bc

Thorn And Roses

book_age18+
171
FOLLOW
1K
READ
manipulative
witch/wizard
princess
bxg
mystery
icy
city
magical world
another world
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Liburan semester, Jelena pergi mengunjungi rumah neneknya. Casante adalah wanita tua yang hangat dengan bau adas yang selalu Jelena sukai. Di suatu ketika, kebiasaan buruk Jelena yang penuh dengan rasa ingin tahu, membawanya pada suatu masalah yang terasa sulit untuk dia pecahkan dengan akal sehatnya.

Selama masa hidupnya, Jelena hanya tahu jika Peri, Unicorn, dan makhluk mitos lainnya, tidak lebih hanya sebatas dongeng. Namun, karena ulahnya yang satu ini Jelena harus terjebak bersama makhluk mitos tersebut. Ditambah lagi, gadis itu harus menggantikan posisi seseorang yang merupakan Pion penting dalam permainan kotor yang telah dibangun.

Dapatkah Jelena terbebas dari masalah yang dibuatnya dan kembali ke kehidupan normalnya.

Gambar : Dark Purple Floral Photo Simple Prayer Book Cover Aranged by Josephine

Williams (Canva)

Font : Playfair Display (Canva), Playlist Script (Canva), Montserrat Light (Canva),

Montserrat Classic (Canva)

Efek : Magis Midnight (Picsart)

Cover : Tary Manuaba

chap-preview
Free preview
1. Dongeng Apa Yang Ingin Didengar?
Jelena AKU MENURUNKAN KACA MOBIL sepenuhnya dan membiarkan beberapa helai rambut berterbangan oleh tiupan angin yang berdesakan untuk mengisi ruang di dalam mobil. Embusannya masih terasa dingin dan sedikit lembab, jalanan pun terlihat baru saja mengering beberapa saat lalu. Mungkin karena hari ini baru memasuki hari ketiga di awal musim panas, sehingga hujan di akhir musim semi masih terasa. Mataku melirik sekilas ke luar, mendapati beberapa anak sedang bermain di kubangan kecil. Kaki nakal mereka bergantian memainkan air yang tergenang, hingga membuat bagian ujung sepatu mereka sedikit basah. Pergelangan hingga betis mereka tidak jauh lebih baik, tertinggal titik-titik air kotor yang mengering di permukaan kulit. Dan celana yang hanya sebatas lutut juga tidak selamat dari bercak cokelat kehitaman tersebut. Anak kecil dengan kaos bergaris terlihat paling bersemangat menginjak kubangan, alih-alih mengenai temannya, sebagian besar air yang terciprat malah mengotori hampir setengah kain dari celana yang dia kenakan. “Bodoh,” dengusku. “Siapa?” Suara Mom menimpali. Kuabaikan pertanyaan Mom dan masih tetap menatap ke luar. Pemandangan tiga anak kecil tadi sudah menghilang beberapa saat lalu, tergantikan oleh jalanan kosong dengan rumah-rumah berjejer rapi selayaknya pagar pembatas, serta pertokoan yang juga ikut menghiasi jarang-jarang. Moskow masih tetap seindah dulu, bangunan mereka tidak bisa tertandingi walaupun mobil yang kami tumpangi mengarah ke bagian pinggir dari ibu kota Rusia. Tetap saja, pesonanya begitu memanjakan mata. Julukan sebagai Tahta Pertama Rusia, begitu melekat di kota ini. Sebuah awal baru terbentuk dengan pemikiran orang-orang yang cukup kritis bercampur perasaan gejolak untuk menghadapi bintang baru. Mereka mendambakan perubahan dan menginginkan kebebasan selayaknya negara-negara demokrasi. Sayangnya mereka harus tetap di dalam sangkar emas nan rupawan. “Mom, apa kamarku sudah siap?” Aku beralih menatap Mom di samping kanan, sedangkan Mom terlihat sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. “Hm.” Matanya bergulir ke kiri dan kanan, mengamati apa pun yang sedang ditampilkan pada layar ponsel. “Aku butuh jawaban, Mom.” Kali ini suaraku terdengar ketus, mengabaikan supir taksi yang tertangkap basah olehku sedang mengamati kami dari balik kaca depan kemudi. Aku memelototinya, hingga pria tua tersebut berjengit dan memutus pandangannya. “Mom sudah menjawabmu, sayang.” “Jawaban, bukan gumaman.” Kulipat tangan ke depan, kemudian dengan kasar mendorong tubuhku untuk bersandar ke belakang. Hingga Mom melirik dari sudut matanya. Sesaat. Setelah itu, dia kembali membawa pandangannya kearah layar ponsel. “Tenang saja, Casante tidak akan mengecewakanmu kali ini.” Aku melihat Mom mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. Seukuran kartu nama dan berwarna hitam mengkilap. “Mom bisa menjamin?” Aku melihat Mom menoleh ke arahku, tersenyum sebentar dan kemudian mengangguk sebagai jawaban. Bersamaan dengan kertas di tangannya yang kembali Mom masukkan ke dalam tas. “Selama aku sibuk, kau harus baik terhadap Casante.” “Kapan aku tidak baik padanya,” cibirku. Pandanganku terlempar kembali ke luar jendela. Menelisik tiap pohon beserta beberapa rumah yang dilewati mobil kami. Casante adalah wanita tua yang hangat, bau adas yang selalu menguar darinya seperti sesuatu yang lain dengan kemampuan mengaburkan pikiran. Ketika masih kecil aku selalu mengira Casante adalah seorang penyihir yang menyembunyikan identitasnya, sama seperti kisah-kisah yang selalu dia perdengarkan. Serta semua barang-barang di dalam kamarnya yang terasa memiliki daya magis. Namun, Casante tetaplah Casante. Wanita tua yang kusayangi. Saat liburan musim panas tahun lalu aku tidak bisa mengunjunginya karena kegiatan Summer camp dan kami semua diwajibkan untuk mengikuti acara tersebut. Dengan enggan aku harus melewatkan sesi berdongeng dari Casante dan sudah pasti wanita tua tersebut akan cukup kesepian karena Mom juga tidak datang mengunjunginya. Dulu aku meminta Mom untuk mengajak Casante tinggal bersama kami, dan Mom menantangku untuk membujuknya. Karena Mom tahu Casante selalu mengikuti pilihannya. Namun, aku pun selalu mengikuti pilihanku, membujuk wanita tua tersebut. . Aku menanyakan kenapa dia tidak ikut bersama kami saja untuk tinggal di New York setelah Dama—kakekku, meninggal empat tahun lalu. Casante hanya tersenyum dan berbicara tentang Moskow yang merupakan kota kesayangannya. Dia merasa bersalah jika meninggalkan kota ini lebih cepat, sebelum semua berakhir sesuai dengan takdirnya. Aku kebingungan, tentu saja. Casante selalu memakai kalimat yang janggal dan terlampau rumit. Menggambarkan segala hal dengan pemahamannya sendiri, seolah sedang mengajak pendengarnya untuk bermain teka-teki. Casante senang menyembunyikan tujuan utama dari semua perkataan yang dia ucapkan. Apa yang Casante tunggu tidak pernah wanita tua tersebut katakan, semua pada dirinya adalah misteri yang sulit untuk dipecahkan. Selayaknya permukaan laut, biru yang paling gelap adalah lautan yang paling dalam dan begitu banyak hal mengerikan yang akan kau temukan ketika mencoba menyelaminya. Semakin aku menginginkan jawaban dari bibir keriputnya, maka semakin wanita tersebut membicarakan hal-hal membingungkan. Bahkan, terlalu menakutkan untuk didengar oleh gadis sembilan tahun kala itu. “Raja lalim sedang mencari pengantin untuk dia nikmati sebagai hidangan penutup.” Setelahnya, di tiap malam aku selalu bermimpi tentang seseorang yang menakutkan. Lelaki berjubah hitam dengan taring dan mata segelap malam. Sudut bibirnya mengucurkan darah dan rambutnya keriting karena basah oleh hujan. Aku menceritakan mimpi tersebut kepada Casante dan bibirnya mengatakan hal yang paling menakutkan. Jika, sosok tersebut adalah Raja Lalim. Aku menggigil ketakutan, kala itu usiaku terlalu kecil untuk bisa membedakan jika sebuah dongeng sama halnya dengan kebohongan paling manis. Mobil yang kutumpangi berbelok di tikungan kecil, sekelilingku bukan lagi rumah dan pertokoan elit. Kami memasuki sebuah blok perumahan yang lebih sepi, semuanya seperti tengah berada di dalam rumah. Bersembunyi dari apa pun yag tidak pernah mereka inginkan untuk datang. Aku melihat pagar rumah kami di depan sana. Jenis rumah yang paling berbeda dari yang lain. Bergaya Victoria untuk rumah yang dibangun di tanah Asia. Dan lebih tepatnya, terlalu mencolok dibandingkan rumah-rumah lainnya. Taksi kami berhenti beberapa meter dari pagar depan. Besi hitamnya di beberapa bagian sudah sedikit berwarna tembaga, berkarat karena termakan usia dan cuaca. Dulu Dama sering mengecat ulang permukaannya, tapi setelah Casante tinggal sendiri, tidak ada lagi yang mengurusi semua kegiatan yang pernah Dama lakukan. Wanita tua tersebut lebih pemalas dariku. Mom membuka pintu mobil di sampingnya, begitupun denganku, serta supir taksi kami. Dia terlihat bergegas menuju bagian belakang mobil, membukakan bagasi untuk kami, dan membantu menurunkan koper-koper dari dalam sana. Totalnya berjumlah tiga koper dan satu tas jinjing. Mom membawa koper lebih dengan alasan pekerjaan yang cukup banyak di Rusia. Aku mengambil tas jinjing dan kemudian menentengnya di tangan kanan, serta sebelah tangan lagi menarik koper hitam. Kutinggalkan Mom yang sedang membayar biaya taksi kami, malas menunggunya karena badanku sudah cukup lelah. Sembilan jam penerbangan bukanlah waktu yang sebentar, beruntung aku tidak memiliki desinkronosis seperti sepupuku Judi. Dia bisa mengalami hal tersebut walaupun hanya penerbangan selama dua jam. Lalu, bagaimana jika sembilan jam? Mungkin dia sudah kehilangan kesadarannya detik itu juga. Kakiku mendorong pagar besi cukup keras, hingga celah terbentuk dan badanku melewatinya dengan luwes. Menarik koperku saat ini pun sudah terasa begitu berat, apalagi harus berjalan kurang lebih sepanjang seratus meter lagi untuk mencapai pintu depan rumah. Melewati kolam kecil dengan patung malaikat yang mengucurkan air dari dalam mulutnya. Posisinya berada di tanah yang lebih tinggi dari tempatku saat ini, dengan setiap sisi yang dihiasi undakan berukuran sedang. Menguji kesabaranku saat menaikinya satu per satu dengan koper besar di tangan. “Menyebalkan.” Saat undakan terakhir berhasil kupijak dan melewatinya. Pergerakanku berhenti dan menoleh ke belakang. Mom juga terlihat kesusahan dengan dua koper besarnya, ditambah lagi tas Prada keluaran terbaru—mungkin saja—melingkar di salah satu bahunya. Aku sempat berpikir, apakah semua wanita karir semerepotkan Mom? Dan jawabannya tentu tidak. Hanya Mom yang seperti itu. Aku kembali memfokuskan langkah, merasakan roda bawah koper terasa lebih mudah berputar, sebab halaman depan memiliki permukaan tanah mendatar yang mulus karena disemen dan bagian pinggirnya adalah lahan yang ditumbuhi rumput pendek terawat. Serta sedikit perasaan berbeda di sini, aku memikirkannya, sebelum mataku menangkap sesuatu yang lain berdiri di halaman sebelah kanan. Ada begitu banyak pot-pot besar dengan tanaman berukuran sedang yang tengah berbunga. Warnanya magenta, oranye, dan merah jambu yang lebih pudar. Terasa aneh ketika Casante tidak pernah menyukai berkebun sedikit pun apalagi memiliki sebuah taman yang terawat. “Wah, dia punya kebun bunga sekarang.” Di belakang sana Mom berseru riang. Aku tetap melangkah sambil memikirkan ekspresi Mom saat ini. Matanya akan membulat dan bibirnya terbuka lebar seperti goa yang ditinggali Leeviathan. Casante memang selalu mengejutkan. Aku cekikikan sambil terus melangkah menuju rumah yang berjarak lima meter lagi. Dan seperti tengah menunggu kami sejak tadi. Salah satu daun pintu ganda terbuka secara perlahan dengan sosok Casante yang terlihat melewatinya, pandangan wanita tua tersebut beralih kepadaku diikuti dengan senyuman hangat yang merekah. Sosoknya berhenti dan berdiri menunggu di ambang pintu untuk kuhampiri. Langkahku tidak terasa telah berlari kecil dan hanya beberapa detik saja aku sudah berada di depan Casante. Melepas genggaman pada koper dan tas hitam yang kubiarkan terjatuh di atas pualam, kemudian merentangkan tangan untuk mendekap tubuh ringkih Casante. “Aku merindukanmu.” Suara serak khasnya meniup telingaku. “Aku lebih merindukanmu,” kataku, sambil menggoyang-goyangkan pelukan kami. “Aku rasa kau lebih merindukan ranjangmu.” Casante melepas pelukannya dengan meninggalkan satu cubitan di ujung hidungku. Aku cekikikan pelan, “yang itu salah satunya.” Tubuhku berbalik menghampiri koper dan tas hitam kecil yang tergeletak beberapa langkah. Pandanganku menangkap Mom yang terlihat sudah berhasil melewati undakan dengan dua koper di tangannya. “Ayo, biarkan saja dia,” kataku, saat berbalik ke arah Casante. Wanita tua tersebut menurut sambil tertawa riang meninggalkan pintu rumahnya yang masih terbuka lebar. Menghindari amukan Mom tentu saja. Casante terlalu lelah dengan ocehan cerewet Mom, dan apalagi jika Mom mulai merajuk kesal karena ulah kami berdua. Mungkin waktu bersantai dengan rajutan di tangan Casante akan terlewat karena Mom dan semua rangkaian katanya yang luar biasa panjang. “Mera akan mengomel karena kau, Lena.” Casante berjalan di belakang. Mengikuti jejak langkahku yang bergerak menuju arah tangga besar, penghubung untuk tujuan utama di atas sana. Kamar berisikan ranjang empuk. Casante tinggal sendiri di dalam rumah besar ini, dengan hanya ditemani oleh barang-barang kuno. Tangga besar di tengah ruangan tersusun oleh anak tangga berlapis karpet hijau tua bercorak daun semanggi kecil-kecil berwarna sedikit lebih terang, serta pegangan tangga yang terbuat dari kayu kokoh berwarna hitam. Mengkilap seperti telah dipoles ulang. Sangat ganjil jika itu adalah hasil pekerjaan Casante. Perabotan di ruang tamu dibuat dengan model yang cukup aneh. Entah dari mana datangnya. Beberapa tempat duduk besar nan empuk, dengan salah satunya memiliki senderan atas yang melengkung menyerupai kanopi mini, serta yang lainnya memiliki lis pinggiran berwarna perak berhiaskan bulir-bulir kristal memantulkan berbagai warna. Satu jam duduk besar yang akan berdentang ketika pukul dua belas tepat dan tiga pagi, terlihat sangat mencolok di sudut ruangan yang kosong. Aku tidak tahu kenapa jam tersebut berdentang dua kali. Mungkin Dama menyetelkan waktu yang salah dan dia tidak pernah tahu bagaimana untuk merubahnya. Kakiku sudah sampai di dasar tangga dan menaikinya satu persatu. “Tidak masalah, dia juga menyebalkan karena terlalu sibuk.” Koper di tanganku tersangkut pada anak tangga pertama dan Casante dengan cekatan meraih sisi lainnya. Membantuku mengangkat sedikit benda berat tersebut. Dan kami melewati setiap anak tangga dengan penuh kesusahan. Satu anak tangga terakhir seolah menjadi tungguan kami. Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas beratku, begitupun dengan Casante, wanita tua tersebut terlihat lebih kesusahan dariku. Kami kemudian berbelok ke kiri. Bagian yang mengarah ke kamarku dan juga letak dari perpustakaan kecil dengan rak-rak berukuran sedang dari bahan kayu hitam, berisikan buku tebal bersampul kulit. Serta bagian lorong ini juga mengarah pada ruang kerja Dama. Kakekku sangat menggemari mesin-mesin yang sudah berusia puluhan tahun. Dia akan merenovasinya untuk membuat mesin tersebut kembali berjalan, jika masih bisa diperbaiki tentu saja. Dan kamar untuk Mom adalah di sisi kiri, disebrang lorong kamarku. Dia memiliki bagian lorong yang sama dengan kamar Casante dan juga ruangan bersantai yang berakhir pada balkon utama. Casante melepas pegangannya dari koper dan mendahului langkahku saat pintu berwarna cokelat tua terlihat di depan sana, pintu yang merupakan kamarku. “Kau mau makan apa?” Tangan Casante menarik satu rangkaian kunci dari saku pakaiannya yang menyerupai pakaian khas bangsawan Eropa pada jaman dulu. Gaun dengan luaran berenda, serta satu saku di sebelah kanan. Aku sedikit kebingungan, apa dia benar orang Asia. “Tergantung, kau memiliki persediaan apa?” Aku balik bertanya. Langkah kami sudah berhenti di depan pintu kamarku dan Casante mulai memasukkan kunci di tangannya. Memutar kunci tersebut hingga jalinan yang mengait satu sama lain di dalamnya terlepas. “Kau bisa mendapatkan apa pun di sini.” Casante menatapku dengan senyuman hangat, tangan kirinya mendorong pintu di depan kami untuk terbuka lebar. Menampilkan bagian dalam yang berisikan ranjang besar dengan tirai tipis diikat masing-masing ke penyangganya. Lemari kayu besar, meja rias dengan ukiran bunga dan sulur yang mengelilingi kaca bulat tersebut, serta meja lain berukuran sedang juga dua sofa kecil di dekat jendela besar. Terkadang aku merasa sedang berada di dalam istana karena beberapa perabotan rumah ini yang terkesan datang dari waktu yang berbeda. “Kalau begitu aku mau steak yang enak, dagingnya harus lembut dan harum.” Pandanganku beralih kearah Casante. Senyum wanita itu semakin melebar, menampilkan lebih banyak guratan-guratan di wajahnya. “Aku akan memanggilmu saat sudah siap,” katanya, sembari mendorong punggungku untuk masuk. Aku sangat senang jika sudah bersama dengan Casante. Dia selalu melakukan apa pun dengan berbagai hal yang kusukai, berbeda sekali dengan Mom yang jarang memasak dan lebih sering memesan makanan cepat saji. Tapi, Mom tidak pernah berhenti untuk mengingatkan jika aku harus menjaga kesehatanku. Jadi, siapa yang bodoh di sini. Pintu di belakangku sudah kembali tertutup. Samar-samar aku mendengar langkah Casante yang menjauh dan juga mendengar panggilan Mom dari bawah sana. Aku kembali melangkah, membawa kakiku bergerak menuju ranjang besar nan menggiurkan. Setelahnya aku melempar tubuhku begitu saja, tidak peduli jika aku mendarat dengan tertelungkup. Asal itu adalah menempel di ranjang. Kuputar kepala ke samping. Menggerakkan kedua tangan dan kaki seperti tengah berenang di permukaan ranjang. Merasakan lembutnya selimut beledu di bawah tubuhku. Rasanya aku ingin langsung tidur saat ini, sebelum gagasan tersebut buyar oleh ingatanku tentang isi koper besar. Tubuhku terangkat dan menoleh ke belakang sana, mendengus saat mengingat ancaman Mom jika aku tidak langsung membereskan barang-barangku. “Mom tidak akan meninggalkan kartu untukmu, sebelum kamarmu terlihat baik-baik saja.” “Ah, menyebalkan.” Tubuhku menjauhi ranjang, bergerak dengan keengganan menuju koper, serta tas jinjing yang kutinggalkan di dekat pintu. Punggungku melengkung karena malas dan tanganku seolah memiliki pikiran sendiri, menjadi lemas untuk kugerakan. Namun, aku tetap harus memindahkan koper dan tas tersebut ke dekat lemari untuk memudahkanku membereskan pakaian. Jarakku dengan lemari hanya beberapa langkah, tapi rasanya begitu jauh. Seperti lantai ini terbentang layaknya karet elastis dan semakin mengolok-olokku dengan segala rasa enggan yang menjalar. Kubanting koper tersebut cukup keras, membuatnya berakhir dengan posisi tertidur. Sama halnya dengan ranjangku, lemari ini terbuat dari kayu yang kokoh entah apa jenisnya, tapi benda tersebut terlihat sangat mahal dan mengkilap. Aku menarik dua daun pintunya sekaligus. Membukanya selebar mungkin dan pandanganku langsung menangkap delapan gantungan di bagian sisi kiri. Mungkin aku akan mengisinya dengan jaket dan beberapa pakaian yang mudah kusut jika dilipat. Kutarik ziper di samping koper, membuka celah hingga layaknya terbelah menjadi dua sisi. Aku terbiasa meletakkan kaos polos berwarna di tumpukan bagian atas. Karena pakian jenis tersebut yang akan lebih sering kugunakan. Satu persatu kurapikan pakaian ke dalam lemari. Mulai dari kaos dan celana yang sudah kulipat rapi, kuletakkan secara bertumpuk di satu sisi lemari, dan memisahkan antara celana dan pakaian atas. Setelah semuanya tertata dengan rapi, aku kembali bergerak ke samping dan mengisi semua gantungan pakaian yang ada. Di bagian dasar koper tersisa tas-tas kecil, berisi alat make up dan pernak-pernik kecil kegemaranku. Isinya kukeluarkan dan kutata dengan rapi di atas meja rias di dekat tempat tidur. Selanjutnya, kubuka tas jinjing di sebelah koper hitamku. Isinya adalah satu buku novel yang kulempar asal ke arah ranjang, beberapa peralatan untuk memperindah rambutku dan beberapa pakaian tidur yang langsung kuletakkan asal di celah yang terasa masih cukup dalam lemari. Benda-benada sisanya kuletakkan di bagian lemari penyimpanan di bawah meja rias. “Selesai.” Aku berdiri dan kemudian kembali melemparkan tubuh ke atas ranjang. Tanganku meraih novel yang tadi kuletakkan di ujung ranjang. “Apa yang harus aku kerjakan sekarang?” “Tidak tahu.” “Jadi, kenapa tidak lanjutkan membaca buku ini.” Kubuka halaman dengan menekan bagian pinggir buku menggunakan ibu jari. Seperti seorang rentenir yang tengah menghitung uang yang baru saja dikembalikan pelanggannya. Aku berhenti saat pembatas buku tersebut mencuat dari dalam buku, melihat halaman yang baru selesai k****a belum mencapai setengah dari total keseluruhan halaman. Beberapa hari ini aku kehilangan selera untuk membaca. Bahkan saat ini, aku kembali melempar buku tersebut hingga mendarat di dekat tiang penyangga di ujung ranjang. Tanganku bergerak ke dalam saku hoodie dan mengambil ponsel dari sana. tubuhku berguling ke samping, memperhatikan layar ponsel yang masih mati sejak keberangkatanku dari New York. Kutekan tombol sampingnya cukup lama, hingga layar itu kembali menyala. Sembari menunggu ponsel tersebut siap kugunakan, kurubah posisi menjadi duduk di sisi samping ranjang, kemudian mulai melepaskan sepatu juga hoodie yang melekat sedari tadi. Menyisakan jeans dan kaos putih polos yang kelonggaran. “Ini yang kusuka.” Kuambil ponsel tersebut dan bergerak mendekat ke kepala ranjang. Sebelum kusandarkan punggung di sana, tanganku sudah lebih dulu bergerak menumpuk dua bantal bersarung warna putih, menjadi pembatas antara punggungguku dengan permukaan kepala ranjang. “Apa? Rayen sudah menjadi Ayah?” Kutelusuri berita tersebut, membacanya secara rinci hingga pada komentar beberapa orang di sana. “Anaknya akan lebih mirip siapa?” “Seorang putri, semoga dia secantik Lyli.” Aku mendengus membaca komentar tersebut. “Kalau mau cantik, dia harus mirip Ayahnya.” Kugeser lagi ke atas, melanjutkan membaca komentar yang beberapa bahkan terasa amat konyol. “Dia harus menjadi penyanyi seperti Ayahnya.” “Kau harus tinggi dan warisi bakat modeling Ibumu.” “Berhati-hatilah, nenekmu itu berbahaya.” Aku tertawa untuk yang ini. Wanita itu memang terlihat sangat menyeramkan. Entah kenapa dia bisa membuat kedua anaknya menurut untuk mengikuti semua keinginannya. “Beruntung Mom tidak seperti itu.” “Memang Mom kenapa?” Aku berjengit, menoleh dengan cepat kearah pintu yang sudah terbuka setengah dengan Mom bersandar di sisi yang lainnya. Aku tidak mendengar langkah kaki Mom, bahkan saat dia membuka pintu. “Kapan Mom di sana?” “Baru saja, saat Mom dengar kau tertawa cukup keras.” Mom berjalan memasuki kamarku. Bergerak ke dekat lemari, mengamati koper yang masih terbuka lebar. Benar bukan, dia akan mengecek apakah barang-barangku sudah kubereskan pada tempatnya. “Oh, sekarang kau cukup cepat.” Mom menaikkan kedua alisnya dan tersenyum ke arahku. “Turunlah jika kau tidak terlalu lelah, temani Casante menonton televisi. Mom akan memasakkan steak untukmu.” Bagai kembang api saat tahun baru. Meledak dengan suara sekeras mungkin dan bercahaya sangat terang. Aku langsung melompat dari ranjang. Meninggalkan ponsel yang tergelak di sana dan bergegas mengikuti Mom yang sudah ke luar dari kamarku, setelah memuntahkan semua ucapannya yang terasa seperti taburan bunga di musim semi untukku. Jarak kami belum terlalu jauh, kukejar Mom di depan sana dengan langkah cepat. Tidak biasanya Mom mau memasak, apalagi setelah perjalanan jauh dengan pesawat. Mom pasti memilih untuk meringkuk di atas tempat tidurnya. “Tumben sekali.” Aku mengikuti Mom dari belakang. Suaraku pasti sudah terdengar seperti anak kecil yang sangat antusias saat dijanjikan hadiah gulali dan es krim. Langkah kami sudah berada di atas tangga. Mom meraih pegangan saat akan menuruninya dan aku pun melakukan hal yang sama. Mengikuti Mom menuruni tangga dengan langkah yang cepat. “Casante sudah terlalu tua untuk memotong daging dan memanggangnya.” Mom berbelok ke kanan, bergerak ke ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga, dapur, serta meja makan. Dengan tembok bercelah melengkung sebagai pembatas di tiap ruangan tersebut. Saat aku memasuki ruang keluarga, Casante sudah terlihat duduk sendirian di sofa yang terletak di sudut meja, sofa tersebut berukuran lebih besar serta lebih tinggi. Di pangkuannya terdapat sebuah piring dengan buah yang sudah terpotong-potong kecil. Mata biru Casante mengarah pada siaran televisi yang tengah menayangkan drama telenovela, sepertinya itu adalah tayangan ulang dari drama yang sudah diproduksi lama sekali. Mom sudah melewati lengkungan dinding dan berjalan kearah dapur. Aku melangkah kearah sofa panjang di samping Casante, melemparkan tubuhku cukup keras dan mendesah nikmat, ketika meluruskan kaki ke satu sisi lengan sofa dengan kepala yang menumpu di lengan sofa lainnya. “Apa semua orang tua menyukai kisah seperti ini?” Aku bertanya sambil mengamati tayangan di televisi. Ada tiga orang di sana, satu laki-laki dan dua wanita. Sepertinya ini adalah kisah cinta segitiga, dilihat dari wanita berambut pirang yang tengah menangis sambil menunjuk-nunjuk wanita satunya lagi. Oh, mungkin si lelaki sedang ketahuan berselingkuh. “Ini adalah kisah yang bagus, Lena.” Casante kembali menyuapkan buah ke dalam mulutnya. Kali ini adalah buah mangga yang sudah matang, atau setengah matang lebih tepatnya. Warna mangga itu masih kuning pucat dan terlihat sekali kalau rasanya asam. Namun, Casante memasukkannya seperti tengah menikmati gulali yang baru selesai dibuat. “Tidak, cinta segitiga tidak pernah menjadi kisah yang bagus.” Pundakku bergerak untuk mencari posisi yang lebih nyaman. Mom masih belum ke luar dari ruangan sebelah, mungkin saja dia sedang kesusahan untuk memotong dagingnya. Atau mungkin saja dia lupa bagaiamana cara memasak, ketika tidak terdengar suara apa pun dari arah dapur. Drama telenovela tadi telah berganti dengan iklan, Casante menghentikan suapannya dan meletakkan piring tersebut ke atas meja. “Kau tahu Lena, siapa sebenarnya kekasih lelaki tadi?” Aku menoleh kearah Casante. Wanita tua itu sedang mengamati rajutan di cardigan yang dia kenakan. “Tidak, kau yang lebih tahu karena menontonnya setiap hari.” Casante mendengus, tatapan malasnya terarah kepadaku. “Tebak saja.” Walau enggan, aku tetap memikirkan pertanyaan Casante. “Jelas si wanita yang menangis, dia mengetahui kekasihnya berselingkuh.” Aku mengalihkan pandangan dan mendapati mata biru Casante tengah menatapku dengan binar yang paling terang, serta bibir keriputnya tertarik untuk tersenyum. “Mau kuceritakan satu kisah? Tentang putri duyung—,” “Yang dikutuk menjadi buih oleh penyihir.” Aku melihat senyum Casante semakin lebar. “Oh, kau kehilangan sedikit momennya, Lena. Putri duyung dikutuk oleh penyihir karena telah berani merebut jodoh orang lain.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Time Travel Wedding

read
5.3K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.1K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook