bc

Calista

book_age16+
1.5K
FOLLOW
15.4K
READ
love after marriage
pregnant
arrogant
CEO
boss
sweet
like
intro-logo
Blurb

Calista Sabria Halim. Model cantik dan terkenal yang sudah tak perlu diragukan lagi prestasinya. Bukan hanya sukses sebagai model di dalam negeri, tak jarang juga ia mengikuti berbagai fashion show yang diadakan di luar negeri.

Namun prestasinya tak sejalan dengan kehidupan pribadinya. Ia dibenci banyak orang karena sifat sombong dan angkuhnya, bahkan ia diabaikan oleh ayah kandungnya sendiri.

Sampai takdir mempertemukannya dengan seorang Rafka Kalandra Lazuardy, seorang direktur tampan yang dikenal playboy. Pria itu tertarik pada Calista dan bertekad untuk membuat Calista bertekuk lutut pada pesonanya.

Apa yang terjadi pada mereka selanjutnya? Apakah Rafka berhasil membuat Calista bertekuk lutut padanya? Atau justru dirinya yang tergila-gila pada pesona Calista.

chap-preview
Free preview
Calista -Hurt-
Udara panas Jakarta langsung menyambutku saat turun dari pesawat. Cukup lama aku meninggalkan kota kelahiranku ini. Namun tidak ada perasaran rindu untuk kembali ke tanah air. Bukan karena tingkat kepadatan penduduknya yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan juga karena tingkat polusi yang semakin memprihatinkan. Aku memiliki beberapa alasan yang membuatku tak ingin lagi kembali ke kota ini. Aku memakai kacamata hitam untuk menghindari para paparazzi yang mungkin sudah berkumpul menungguku. Meski aku tahu, kacamata yang kupakai tidak akan berguna untuk menghindar dari mereka. Tapi setidaknya, para pencari berita itu tak melihat lingkaran hitam yang menghiasi mataku. Tebakanku benar. Sudah banyak yang berkumpul dengan kamera dan alat perekam suara di tangan mereka. Mereka dengan mudah mengenaliku. Mendekat dan membuatku kesulitan berjalan keluar. "Calista. Bagaimana perasaan Anda bisa tampil dalam fashion show itu?" "Calista.. Apa tanggapan Anda karena dipercaya membawakan rancangan designer dunia?" "Calista.." "Calista.." "Calista.." Aku hanya menggumamkan kata maaf dan permisi. Meskipun sudah ada dua bodyguard yang melindungiku, tetap saja jumlah mereka tak sebanding dengan jumlah para pencari berita ini. "Welcome back to Indonesia, Sweety." Aku mencebik kesal, tetapi tetap masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh laki-laki yang barusan menyapaku. Namanya Varen, manajerku selama lima tahun terakhir. Varen merupakan salah satu asisten Mama yang tugasnya mendampingiku saat Mama tidak bisa hadir. Semua kegiatan dan jadwalku masih dikelola Mama. Andai bisa memilih, aku lebih menyukai bekerja dengan Varen tanpa campur tangan ibuku. "Jangan lupakan seatbelt-mu, Sweety." Varen tersenyum setelah aku menuruti ucapannya. Varen adalah pria tampan. Sangat tampan malah. Usianya tak terpaut jauh denganku, hanya berbeda enam tahun. Aku selalu nyaman berada di dekatnya. Varen juga sering kujadikan sandaran saat aku membutuhkan tempat curhat. Karena hanya dia satu-satunya teman yang aku miliki. Bisa saja jatuh cinta kepadanya, jika saja orientasi seksualnya tidak menyimpang. "Langsung pulang ke rumah?" tanyanya padaku. "Adakah pilihan lain selain tempat itu?" tanyaku balik dengan setengah mencebik. "Kalau ada, kamu boleh bawa aku ke mana aja, asal bukan ke tempat terkutuk itu." Varen tertawa kecil mendengarnya. Namun tak kuhiraukan. Orang lain mungkin akan menatap heran, atau bahkan menghujatku jika mendengar apa yang baru saja kukatakan. Tetapi hal yang sama tidak berlaku pada Varen. Telinganya sudah terbiasa mendengarku memaki atau mengumpati segala sesuatu yang berkaitan dengan kediaman orang tuaku itu. "Jangan ditekuk gitu dong mukanya." "Kamu yang mancing emosiku." Varen hanya tersenyum menanggapi. Senyum menawan yang mampu membuat wanita di luar sana bertekuk lutut di hadapannya. "Nggak usah senyum-senyum gitu. Percuma juga," protesku. Dia masih tetap menatapku sambil memberikan senyum mautnya. "VAREN!" teriakku kesal. "Ok, ok." "Jam berapa pemotretan hari ini?" tanyaku lalu memalingkan wajah ke luar jendela. "Nggak mau istirahat dulu, Lis? Kamu kan baru nyampe. Nanti aku undur aja jadwalnya jadi besok." "Dan membiarkanku berlama-lama di rumah sialan itu? Big no!" "Tapi, Lis.." "Aku cuma butuh satu sampai dua jam untuk istirahat. Kalau bukan karena Fariz, aku juga lebih baik langsung ke lokasi pemotretan." Aku mendengar Varen menghela napasnya. Sepertinya sudah kehabisan kata untuk membujukku. "Ok, jam tiga aku jemput kamu. Hari ini jadwal kamu nggak terlalu padat. Kita ada pemotretan di puncak sekitar jam tujuh, setelah itu kamu bisa istirahat." Aku mengangguk mendengar penjelasan Varen. Mataku masih tak lepas dari pemandangan luar kaca mobil yang sebenarnya sama sekali tidak menarik. Mobil Varen tiba di halaman rumah keluarga Halim. Aku bisa melihat tiga buah mobil berjajar rapi di carport. Sial, mereka semua ada di rumah. "Kak Briii..." teriak seorang bocah laki-laki. Dia lalu berlari ke arahku begitu aku keluar dari mobil. Sepertinya sudah menungguku dari tadi. "Hai, baby boy.." sapaku. Aku lalu mencium kedua pipinya dengan gemas. Dia tertawa dan balas memelukku. "Fariz rindu Kak Bri." "Kak Bri juga rindu sama kamu." Dia Athafariz Oktavian Halim, adik bungsuku yang selisih usianya cukup jauh denganku. Ia baru saja merayakan ulang tahunnya kesepuluh, tiga hari lalu. Saat aku masih menghadiri fashion show di Milan. "Kado Fariz mana, Kak?" tuntutnya. "Ada di dalam koper Kakak. Kita lihat di dalam ya." Selain terpilih menjadi salah satu model yang berpartisipasi dalam salah satu even besar di Italia, Milan Fashion Week, alasan lain yang membuatku meninggalkan Indonesia untuk beberapa waktu adalah  menghindari perayaan ulang tahun adikku. Bukan karena aku tidak menyayangi Fariz. Aku hanya terlalu malas melihat drama yang ditampilkan keluargaku. Karena ulang tahun Fariz yang kesepuluh kemarin sudah pasti tidak luput dari liputan media. Dan mamaku tercinta, Ibu Fenita Maharani yang terhormat itu sudah pasti menunjukkan keharmonisan keluarganya di depan awak media. Ck, memuakkan. Aku tidak peduli jika kalian mengataiku anak durhaka, anak tidak tahu diuntung, atau cercaan lainnya. Silakan saja menghujatku seperti yang sudah dilakukan orang-orang di belakangku. Varen mungkin sudah meninggalkan rumah ketika Fariz menarik tanganku masuk ke dalam. Pak Ali membantu membawakan koperku yang berukuran besar. Sementara Fariz dengan semangat, membawakan koperku yang berukuran lebih kecil ke lantai atas. Isinya hanya peralatan make-up, kado untuk Fariz, serta beberapa oleh-oleh pesanan Fariz. Langkahku terhenti ketika melihat Papa serta putri kesayangannya, duduk bersantai di depan televisi. Melihat mereka berdua, mood-ku yang sempat membaik karena Fariz, mendadak kembali kacau. Rasanya ingin memutar badan kembali ke halaman rumah, lalu mencari taksi dan segera bergegas pergi dari rumah ini. "Eh, Lista. Udah pulang?" Rupanya putri kesayangan Agustian Halim menyadari kehadiranku. Tanpa menghiraukan sapaannya, aku terus menaiki tangga menuju kamar. Menyusul Fariz yang mungkin sudah membongkar iai koperku demi menemukan hadiah miliknya. "Kamu punya masih punya mulut untuk menjawab pertanyaan kakakmu bukan, Calista?" Pertanyaan dengan nada sarkas tersebut, tentunya terlontar dari bibir Papa. "Hmm.." gumamku. "Papa juga sudah berulang kali bilang sama kamu, Nadhira. Tidak usah pedulikan adikmu itu. Kamu saja yang menganggapnya adik, tapi dia tidak pernah menganggapmu sebagai kakaknya." "Tapi, Pa.." "Sudah, Nadhira. Jangan buang waktu berhargamu hanya untuk mengurus hal yang tidak penting." Aku mencengkram pegangan anak tangga dengan kuat. Berusaha menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Bagaimana dengan Papa? Apa Papa pernah menghargai aku? Apa Papa pernah menganggap aku ada di sini? Apa Papa pernah sekali saja mencoba menjaga perasaan aku? Enggak kan, Pa? Sayangnya semua kalimat itu hanya terucap di dalam hati. Lidahku terlalu kelu untuk menyampaikan segala emosi yang kupendam selama bertahun-tahun. Demi menjaga hatinya agar tidak lebih hancur lagi, aku masuk ke kamar dan menutup pintunya pelan. Fariz sudah ada di sana, masih sibuk membongkar isi koper. Setelah menemukan kadonya, ia memelukku, mencium kedua pipi lalu secepat kilat berlari keluar dari kamar dengan berteriak girang. Aku ikut tertawa mendengar teriakan riangnya yang lumayan meredakan emosiku tadi. Setidaknya sampai emosiku tersulut kembali. Dan benar saja. Bertepatan saat aku mengambil handuk, bersiap untuk mandi, pintu kamarku kembali terbuka. menampilkan sang nyonya rumah, mamaku. Coba tebak apa yang dilakukan Inbu Fenita Maharani padaku? Memelukku? Menanyakan kabar? Mengucap rindu? Hah.. semua salah. Yang dilakukan ibuku justru melemparkan lembaran foti tepat ke depan wajahku. "Apa ini, Calista?" tanyanya murka. "Kamu senang karena mempermalukan Mama? Bagaimana bisa kamu memakai gaun robek seperti itu, hah?" Terjadi insiden kecil saat acara fashion show  kemarin. Aku tidak menyadari kalau terdapat robekan yang cukup besar pada bagian belakang gaunku. Aku yang tidak menyadarinya tetap fokus berjalan di atas catwalk. Menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Setelah berada di backstage, Varen yang pertama kali menyadari robekan tersebut. Ia terkejut dan bertanya panik. Sayangnya, ada yang menyadari kesalahanku. Mengabadikan foto dan boom.. Indonesia memiliki bahan gosip baru dan itu tentu saja tentangku. Dan Ibu Fenita Maharani jelas saja murka mengetahui hal tersebut. "Aku nggak tahu gaunnya robek, Ma," belaku. "Sebelum tampil, aku memang sempat bertubrukan dengan salah satu kameramen. Tapi aku beneran nggak tahu kenapa gaunnya bisa robek." "Banyak alasan kamu. Apa kerja si Nadia? Mama menggajinya untuk menjadi asisten kamu. Bagaimana bisa dia lalai seperti ini, sampai nggak tahu gaun kamu robek? Ngapain aja dia di sana, hah? Jelalatan ngeliatin bule-bule?" "Mama nggak perlu menyalahkan Nadia. Itu bukan salah dia. Waktu itu dia aku suruh ngambil handphone aku yang ketinggalan di mobil." Mama terdiam sejenak. "Kamu tahu, Calista, Mama nggak suka kamu bikin sensasi kayak gini. Yang Mama mau dari kamu cuma prestasi. Prestasi, Calista. Mama nggak suka mereka membicarakan kamu. Mama.. Hei Calista, dengarkan Mama dulu. Mama belum selesai bicara. Kamu mau ke mana?" "Aku lapar dan aku mau ke dapur," jawabku seraya meletakkan kembali handuk yang sebelumnya sudah kuambil dari dalam lemari. "Jam tiga nanti aku harus berangkat ke Puncak. Ada pemotretan di sana. Mama nggak lupa sama jadwalku kan?" Aku lalu melengos pergi meninggalkan Mama di kamar. Meninggalkan Mama yang kelihatan belum puas mengeluarkan emosinya. Sementara aku merasa tak perlu ambil pusing dari kejadian itu. Toh seiring berjalannya waktu, secara perlahan masyarakat akan melupakan kejadian itu dan mulai membicarakan gosip terbaru yang akan muncul nanti. "Bibii.." Aku menghampiri Bi Darmi yang sibuk sendirian di dapur. "Masya Allah, Non Sabria. Bibi kaget atuh Non.." Aku tak memedulikan protes Bi Darmi. Aku melihat keadaan dapur yang sepi lalu menghampiri Bi Darmi dan memeluknya erat. "Bia kangen, Bu.." *** Tepat pukul tiga sore, aku sudah selesai bersiap-siap, sambil menunggu Varen yang  katanya sudah dalam perjalanam menjemputku. Mama pergi entah ke mana setelah memarahiku di kamar tadi siang. "Non.., itu di bawah udah ditunggu Den Varen," ujar Minah, salah satu ART di rumah ini. Aku lalu meraih clutch-ku dan melenggang pergi meninggalkan kamar. Aku memang tak perlu membawa kostum atau peralatan make-up. Semua yang kubutuhkan sudah tersedia di sana. Saat menuruni anak tangga, aku melihat Papa dan anak kesayangannya masih asyik berbincang akrab. Hal seperti itu sudah seperti ritual rutin di antara mereka. "Tadi Rayyan nelepon Papa. Dia minta izin mau datang nanti malam. Memangnya ada apa, Dir? Tumben minta izin sama Papa kalau mau ke rumah." Aku menghentikan langkah mendengar pertanyaan Papa. Mereka tidak menyadari kehadiranku karena posisi mereka membelakangiku. Suara yang berasal dari tv juga cukup keras hingga mereka tidak mendengar ketukan heels yang kukenakan saat beradu di lantai. "Dira dilamar Mas Rayyan, Pa." Dadaku terasa seperti ditusuk benda tak kasat mata mendengar pengakuannya. Mendengar pria yang kucintai dalam diam selama ini melamar wanita yang paling kubenci di muka bumi. "Kamu serius, Dir?" tanya Papa tak percaya. "Iya, Pa. Dira serius. Nanti malam Mas Rayyan sama orang tuanya mau melamar Dira secara langsung ke Papa." "Kenapa kamu nggak ngomong dari tadi, Sayang. Papa kan bisa minta Bi Darmi masak yang spesial untuk menyambut tamu kita nanti malam." Aku berjalan cepat meninggalkan rumah. Merasa tak lagi sanggup mendengar kelanjutan pembicaraan mereka yang pastinya hanya akan semakin mengiris hatiku. "Are you ready?" tanya Varen. Dia sudah membukakan pintu mobil untukku. Setidaknya aku harus bersikap profesional sampai pekerjaanku selesai hari ini. Kalau aku menangis sekarang, aku takut tidak bisa mengendalikan emosi dan mengacaukan pemotretan hari ini. "I'm ready." *** Pemotretan berjalan kurang lancar. Berulang kali para kru menegurku karena kedapatan melamun, tak fokus. Padahal aku sudah berusaha menekan emosi, setidaknya sampai pemotretan selesai. Tapi tetap saja berakhir percuma. Aku berlalu menuju ruang ganti begitu pemotretan selesai. Bahkan aku tak meminta maaf kepada mereka yang harus pulang terlambat hari ini. "Are you okay?" tanya Varen yang menyusulku ke ruang ganti. "I'm not. Aku butuh minum.." Bukan air mineral yang kumaksud dengan kata 'minum' itu. Dan kukira Varen mengerti maksudku. Dia menghela napasnya kasar. "Ok, tapi cuma satu gelas." Aku tak menghiraukannya dan terus melepas accesories yang kupakai. Setelah itu, Varen keluar dari ruang ganti karena tahu aku harus berganti pakaian dan segera pergi ke tempat tujuanku bersama Varen. Di sinilah aku sekarang, berada di tengah hingar bingar lampu distotik yang diiringi dentuman musik berirama up beat. Varen masih setia duduk menemaniku menenggak alkohol yang sudah entah gelas keberapa. Aku tahu minuman ini haram dikonsumsi, tapi aku benar-benar membutuhkannya saat ini. "Cukup Calista, ini udah gelas kelima." "Satu lagi Varen. Please.." "Kamu pilih berhenti atau aku tinggalkan kamu di sini," ancamnya. Aku lalu meletakkan kembali tequila tersebut. "Sekarang kamu cerita sama aku. Kamu kenapa? Ini bukan seperti Calista yang aku kenal." Pertahananku runtuh mendengar suara lembut Varen. Aku sudah berusaha sekuat mungkin menahan air mata dari tadi. Tapi akhirnya air mata itu turun juga. "Dia mau nikah, Ren. Dia.. pria yang aku cintai akan menikahi wanita itu." "Siapa yang kamu maksud, Calista?" "Mereka akan menikah dan bahagia, Varen. Aku benci mereka. Aku benci. Kenapa mereka tega sama aku, Varen? Kenapa dia lebih memilih wanita itu? Apa aku kurang menarik Varen? Apa aku masih kurang cantik?" racauku. "Calista, dengarkan aku," katanya sambil menangkup kedua pipiku. "Kamu cantik, sangat cantik dan menarik. Kamu gadis tercantik yang pernah kutemui. Hanya pria bodoh yang mengatakan kamu tidak cantik." "Kamu bohong." Aku menepis kedua tangannya dari pipiku. "Bahkan kamu tidak tertarik sama aku." "Tidak ada yang menyayangiku, Ren." Aku kembali meracau. Teringat bagaimana cara orang-orang di sekelilingku memperlakukanku. "Nggak ada yang tulus cinta dan sayang sama aku. Cuma kamu, Varen. Cuma kamu yang aku anggap tulus. Aku nyaman sama kamu. Tapi bahkan kamu pun nggak tertarik padaku." Aku terdiam sebentar, lalu kembali melanjutkan kata-kataku. "Sembuhlah, Ren. Aku mohon kamu mau menyembuhkan penyakitmu. Lalu nikahi aku dan bawa aku pergi jauh dari mereka. Aku juga ingin bahagia. Aku mohon.." Aku semakin terisak di hadapan Varen. Varen mengelus kepalaku dengan sayang. Dia memang satu-satunya teman yang aku punya. Setidaknya aku harus berterima kasih pada Mama karena sudah mempertemukanku dengan Varen. Karena kelelahan menangis serta pengaruh tequila yang kuminum, kepalaku terasa pusing. Setelahnya, aku sudah mulai beranjak ke alam mimpi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Long Road

read
118.3K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.2K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
114.0K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.7K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook