"Apa-apan kalian?!" manic kelam itu melotot marah dengan wajah mengeras, "Kalian berani memperlakukan aku seperti ini, apa kalian tidak takut kalau aku melaporkan perbuatan kalian pada Papa?!" bentaknya keras penuh ancaman pada dua orang pria berbadan besar yang bisa ditebak bahwa mereka adalah bodyguard dari Dave, sang Papa.
"Maaf Nona, tapi saat ini kami sedang menjalankan perintah Tuan." sahut pria bernama Marvel itu dengan wajah datarnya.
"Mana mungkin Papa memerintahkan kalian untuk berbuat tidak sopan pada putrinya sendiri!"
"Tuan Askara dan babysitter itu masuk rumah sakit karena keracunan makanan dan orang yang diduga kuat menjadi tersangka kasus ini langsung menghilang begitu saja. Jadi kalau anda jadi Tuan Dave, apa yang akan anda lakukan, Nona Aira?"
'Keracunan? Atau jangan-jangan karena cookies semalam?' alis Aira mengerut, dia semalam langsung main Hp dan membiarkan cookies itu begitu saja diatas meja. Mungkin jika dia makan cookies itu juga, dia akan mengalami hal yang sama seperti sang adik dan babysitter-nya.
'Sialan, kenapa jadi rumit begini?!'
"Kenapa anda diam, Nona? Apakah otak anda sedang memutar sesuatu untuk dicerna?"
"Diam Kau Marvel!" gigi itu bergemeletuk keras, menatap pria yang lebih tua darinya itu dengan marah.
"Jika anda tidak tahu apapun, kenapa ekspresi anda seperti itu?"
'Jangan sok menuduh jika tidak tahu apa-apa, Marvel!"
"Saya tidak sok tahu tapi sikap anda sendiri yang menunjukkan bahwa memang anda melakukan sesuatu di belakang kami." sudut bibir Marvel berkedut, mengejek sang nona.
"Sialan, beraninya kamu!" teriak Aira kesal bertepatan dengan terbukanya pintu ruangan yang menampilkan wajah Jessica yang diseret secara paksa yang kemudian didudukkan disamping Aira.
"Kenapa kalian memperlakukanku seperti buronan, hah?!" sengit Jessica sembari mengamati secara detail tangannya yang merah, "Lihat ini sampai merah begini, Apa kalian mau tanggung jawab?!"
"Kami akan tanggung jawab jika itu memang merugikan anda, Nona. Tapi sebelum itu kami hanya ingin memastikan beberapa hal kepada anda." suara Marvel mengalun, tenang tapi syarat pemaksaan, "Apakah anda yang merekomendasikan wanita kurus itu pada Nona Aira?"
"Wanita kurus siapa?! Aku tidak mengerti apa-apa! Jangan asal menuduh, ya!" suara Jessica mengalun cepat dengan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya serta ludahnya yang kian serat.
"Anda tidak kenal? Benarkah?" Marvel lantas mengambil map coklat, mengeluarkan isinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di depan wajah Jessica.
"Coba anda lihat lagi."
"Aku tidak tahu dan aku tidak kenal!"
"Sayang Sekali!" bibir Marvel menipis, kecewa sebelum akhirnya bunyi nyaring keluar dari balik saku celananya.
"Tuan Dave calling."ucapnya pelan, sebelum mengangkat panggilan sang Tuan, "Kami sudah berada di kantor pribadi anda, Tuan. Baik." sambungan telepon terputus dan Marvel tersenyum tipis, "Sebentar lagi Tuan Dave datang dan kalian berdua tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya?"
"Baiklah, aku tahu wanita kurus itu!" ucap Jessica lantang, "Aira memintaku untuk mencari orang untuk mengerjai babu di rumahnya lalu wanita itu datang padaku dan menawarkan diri."Jessica mengaku dengan jujur tak peduli pada sosok Aira yang duduk disampingnya, menatapnya dengan geraman marah. Jessica mengaku karena dia takut pada ayah Aira, Ayah Aira jauh lebih mengerikan daripada bodyguard berbadan besar di depannya kini.
"Hanya itu?" alis Marvel naik sebelah, "Nama, alamat atau informasi yang lainnya?"
"Tidak ada!" geleng Jessica cepat dengan bibir tergigit, merasa sangat bodoh karena nama saja lupa dia tanyakan pada si wanita kurus itu, tapi itu tidak penting sekarang. Yang terpenting dia harus cepat keluar sebelum ayah Aira datang, "Aku sudah mengaku, apakah sekarang kalian akan melepaskan aku?"
"Kau mau selamat sendiri?! Sialan, harusnya aku tidak memberimu uang jika akhirnya seperti ini, Jessica!" sungut Aira.
"Dan memilih berbohong di depan Ayahmu nanti?! Maaf, aku tidak mau dicincang oleh beliau, Aira!"
"Jika itu maumu, sekarang kembalikan semua uang yang kuberikan padamu kemarin! Kembalikan sekarang!"
"Tidak bisa! Uangnya sudah habis! Lagipula apa kau lupa kalau uang yang kau berikan itu dibagi dengan si wanita kurus itu!"
"Aku tidak mau tahu, aku mau uangku kembali!"
"Apakah perdebatan kalian sudah usai?" suara tajam mengalun membuat dua remaja itu langsung terdiam seketika, keduanya mematung tak berani bergerak barang sedikitpun. Keduanya terlalu semangat saling mengalahkan hingga tidak sadar kapan Dave datang.
"Jadi siapa yang bisa mempertanggung jawabkan atas apa yang telah terjadi?"
"Aira, Uncle Dave!" dengan cepat Jessica menunjuk wajah putri pria itu, "Saya sudah memberikan kesaksian saya pada anak buah anda. Saya bersaksi dengan sejujur-jujurnya. Saya berani bersumpah!"
"Kau bisa keluar, Jessica." senyum Dave tipis membuat Jessica menganggukkan kepala dan langsung kabur dari ruangan itu.
"Jadi?" Dave mengambil duduk bekas Jessica tadi, menatap wajah putrinya yang kini menunduk dalam, "Bisakah kau cerita kepada Papa, kenapa kau sampai melakukan hal itu?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Aira.
"Bicaralah Aira!"
"Kalau aku cerita, Papa akan marah padaku, kan?!"
"Tergantung apa alasanmu melakukan itu semua."
"Aira menyewa wanita kurus itu untuk mengerjai Babysitter Askara."
"Tapi pada kenyataannya bukan hanya Babysitter itu yang kena, tapi adikmu juga, Aira. Lalu, apakah kau pikir Mamamu akan diam saja jika dia tahu Askara dirawat karena terdampak dari ulah sembronomu?"
"Maaf, Aira tidak tahu kalau akan jadi seperti ini." suara itu pelan dengan jemari saling memilin karena takut apa yang diucapkan sang Papa ada benarnya.
'Mama akan semakin menjauh dariku dan membenciku.'
"Apakah kamu pikir dengan meminta maaf semua akan selesai?"
"Lalu, apa yang harus Aira lakukan, Pa?" perlahan wajahnya terangkat, manic hitam kelamnya mengembun dengan sesak mulai menguasai hati.
"Mau ikut dengan Papa?" Dave meraih jemari Aira, menggenggamnya lembut dengan seulas senyum menenangkan.
"Iya." angguk polos gadis itu.
Dan disinilah akhirnya ayah serta anak itu berada, berkendara dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit dimana anggota keluarga termuda mereka dirawat.
"Masuklah terlebih dahulu, Papa mau bicara sebentar dengan dokter yang menangani Askara." Dave menepuk puncak kepala sang putri sebelum pergi, meninggalkan Aira yang mematung sendiri di depan pintu ruang rawat sang adik.
"Beneran Mama ada didalam?" kaki berbalut sepatu kets itu mendekat, mengintip kedalam melalui kaca disamping pintu.
Ya, disana ada sang Mama yang kini sedang bercanda gurau dengan tawa renyahnya bersama sang adik.
Perlahan senyum getir Aira keluar, rasa iri pada Askara kembali menyeruak.
"Kapan terakhir kali Mama seperti itu pada Aira?"Bibir cantik itu meringis, "Bukannya kapan tapi tidak pernah sama sekali. Ma, apa Mama lupa kalau anak Mama bukan hanya Askara saja?! Ma, Aira juga butuh Mama juga."
"Kenapa tidak masuk?" suara Dave mengalun saat melihat Aira tetap di tempat keduanya berpisah tadi.
"Kenapa tidak masuk, hm?" Dave menepuk puncak kepala sang putri saat putrinya itu menggeleng pelan.
"Aira takut kalau Mama tahu yang sebenarnya terjadi dan marah pada Aira, Pa."
"Jangan takut ada Papa disini. Papa akan menutupi semua dari Mamamu." Dave lantas membuka pintu ruang rawat dan langsung mendapatkan sapaan semangat dari Askara.
"Papa!"
"Jangan begitu Askara! Nanti infusnya lepas." Bella mengomel kesal dan putranya itu langsung duduk tenang kembali.
"Hai Askara." Aira yang berjalan dibelakang sang Ayah perlahan mengintip dari balik punggung pria itu, tersenyum dengan ekspresi sungkan.
"Kakak juga jenguk Askara." bocah itu berbinar , mengamati setiap gerak sang kakak yang berjalan ke arahnya.
"Askara sudah enakan?"
"Sudah kak."angguk bocah itu, " Semalam dokter langsung menolong Askara kemudian menancapkan infus disini." tunjuknya pada pergelangan tangannya sendiri.
"Syukurlah kalau begitu. Askara kan adiknya Kakak, pasti cepat sembuh dong." senyum Aira.
"Iya, Askara kan kuat seperti kakak!" senyum bocah itu lebar, "Oh iya Mama tadi membacakan buku dongeng untuk Askara, apakah kakak mau melanjutkan cerita yang tadi mama bacakan?"
"Tentu! Mana bukunya!"
"Itu diatas balas."
Aira meraih buku dongeng yang dimaksud Askara, membuka halaman yang dimaksud sang adik dengan manic berusaha mencuri lihat ekspresi sang ibu atas perbuatan baik yang dia lakukan pada sang adik namun ibu tampaknya sedang bicara serius dengan sang ayah.
"Jadi bagaimana dengan orang gila yang menyusup ke rumah kita itu, Dave? Apakah dia sudah berhasil ditangkap?"
"Marvel sedang mengurus masalah itu, jadi jangan khawatir Bella."
"Syukurlah. Semoga hal ini tidak terjadi lagi. Kita harus memperketat rumah kita, Dave."
"Hmm." senyum Dave sembari mengelus bahu lembut istrinya.
"Dan kamu Aira, apakah kamu baik-baik saja?"
"Ha?" Aira yang sibuk dengan buku dongengnya lantas mengangkat kepala, menatap dengan bingung pasalnya kedua manic sang ibu kini sedang menatapnya dengan khawatir.
"Apakah kamu baik-baik saja? Apakah wanita gila itu melakukan sesuatu padamu juga?"
"Tidak."geleng Aira cepat, "Aira baik-baik saja, Ma." ucapnya semangat dengan senyum mengembang.
'Benarkah semua membaik sekarang?'