6. Kasih Sayang yang Tak Sama

1628 Words
Aliana yang hanya memejamkan mata kurang dari 5 jam itu perlahan membuka manic kelamnya yang terasa perih akibat terus menangis sepanjang malam. Dengan menarik nafas amat panjang dan lelah, akhirnya gadis itu turun dari atas ranjang, berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam ruangan itu sembari membawa handuk serta baju ganti sekaligus karena seluruh sisi ruangan itu terpantau CCTV dan Aliana tidak mau orang-orang yang mengamatinya dari balik layar sana melihat setitikpun kulitnya yang tersembunyi. Hanya butuh waktu 15 menit bagi Aliana untuk mengguyur tubuhnya, setelah tubuh telanjangnya tertutup seragam, gadis itu keluar dari balik kamar mandi dan berdiri di depan cermin yang terpasang di tembok kamar itu hingga helaan nafas panjang tanpa sengaja keluar dari balik hidungnya tatkala manik kelamnya menatap bayang dirinya yang kini lusuh dan sedikit pucat. "Jangan terlalu berharap kalau Tuan mengerikan itu tiba-tiba berbaik hati dan memberikanmu bedak, lipstik atau apapun Aliana! Kau masih bernafas sampai detik ini saja harusnya kau sudah bersyukur." ucapnya sembari merapikan rambut dengan cara dikuncir kuda dan langsung keluar menuju kamar sang tuan muda karena sudah waktunya bagi bocah tampan itu untuk bersiap-siap untuk sekolah. Setelah sampai di lantai 2, jemari mungil itu mulai meraih handle pintu kemudian mulai mengintip ke dalam dan mendapati Askara yang sudah bangun tapi masih bergelung di balik selimutnya yang tebal. "Selamat pagi, Askara." Aliana menyapa dengan senyum cerahnya sembari mendekat ke arah ranjang, "Askara tidak bangun? Sudah waktunya untuk bersiap-siap ke sekolah." "Sebentar, Aunty. Askara masih dingin." dan tubuh itu semakin bersembunyi di selimutnya sedangkan Aliana mulai meraih remote AC dan mematikannya. "Nah sudah tidak dingin, kan? Sekarang ayo bangun." jemari gadis itu terulur dan mau tidak mau bocah tampan itu menyambutnya meskipun harus menampilkan wajah merenggut masam. Setelah sang bocah masuk ke kamar mandi, Aliana menyiapkan seragam serta mengecek kembali buku-buku yang semalam sudah Askara masukkan ke dalam tas dan hampir 30 menit kemudian Askara telah rapi dengan seragam dan tasnya. "Wajah Aunty kenapa semakin pucat?" suara itu keluar sesaat sebelum mereka keluar kamar. "Oh." secara refleks Aliana menyentuh wajahnya sendiri disertai senyum malunya. "Sebentar, Aunty." jemari yang tadinya mengandeng jemari Aliana langsung terlepas dan bocah itu berjalan menuju meja riasnya. "Aunty mau pakai bedak punya Askara?" bocah itu mengambil bedak yang tadi sempat Aliana bubuhkan di wajah tampannya, "Kata Mama wajah kita akan semakin segar setelah pakai bedak. Kalau Aunty tidak punya bedak, Aunty bisa pakai punya Askara dulu." bocah itu tersenyum lebar, menampilkan satu giginya yang ompong. "Aunty boleh pakai?" Aliana tidak bisa untuk tidak tersenyum karena bocah satu ini. "Tentu saja boleh" "Bagaimana kalau Askara bantu Aunty pakai bedaknya?" Aliana mendekat dan menyamakan tinggi tubuhnya dengan bocah itu. "Iya." Aliana langsung menutup kedua maniknya dengan sebuah senyum teramat lebar karena kebaikan bocah satu itu sedangkan Askara sendiri mulai membuka tutup bedak, dan langsung mengaplikasikan butiran halus itu di wajah sang babysitter. "Sudah. Sekarang Aunty sudah lumayan tidak pucat lagi." Askara menutup kotak bedaknya bersamaan dengan terbukanya manik Aliana. "Terima kasih, ya." senyum Aliana lembut tanpa peduli bagaimana hasil bedakan yang Askara lakukan padanya. "Ayo." Akhirnya keduanya keluar dari balik kamar itu, menuruni lantai satu dan menuju ruang makan. "Mama!" manik yang serupa dengan sang Ayah itu berbinar, tautan jemarinya bersama Aliana langsung terlepas bersamaan dengan langkah kaki yang bersemangat menuju objek yang kini duduk di meja makan bersama sang ayah. "Mama sudah pulang?" wajar Askara bertanya demikian karena sekalinya sang Mama pergi, wanita itu akan pulang tiga hari atau satu Minggu kemudian. "Pekerjaan Mama cepat selesai jadi Mama bisa pulang cepat juga." Bella tersenyum lembut sebelum akhirnya menarik kursi disebelahnya untuk Askara duduk. "Mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?" "Nasi goreng." "Hmmm. Kalau begitu sepiring sama Mama saja, Ok?" Bella lantas menyendok-kan nasi goreng yang ada di piringnya dan menyuapi Askara yang telah membuka mulut. "Askara sudah besar, Bella. Biarkan dia makan sendiri." Dave yang duduk di kursi kepala keluarga menatap sang istri memperingatkan. "Ayolah Dave. Wajar bukan seorang ibu menyuapi anaknya. Lagipula hanya hal inilah yang bisa kulakukan untuk Askara di waktu luangku." "Apa yang dikatakan oleh Papa itu benar, Ma." suara ketus mulai terdengar dari satu-satunya remaja di rumah itu, yang kini mengambil duduk disebelah kiri sang Ayah, mengambil selembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang. "Anak laki-laki itu harus bisa mandiri dan tidak perlu dimanja terlalu berlebih." maniknya menatap Askara penuh benci terlebih saat melihat sang Mama begitu telaten menyuapi adiknya yang mengunyah begitu lambat. "Askara masih kecil Aira! Mama harap kamu paham itu!" "CK!" Decakan sebal keluar dari bibir gadis itu, "Selalu dan selalu." bisiknya kecil dengan sudut wajah sedikit mengeras. Selalu Askara dan Askara yang Mamanya perhatikan. "Aira, bisakah kamu pakai seragam sekolah dengan rapi dan lebih pantas?" sang Papa menatap penampilan putrinya karena rok dan baju gadis itu terlalu mini dengan pandangan tak suka, "Ingat siapa kamu dan bagaimana kamu harus bernampilan. Jangan buat orang lain menganggap kami tidak pernah memberi tahumu." "Ya." baiklah Ayahnya tidak cukup buruk karena hal-hal kecil yang Aira lakukan masih dikomentari oleh pria itu, tidak cukup sia-sia mengingat dirinya harus bangun pagi padahal dia sedang di skors dan mengenai skors ini, Aira harus mengancam semua orang rumah untuk tutup mulut, "Aira akan ganti baju yang lebih layak menurut versi Papa." Ucap Aira dengan manic menatap sang Mama yang tidak pernah berkomentar apapun tentang dirinya. "Marvel bilang, pihak sekolah memanggil kami, Apakah kamu melakukan masalah?" Dave kembali bicara. "Tidak. Hanya masalah yang tidak penting saja. Papa jangan khawatir." "Bagus. Ingat kata Papa, jangan buat masalah sekecil apapun." "Ya." Dan Aira hampir saja membanting gelas s**u disampingnya saat sang Mama seolah tuli dengan apa yang baru sang Ayah katakan tentang dirinya. Demi Tuhan! Kenapa Mamanya seperti ini padanya?! Setidaknya berbasa-basi sedikit sudah cukup bagi Aira! "Semua ini pasti gara- gara Askara Sialan." suara itu berbisik lirih dengan jemari terkepal erat di bawah meja. Dan pagi itu, sarapan diakhiri oleh Dave yang mendapatkan telepon dari Sekretarisnya. Sebelum pergi, pria itu mengecup kening sang istri cukup lama dan menepuk lembut puncak kepala kedua anaknya. "Jangan lupa untuk ganti bajumu." peringat Dave terakhir kali pada Aira sebelum pria itu pergi. "Mama, kalau Mama tidak sibuk, apakah Mama mau antar Askara ke sekolah?" manik itu menatap sang Mama penuh harap. "Bagaimana ya?" kening cantik itu mengerut, seolah berpikir. "Kalau Mama tidak bisa tidak apa-apa." suara itu lirih, sedikit kecewa. "Tentu saja bisa, sayang." angguk Bella sembari merapikan rambut sang putra, "Mama ingin melihat seperti apa putra Mama di sekolah. Sekarang ayo, kita berangkat." jemarinya terjalin dengan Askara sebelum dan keduanya keluar dari balik rumah diikuti oleh Aliana yang membawakan tas bocah itu. "Selamat pagi, Nyonya." suara lain menghadang langkah merka, membungkukkan kepalanya santun pada sang Nyonya, "Nyonya, anda sudah harus berangkat sekarang. Tuan Adi dari Zee Magazine memajukan jadwal temu." wanita bersetelan teramat rapi dengan kaca mata minus itu bernama Krista Amesya. "Harus sekarang?" "Iya, nyonya." "Ma?" nada suara Askara sedikit kecewa saat sang Mama yang sepertinya akan urung mengantarnya sekolah. "Maaf Askara. Lain kali akan Mama usahakan mengantar Askara ke sekolah." "Janji?" "Iya. Mama janji." kelingking Bella terulur dan dengan ragu Askara menyambut dengan kelingkingnya sendiri. "Kalau begitu Mama pergi sekarang." satu kecupan hangat Bella bubuhkan di puncak kepala sang putra, "Dan kamu, jaga Askara dengan baik." ucap Bella tajam pada Aliana, "Jangan biarkan Askara lecet sedikitpun di sekolah." "Baik, Nyonya." angguk Aliana patuh. "Nyonya Bella, silahkan masuk." Kris membuka pintu mobil, mempersilahkannya masuk dan tak lama kemudian mobil sedan berwarna putih itu langsung keluar dari halaman rumah mewah itu, meninggalkan Aliana dan Askara yang kini melambaikan tangan pada kepergian sang ibu. "Coba lihat si Anak Mama batal diantar ke sekolah." Aira yang sedari tadi berdiri di samping pilar rumah mulai mendekat kearah sang adik, "Kecewa?" Aira tersenyum mengejek sebelum akhirnya merendahkan tubuhnya dan menatap manik sang adik, "Ingat Mama dan Papa itu orang yang sibuk, jadi jangan terlalu berharap kemauanmu yang receh itu akan dituruti!" Jemari Aira terulur dan mendorong Puncak kepala Askara berulang kali. "Apa anda pikir, apa yang anda lakukan pantas dilakukan oleh seorang kakak?" Aliana menampik tangan Aira keras dan membawa tubuh Askara ke belakang tubuhnya. "Babu jangan ikut campur!" "Ini masalah saya juga karena saya babysitter Askara!" Bentak Aliana, "Saya tahu kamu seperti ini karena Mamamu tidak perhatian padamu bukan? Tapi apakah kamu pikir apa yang kamu lakukan benar jika kamu melampiaskan kekesalanmu pada Askara?!" Ya tadi Aliana mendengar dan mengamati semua yang terjadi di meja makan dan langsung menarik kesimpulan dengan tepat tentang apa yang terjadi pada remaja di depannya itu. "Kamu tidak mengerti apapun yang terjadi. jangan ikut campur!" "Dan membiarkan Askara menangis hanya karena kakak jahat sepertimu?!" Manic Aliana menyorot tajam, "Ingat, saya bisa adukan hal ini pada Mamamu dan kamu tahu apa yang akan terjadi? Mamamu akan semakin membencimu atau mungkin melakukan hal yang lebih parah lagi padamu. Dengar dan Camkan itu!" Gigi Aliana bergemeletuk marah. "Kau tidak akan berani melakukan itu." "Siapa bilang?! Saya bisa melakukan apapun karena bukan bocah tak tahu diri sepertimu yang membayarku." "Awas kau Babu sialan! Aku akan membuatmu menderita di rumah ini." "Lakukan saja jika bisa."Sudut bibir Aliana menyeringai menyeramkan tanpa rasa takut membuat Aira berteriak kesal dan langsung pergi dengan umpatan kasarnya yang menggema. "Aunty." "Ya, Askara?" Aliana langsung membalikkan tubuhnya dan menatap manik polos Askara dengan lembut. "Terima kasih." "Ya, sama-sama. Itu sudah menjadi tugas Aunty untuk Askara." Senyum Aliana lembut, "Sekarang ayo kita pergi." Ucap Aliana bertepatan dengan berhentinya mobil yang dikemudikan Marvel di depan mereka berdua. Sedangkan di sudut mewah di kediaman itu, Aira masuk kedalam kamarnya dan membanting pintunya dengan keras. "Babu sialan, dia berani mengancam ku! Argh! Teriaknya keras sembari meraih apapun yang ada didepan matanya untuk dihancurkan, "Babu sialan itu harus diberi pelajaran supaya dia tidak bisa macam-macam padaku." Aira lantas mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang diujung sana. "Hallo Jessica, cari orang yang bisa membantuku. Aku mau secepatnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD