"Celakanya...
Hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu
Hanya kaulah yang benar-benar memahamiku
Kau pergi dan hilang ke mana pun kau suka.."
Aku tak bisa memejamkan mata. Tak biasanya Nessa begini. Apa yang terjadi di sana? Mengapa Nessa tak kunjung membalas pesanku atau telpon balik? Apa karena ada Piere di sana? Jangan jangan mereka lagi senang senang saat ini dan aku hampir gila menunggu telpon dari Nessa . Atau jangan jangan Nessa sedang dalam bahaya saat ini..... Jangan jangan....
'Aaaaargghhhh!!!!!"
Dengan kesal Giov berteriak menggema di seluruh ruangan apartemennya.
"Nessaaaa..... Pleaseee, kabari aku. Kok perasaan ini ga enak banget. Aku merasa Nessa dalam kesulitan saat ini....." gumam Giiv kalut. Giov memejamkan mata sambil terus memegang ponsel, menanti kabar dari Nessa.
***
Nessa POV
Setelah mengunci diri di kamar Ziano, menunggu sampai Ziano terlelap, aku mengambil ponselku dan membaca pesan Giov yang beruntun tanpa sempat kubalas.
"Honey.... kabari kalo udah nyampe rumah
ya...."
"Hon....."
"Hallo....."
"P...."
Terakhir muncul icon angry bird merah. Aduh gimana cara menjelaskan ke Giov. Pasti di sana Giov lagi kalut. Pasti dia menunggu kabar dariku. Aku harus mengabari Giov.
Akhirnya ku tekan tombol calling........
"Hon...." terdengar suara serak Giov di seberang sana seperti baru bangun tidur. Hmmmmm, jadi kangen banget dengar suara seksinya...
"Sayang, maafin aku... kamu ketiduran ya. Ponsel aku tadi di silent, ga denger telpon kamu, yang..." kataku hati-hati.
"Hmmmm, alasannya kurang tepat. Masa iya harus nunggu sampai berjam-jam. Kamu sukses membuat aku menunggu dalam cemas. Jujur sama aku. What happened, honey?" Giov langsung memotong perkataanku, meminta penjelasan yang sejujur jujurnya dariku. Akupun menjelaskan dengan detail semua kejadian tadi.
"Astagaa, kok bisa sampai kena Ziano sih? Kamu kok biarin dia tidur di sana? Kamu serius mau pisah ga sih sama dia? Orang kaya itu jangan dikasih hati. Kali ini Ziano yang jadi korban. Entah kalau besok mabuk lagi..... akan seperti apa hidup kalian di sana.."
Giov marah besar mendengar ceritaku.
"Hon, coba diganti video call.... aku pengen liat keadaan Ziano.." perintah Giov. Aku langsung mengganti voice call menjadi video call lalu mengarahkan kamera ke Ziano yang sudah pulas. Bekas kena rokok tampak jelas di pipi mulus Ziano.
"Kurang ajar banget tuh orang... Bisa ya dia melukai anak kecil tanpa merasa bersalah.. Akan ku hajar dia!!!" dengan penuh emosi Giov marah-marah melihat keadaan anaknya.
"Honey, bawa aja Ziano datang ke Jakarta. Kalian tinggal di sini aja, with me. Aku gak bisa tenang di sini kalau kalian masih di sana. Sewaktu waktu kejadian kayak tadi bisa terulang lagi, bahkan mungkin lebih parah." Giov berusaha membujukku.
Kalau dipikir memang itu yang terbaik buat kita.
"Iya juga sih... Aku pasti akan ke sana. Tapi belum bisa untuk saat ini. Aku punya komitmen kerja bareng Debie di sini. Aku janji, setelah semua beres aku pasti bawa Ziano ke sana. Mana usaha kita belom lagi di mulai, masa aku harus lari dari semua ini. Pliss, kasih aku waktu yaa...." sahutku membujuk agar Giov memberi aku waktu.
"Ok. 3 bulan lebih dari cukup aku rasa. Selesaikan pekerjaanmu dengan baik. Jangan lupa cari orang yang bisa menggantikanmu nanti, supaya Debie ga kewalahan ditinggal. Satu lagi, libur weekend nanti aku ke sana. Akan kucarikan rumah yang bisa di kontrak selama 3 bulan di kota, yang dekat dengan toko Debie untuk kamu dan Ziano tinggal. Biar aku bisa kerja dengan tenang di sini. Kalau tinggal di kampung, aku kwatir Piere akan selalu mengganggu kalian. Kasihan papa kamu yang tak kuat jantungnya menerima tekanan berat. Deal yaa...." putus Giov. Aku tahu, kalau Giov sudah memutuskan, tak ada yang bisa membantah. "Ok, seperti itu aja. Sudah dulu ya sayang. Aku mau mandi dulu. Gerah nih..." aku berkata dengan menampilkan mimik gerah. Padahal aku takut kelamaan VC karena Piere tidur di kamar sebelah. Takut dia terbangun dan mendengar percakapanku dengan Giov.
"Hmmm, mandi aja. Jangan matiin VC nya plissss...." mata menggodanya nampak di layar.
"Issshhh sayang udah ahhh, weekend juga 3 hari lagi.... See you soon, my love.... muaaachh" jawabku sambil langsung menekan tombol end call. Masih sempat kulihat Giov tertawa lepas di seberang sana. Akupun senyum sendiri memikirkan permintaan konyol Giov tadi. Ada ada aja....
***
Pagi berikutnya Nessa bangun lebih awal dari orang rumah. Nessa menyempatkan masak sarapan kesukaan anaknya, dan membuat roti panggang untuk dirinya sendiri. Tak lupa Nessa menyeduh teh kesukaannya.
"Yess.... Perfect breakfast" gumam Nesaa sambil menyeruput teh panasnya dengan nikmat. Nessa ingin cepat cepat menyelesaikan sarapannya, mandi lalu pergi ke kote untuk mengurus toko bersama Debie yang menunggunya di kota. Nessa tahu, kalau semalam Piere mabuk, maka dia akan bangun kesiangan besoknya. Nessa ingin dia sudah pergi saat Piere bangun.
"Malas berurusan dengannya... lebih baik menghindar" pikir Nessa.
Selesai menikmati sarapannya, Nessa bergegas mandi. Kemudian merias wajah dengan make up tipis, menyiapkan baju ganti di tas tentengnya buat jaga-jaga kalau nanti malam pekerjaan belum selesai, dia memilih untuk nginap bersama Debie.
Setelah mencium Ziano yang masih tidur, Nessa bergegas keluar kamar, mencari ibunya yang belum sempat ditemuinya sejak pulang semalam karena sudah tidur duluan. Nessa menemukan ibunya di dapur.
"Ma...." sapa Nessa sambil memeluk pundak ibunya dari belakang.
"Saya titip Ziano lagi ya ma... Nessa mau pergi kerja." ujar Nessa lagi.
"Kamu mau ke kota kok ga bareng Piere?" kata ibu Nessa heran.
"Ga usah ma... Nessa jalan dulu. Nessa naik angkutan umum aja. Nessa pamit ya...." setelah berkata demikian Nessa buru buru keluar rumah dan berjalan ke arah jalan besar. Beruntung langsung ada mobil angkutan umum yang lewat, dan Nessa langsung naik. Setelah mobil mulai berjalan barulah Nessa bisa bernapas lega.
***
Piere terbangun sudah tidak pagi lagi. Kepalanya sangat sakit akibat sisa sisa mabuk semalam. Selalu begitu. Diliriknya tempat tidur di sebelahnya yang kosong. Hatinya juga mendadak kosong. Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Piere sangat mencintai Nessa. Dia begitu takut kehilangan Nessa. Tapi caranya mencintai itu selalu salah di mata Nessa. Karena merasa tak mampu membuat Nessa suka padanya, maka minuman keras menjadi pelariannya. Sayangnya, saat mabuk Piere tak pernah bisa mengontrol emosinya. Besok paginya barulah dia sadar sudah melakukan kekerasan dan menyakiti Nessa. Menyesal, iyaa. Tapi nyatanya kejadian yang sama terus berulang, karena dia sudah kecanduan alkohol. Tak pernah bisa menahan keinginan untuk tidak menyentuh alkohol. Sekitar 2 tahun lalu, karena merasa sudah tidak tahan dengan kebiasaan mabuk Piere, Nessa komplain dengan kebiasaan buruknya itu. Sampai memberikan pilihan, pilih Nessa atau alkohol. Jawab Piere...
"Maaf, sejak dulu sebelum menikah, aku sudah begini. Mengapa sekarang baru komplain? Dulu juga aku sering mabuk, mengapa mau aja nikah denganku? Jangan berusaha mengatur aku sekatang! " itu jawaban Piere. Piere juga masih ingat jawaban Nessa kala itu.
"Oke kalau itu pilihanmu. Mulai saat ini jangan minta apapun dariku Nikah aja dengan mirasmu itu!!!" tegas Nessa.
Sejak saat itu Nessa tidak pernah mengijinkan Piere menyentuhnya. Sebenarnya Piere tersiksa, tapi dirinya terlalu gengsi untuk nyerah. Sekarangpun Nessa sudah mengusirnya, tapi dia memutuskan untuk bertahan.
"Kalau ini caramu, kita lihat aja nanti... Kau buat aku tidak bahagia, jangan harap kamu bisa hidup bahagia dengan yang lain!" tandas Piere dalam hati.