa ini padanya. Yang pasti, tidak seorangpun wanita yang sanggup memarahinya kalau dia sudah tersenyum. “Aku butuh pasangan malam ini dan Sara menolak dengan sangat tegas untuk menemaniku. Jadi, karena aku tahu kalau kau juga akan menolaknya kalau aku bertanya, makanya aku menculikmu seperti ini.” Jawab Tim begitu saja. Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya. “Pasangan? Untuk apa?” Tim meliriknya takjub. “Kau tidak pernah menonton televisi, Lily? Yang benar saja? Malam ini ada acara music award. Dan aku tidak mungkin datang sendiri.” “Kau ingin mengumpankanku pada media massa?” Tanyaku tidak percaya. “Oh, tidak, Tim. Aku tidak mau kehidupanku yang tenang ini jadi hancur karena menjadi pasanganmu malam ini.” “Tapi aku sangat membutuhkanmu.” “Aku tahu. Kalau aku bisa, aku pasti akan membantumu.” “Kau bisa membantuku. Hanya kau yang bisa malah.” “Tapi...” “Hanya kau yang kuinginkan jadi pasanganku.” “Aku ta...” Aku sama sekali tidak melanjutkan ucapanku. “Apa yang kau katakan barusan?” “Aku hanya menginginkamu untuk jadi pasanganku. Aku tidak butuh orang lain. Selama ini aku tidak pernah menjadikan wanita manapun sebagai pasanganku untuk acara formal apapun. Aku bahkan memilih untuk datang sendiri. Hanya kau satu-satunya wanita yang pernah kubawa untuk menjadi pasanganku.” Aku menggeleng cepat. “Aku lebih tua darimu.” “Lalu kenapa? Apa urusannya? Aku tidak peduli tentang usia.” “Aku bahkan lebih cocok jadi kakakmu.” “Aku tidak pernah menganggapnya seperti itu. Usia kita hanya berbeda 1 tahun. Kau kira untuk apa aku selalu bersedia menjemput Sara saat yang kubutuhkan adalah istirahat lebih banyak karena semua jadwalku yang sangat padat? Itu semua kulakukan agar aku bisa melihatmu dan bicara denganmu.” “Cukup, Tim. Kau pasti hanya bercanda. Kau mengatakan ini karena ingin aku menjadi pendampingmu malam ini.” “Tidak juga. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Di acara itu ataupun tidak, aku tidak peduli. Kalau kau tidak ingin datang, aku tidak masalah. Kita akan mencari tempat lain untuk mengobrol selama itu artinya aku bisa menghabiskan waktuku denganmu.” Aku memperhatikan laki-laki yang setahun lebih muda dariku ini. “Kau serius? Jadi kau tidak akan datang ke acara itu kalau aku tidak bersedia jadi pendampingmu?” “Kalau kau tidak datang, untuk apa aku ada disana? Aku ingin bersama denganmu.” “Kau tidak bisa seperti ini!” “Kau bersedia?” Aku terdiam. Mau tidak mau aku harus menemaninya. Dengan sangat pelan aku mengangguk enggan. Baik dia maupun kakaknya sangat ahli dalam membuatku mengatakan iya. Mereka sangat ahli memanipulasi perasaanku dan pastinya sangat pesuasif. Mereka tahu kalau aku tidak pernah suka menjadi ‘yang disalahkan’ sehingga aku cenderung mengalah agar mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan, dalam batas-batas tertentu. Tapi aku tetap tidak bisa marah atau benci pada mereka. Karena di sisi lain, hanya mereka berdua yang kumiliki di dunia ini.   Aku sama sekali tidak mengenal siapa wanita yang sedang berdiri di depan cermin ini. Gaun China dengan model leher turtleneck tanpa lengan berwarna merah lembut  membuatku terlihat sangat berbeda. Awalnya aku memang menyukai gaun ini karena motif naganya yang melintang dari leher bagian kanan hingga ke paha kiri. Tapi, siapa sangka kalau tepat diujung ekor naga itu dimulailah belahan rok hingga ke mata kaki yang nyaris mengekspos seluruh pahaku. Dan aku kalah suara dengan pemilik butik dan Tim yang bekerja sama memaksaku untuk mengenakan gaun ini. Kami tiba tepat waktu di tempat acara begitu red carpet dilangsungkan. Dengan satu tangan menggandeng lengan Tim, aku berusaha menebar senyum pada siapapun yang menegur Tim sampai pria itu datang. Setidaknya meskipun aku tidak ingin datang ke acara ini, tidak ada orang lain yang boleh tahu dan berakibat mengacaukan karir Tim nantinya. “Hallo, Tim. Kau berhasil mencuri perhatian seluruh wartawan dan undangan malam ini dengan membawa wanita paling cantik disini.” Ujar laki-laki tampan dengan senyum mematikan yang kini berdiri di hadapanku ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.9K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

Married By Accident

read
224.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook