Kencan Pertama

1891 Words
Brak ... “Sial! Gadis macam apa dia, memaksa seorang pria berkencan dengannya. Apa sudah tidak ada laki-laki yang ingin berkencan dengannya?” umpat Andra sambil memukul meja, sesaat setelah Aina keluar dari ruangannya. Andra kembali duduk dan langsung mencondongkan tubuhnya ke meja untuk bicara di telepon. "Fina, panggil Adit untuk segera ke ruanganku,” perintah Andra melalui interkom. Sepuluh menit kemudian terdengar suara ketukan pintu dari ruangan. Tok ... Tok .... “Masuk!” “Ada apa Bosku? Mau mentraktir makan siang?” goda Adit di detik pertama membuka pintu “Hei, ada apa dengan wajahmu? Kenapa suram begitu?” “Aku baru saja tertimpa masalah dengan seorang gadis messum.” “Gadis messum?! Apa kau menyewa wanita ...?” Adit mengangkat kedua tangan dan menggerakkan dua jarinya mengisyaratkan tanda kutip. “Astaga ... kenapa aku harus dipertemukan dengan orang-orang bodoh hari ini? Baru saja aku berdebat dengan gadis bodoh dan messum, sekarang sahabatku sendiri juga ikutan bodoh. Mana mungkin aku menggunakan wanita semacam itu?!” ujar Andra, kesal dengan kejadian pagi ini. “Aku bodoh? Bukankah kau yang bilang sedang bermasalah dengan gadis messum,“ balas Adit dengan membela diri sambil mendaratkan bokongnya di sofa depan meja kerja Andra. Andra bangkit dari kursinya untuk menghampiri Adit dan duduk menceritakan kesedihannya. Dari mulai pernikahan Fina, kejadian tadi malam saat dia mabuk lalu bangun sudah ada di kamar hotel sampai ajakan kencan dari salah satu pegawainya. “Preerff ... prreeeeff ... .” Adit berusaha menahan tawa mendengar cerita Andra. “Dan kau juga menertawaiku sekarang! Heeh ....” Andra hanya bisa menghela nafas kasar melihat ekspresi sahabatnya yang tidak menunjukkan keprihatinan sedikit pun setelah mendengar ceritanya. Adit dan Andra memang sudah bersahabat sejak SMA hingga kuliah. Saat lulus kuliah dulu, tadinya Adit ingin bekerja di perusahaan lain dan membantu ayahnya yang saat itu haru memulai usaha, tapi Andra memaksa untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya. Walaupun awalnya persahabatan mereka ditentang kedua orang tua Andra karena Adit tidak sepadan dengannya, tapi ia mengancam tidak akan mau memegang perusahaan jika Adit tidak diperbolehkan berteman dan bekerja di PG hingga akhirnya persahabatan mereka terjalin hingga kini. “Aku bingung harus sedih atau tertawa mendengar ceritamu. Jujur, aku turut prihatin karena kau ditinggal menikah, tapi di satu sisi aku kagum dengan pegawai yang berani mengancam dan mengajakmu berkencan.” “Entahlah, aku akan menurutinya atau tidak.” “Kalau kau tidak menurutinya, bagaimana jika dia serius dengan ancamannya?” “Entahlah," balas Andra, pasrah. “Kenapa kau tidak coba saja mengikuti rencananya. Kita lihat apa tujuannya," saran Adit. “Tapi, bagaimana kalau aku tidak sampai lima belas hari? Jangankan lima belas hari, untuk membayangkannya saja aku sudah muak dan malas. Aku harus naik kendaraan umum, dan makan di pinggir jalan, lalu bagaimana jika anak buah ibuku tahu?" “Apa anak buah ibumu masih sering mengikutimu?” “Sekarang tidak lagi.” “Lalu apa yang kau khawatirkan?” “Entahlah aku juga bingung.” Andra seperti tak ada jawaban lagi selain entahlah. “Sudah, saranku, ikuti saja dulu rencananya, jika kau merasa ada yang aneh, silahkan berhenti di tengah jalan. Tetapi jika kau merasa biasa saja, tidak ada salahnya, 'kan kencan dengan gadis muda," saran Adit lagi diakhiri dengan kekehan. “Ish ... kau ini!” balas Andra sambil melirik tajam ke arah Adit. Tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang sejak tadi mendengarkan obrolan mereka dibalik pintu. ***** Setelah jam makan siang, Aina kembali menjalankan tugasnya. Saat ini, ia dan Adi sedang membersihkan kaca di ruang rapat kantor, tapi sejak keluar dari ruangan Andra, ia jadi lebih pendiam atau lebih tepatnya galau memikirkan waktu kerja di cafe dan jam kencan dengan Andra. Tadi Aina mengatakan akan menunggu Andra setiap jam tujuh malam, sedangkan di jam itu ia masih bekerja di cafe. Ia bingung apakah harus mengundurkan diri dari cafe atau tidak. Jika mengundurkan diri, ia khawatir setelah kencan ini selesai, ia tidak ada pekerjaan tambahan lagi. Namun, jika tidak mengundurkan diri, tidak mungkin meminta cuti selama lima belas hari sedang ia masih terbilang baru bekerja di sana. Sedang asyiknya melamun sambil mengelap kaca, Aina dikagetkan dengan percikan air di wajahnya. “Kenapa lo bengong terus? Ada masalah?“ tanya Adi. “Duh! Dikira Gue kaca kali, pake disemprot segala,” ketus Aina sambil menggosok wajahnya “Enggak ada, Di, gue cuma lagi pengen bengong aja," balasnya. “Tumben. Kalo ada masalah cerita aja sama gue. Biasanya juga cerita tanpa harus gue suruh.” “Beneran, gue lagi enggak ada masalah, Di!” Aina terpaksa berbohong karena dia tidak ingin Adi tahu rencana kencannya. “Eh, Di, bukan lo lagi butuh kerjaan tambahan, ya?” tanya Aina, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Enggak jadi, Na, kemarin gue dapet tawaran jadi cleaning servis di hotel Malaya, jam kerja sama kaya di cafe tempat lo sama Siska kerja. “Oh ... syukur deh, kalo lo udah dapet kerja tambahan. Gue pikir lo masih cari-cari.” “Eh! ngomong-ngomong, lo tadi kenapa dipanggil Pak Andra langsung?” tanya Adi penasaran. “Oh, itu. Enggak kenapa-napa, cuma tadi dia sempet suruh gue lebih bersih lagi kalo bersihin ruangannya," jawab Aina, berbohong. “Masa sampe lama gitu cuma bilang lebih bersih doang?” selidik Adi karena tidak percaya dengan jawaban Aina. “Bener, tadi gue cuma disuruh bersih-bersih ulang.” “Oh,“ balas Adi mendengar penjelasan Aina dengan ekspresi wajah berusaha meyakinkan. setelah itu, keduanya terus bercerita dan membahas berbagai topik diselingi gurauan. ***** Waktu pulang sudah tiba, seperti biasa Aina, Adi, dan Tari keluar bersamaan dan akan berpisah di halte depan kantor. Namun, hingga detik ini hati Aina semakin bingung tentang keputusan apa yang akan diambilnya untuk pekerjaan sambilannya. Begitu tiba di cafe, Aina langsung menuju ke ruangan Dodi selaku pemilik cafe. Tadinya ia mau bernegosiasi mengenai jam kerjanya dengan meminta selama 15 hari bekerja lima jam saja, tapi Dodi tidak menyetujuinya dengan alasan cafe sedang ramai akhir-akhir ini. akhirnya dengan sangat terpaksa ia memilih mengundurkan diri, dan hari ini adalah hari terakhir bekerja di cafe. Ia juga menerima upahnya selama dua minggu bekerja di sana. “Huuh ... semoga ini pilihan yang tepat,“ ucap Aina saat bersiap-siap untuk pulang setelah menyelesaikan semua tugasnya di cafe. Karena hari ini hari terakhir Aina di cafe, sebelum pulang ia kembali ke ruangan Dodi untuk berpamitan. “Permisi, Pak” ucap Aina setelah mengetuk pintu ruangan Dodi. “ Ya, Aina. Ada apa?” tanya Dodi. “Saya hanya ingin berpamitan, Pak, dan berterima kasih karena Bapak sudah mengizinkan saya bekerja di cafe ini.” “Sayang sekali Aina, kamu harus mengundurkan diri, padahal saya suka dengan cara kerjamu.” “Iya, Pak. Saya juga suka bekerja di sini, dan berharap bisa kerja di sini lagi nanti.” “Ya sudah, nanti kalau urusanmu sudah selesai, jika masih ada tempat di cafe ini, tentu dengan senang hati saya akan menerimamu kembali.” “Terima kasih, Pak, tawarannya, dan semoga saja urusan saya bisa cepat selesai. Saya permisi dulu, Pak," pamit Aina. “Iya, Hati-hati, ya!” “Baik, Pak,” balas Aina lalu pergi meninggalkan ruangan Dodi untuk segera pulang. Begitu sampai di tempat kostnya Aina langsung membersihkan diri. Setelah itu ia mengatur uang yang akan dikirimkan pada ibunya di kampung dan untuk keperluan dirinya selama satu bulan. juga biaya kencan dengan Andra. Setelah dirasa cukup, Aina langsung merebahkan diri di kasur singgel tanpa ranjang di kamar kostnya sambil memutar-mutar video yang dia rekam kemarin. “Semoga cara ini berhasil menghiburmu, Pak," gumamnya. Ya! ide gila mengajak Andra berkencan muncul saat kemarin ia memutar video itu sebelum tidur. Ia melihat kekecewaan begitu mendalam yang dirasakan Andra. Dengan kencan ini, ia hanya berharap bisa sedikit menghibur Andra, karena ia tahu bagaimana rasanya memendam rasa pada orang yang tidak bisa dijauhi. Bedanya, Andra jelas tidak akan bisa mengapai cintanya lagi, sedangkan ia masih memiliki sedikit harapan untuk memiliki cintanya walaupun hanya 0,5%, karena ia tahu orang yang dicintai sedang mencintai gadis lain. Selain untuk menghibur, Aina juga ingin merasakan bagaimana kencan dengan orang yang ia kagumi sejak pertama ia bekerja di PG. Siapa juga yang tidak kagum dengan pria tampan dan mapan seperti Andra. Selain perasaan kagum, Aina tidak memilik perasaan apa pun terhadap Andra. Dia sadar diri tidak mungkin Andra akan mencintainya. Jangankan mencintai melirik pun tidak setiap ia memberi salam saat Andra baru tiba di kantor. “Apalah aku yang hanya remehan rengginang di pojok toples, TAK BER. AR. TI.” Begitu menurutnya. Setelah merasa mulai mengantuk Aina pun mencharge ponselnya dan beranjak untuk menuju ke alam mimpi. Di tempat lain .... Andra sedang mondar-mandir di kamar apartemennya memikirkan tawaran Aina. Ia benar-benar enggan sekali untuk berkencan dengan wanita yang tidak ia kenal. “jika aku bisa menghentikan waktu, akan kuhentikan saat ini juga!” gerutu Andra. "Kenapa aku bodoh sekali sampai mabuk segala dan bertemu dengan gadis m***m itu!” Dan malam itu Andra tidur dengan kegelisahan sepanjang malam karena sangat enggan menyambut hari esok. ***** Seperti hari-hari biasa, Andra dan Aina memulai dengan aktivitas mereka masing-masing. Andra dengan berbagai dokumen dan jadwal rapatnya. Sedangkan Aina tak jauh-jauh dari sapu, pel dan kaca. Jam makan siang pun mereka lewatkan dengan kegiatan masing-masing. tapi kali ini Aina tidak makan siang dengan Adi. Karena, Adi makan soto bersama Tari di kantin kantor ini. Saat Aina ingin keluar dari ruangan OB setelah beristirahat, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Adit tepat di depan pintu. “Siang, Pak," sapa Aina sambil membungkuk hormat. “Siang. Maaf, apa kamu kenal OG yang bernama Aina?” tanya Adit yang ingin tahu paras wanita yang cukup berani mengajak sahabatnya berkencan. karena namanya disebut Aina langsung menautkan kedua alisnya heran. “Saya Aina, Pak! Kalau boleh tahu ada perlu apa Bapak mencari saya? Apa ingin dibuatkan kopi atau teh?” tanyanya sopan. “Manis juga.” batin Adit sambil menatap Aina. “Ah, tidak aku hanya ingin tahu saja.” “Ingin tahu?!” gumam Aina pelan dengan keheranan. “Ya sudah, silahkan lanjutkan kembali pekerjaanmu, ” ucap Adit sambil menepuk bahu Aina lalu pergi meninggalkan Aina yang masih bingung dengan keperluannya “Bukannya dia itu manajer keuangan, ya? Lalu ada apa dia ingin tahu siapa aku? Apa dia ingin menaikkan gajiku? Tapi karena apa?” monolog Aina dengan segala pertanyaannya. ••••• Waktu pulang sudah tiba. Kini Aina, Adi, dan Tari bisa menaiki metromini bersamaan. Adi dan Tari sempat bertanya kenapa Aina tidak bekerja lagi di cafe? Dan Aina menjawab dengan kebohongan dan mengatakan bahwa ia ingin punya banyak waktu istirahat. Saat mereka turun dari mikrolet yang mereka naiki, Adi mengajak Tari dan Aina makan tapi Aina menolak dengan halus karena tidak ingin menjadi nyamuk nakal di antara Tari dan Adi, meskipun ia tahu Adi tidak mungkin mengabaikannya selama mereka pergi. Adi tidak bisa memaksa sahabatnya itu dan makan langsung pergi bersama Tari. Karena pukul tujuh masih beberapa jam lagi, Aina mencari kesibukan dengan merapikan kamar kostnya yang memang sudah rapi. Hingga waktu menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, ia langsung bergegas merapikan diri dengan mandi lalu berhias di depan cermin. Jeans dan kaos berwarna kuning menjadi outfit di hari pertama kencannya. Begitu dirasa sudah rapi, Aina langsung berjalan menuju gang tidak jauh dari kost-annya untuk menaiki mikrolet menuju halte bus yang sudah ia janjikan. Namun, setelah ia tiba di halte dan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit Andra belum juga datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD