Aluna diam di pinggir kolam, tatapannya kosong, kembali tenggelam dalam ingatan yang samar yang terlintas saat kata 'apartemen' disebut.
Suara tawa seorang laki-laki terdengar, disertai suara tawa Aluna yang sangat bahagia. Kalau bukan Mas Baskara, siapa dia? gumam Aluna bingung. Ia terus berpikir, memaksa memori yang hilang, hingga kepalanya terasa sangat sakit.
"Ibu, kenapa?" tanya Santi khawatir, melihat Aluna memegangi kepalanya.
"Kepala aku sakit," ucap Aluna sambil menekan pelipisnya.
"Mau ke dokter?" tanya Santi.
"Nggak tahu... tanya Mas Baskara dulu," pinta Aluna.
"Saya telepon, ya," ucap Santi. Ia segera menghubungi Baskara.
"Halo? Ada apa? Saya lagi meeting!" jawab Baskara tegas dari seberang.
"Ibu sakit kepala, Tuan," lapor Santi.
Baskara langsung panik. Ia keluar dari ruang meeting tanpa izin. "Mana Aluna-nya?"
Santi memberikan ponsel itu pada Aluna.
"Halo, Mas," ucap Aluna menahan sakit.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Baskara lembut, nada tegasnya hilang seketika.
"Kepala aku sakit, Mas," rengek Aluna manja.
Kok dia jadi manja sih? pikir Baskara dalam hati, ada rasa aneh yang muncul.
"Minum obat dulu ya, terus istirahat. Aku lagi ada meeting, Sayang, terus nanti ketemu klien, jadi nggak bisa pulang cepat," jelas Baskara, berusaha tenang.
"Hmm, iya," ucap Aluna kecewa.
"Santi, kasih Ibu obat sakit kepalanya ya, dua biji, biar dia istirahat," perintah Baskara.
"Iya, Pak," jawab Santi, lalu memberikan obat pada Aluna. Ia pun mengantarkan Aluna ke kamar, dan Aluna tertidur pulas siang itu.
Baskara kembali mengikuti meeting, tetapi pikirannya entah ke mana. Ia tidak fokus.
Mikirin apa dia sampai sakit kepala? gumamnya dalam hati. Apa dia mikirin laki-laki itu? Ia merasa cemburu dan kesal.
"Akh, sial! Bagaimana kalau dia ingat semuanya?" batinnya, rasa takut yang besar menyelimutinya.
"Bagaimana, Pak?" tanya stafnya.
"Pak..." panggil semua orang di ruangan itu.
"Ekh, iya! Apa?" Baskara tersentak.
"Ini soal peluncuran kosmetik baru," ucap Sindi, staf Baskara.
Baskara menatap banner besar di layar. "Oke, setuju," ucapnya, lalu bergegas pergi, meninggalkan meeting yang belum selesai.
Ia bertemu klien siang itu, dan ia meminta Romi, asisten sekaligus sahabatnya, untuk menemani karena pikirannya sedang kacau.
"Nanti lo dengarkan apa yang dia bicarakan, ya. Gue nggak fokus," bisik Baskara di kafe.
"Lo kenapa?" tanya Romi.
"Aluna... dia sakit kepala. Kayaknya dia ingat sesuatu," ujar Baskara cemas.
"Gimana kabar Aluna?" tanya Romi.
"Dia baik, tapi dia aneh," jawab Baskara.
"Aneh kenapa?" tanya Romi.
"Dia jadi baik, perhatian, dan manja sama gue," Baskara mengakui, terdengar bingung.
"Loh, bagus dong buat perbaiki hubungan kalian," kata Romi santai.
"Iya sih," ucap Baskara. Tak lama kemudian, klien datang. Mereka mengobrol panjang lebar. Baskara tak tenang, ia terus melirik jam tangannya, ingin segera pulang.
Setelah satu jam berlalu, klien pamit pulang. Baskara pun langsung tancap gas menuju rumahnya.
"Mana Aluna?" tanyanya panik saat tiba di rumah.
"Di kamar, Pak. Masih tidur," jawab Santi.
Baskara langsung berjalan cepat ke kamar Aluna, membuka pintu perlahan, lalu menghampirinya. Ia menggenggam tangan Aluna yang mungil dan hangat.
Aluna menggeliat. Ia masih mengantuk, efek dari obat.
Baskara ingin memeluknya sambil tidur, tetapi ia ragu, takut Aluna akan marah atau terkejut. Ia merasa lega Aluna tak kenapa-kenapa. Ia pun pergi ke kamarnya, mandi, dan berganti pakaian.
Usai mandi, Baskara duduk di taman. Ia merokok, matanya menatap ikan-ikan yang berenang dengan warna-warni cerah di kolam.
Tiba-tiba, sebuah tangan halus memegang tengkuknya. Darahnya berdesir kencang, jantungnya berdegup tak karuan.
"Lagi apa, Mas?" ucap Aluna. Wajahnya mendekat, bersandar di bahu Baskara.
Baskara merasa sangat gugup, jantungnya hampir copot.
"Lagi kasih makan ikan, Sayang," jawab Baskara gugup. Ia meraih tangan Aluna dan menyuruhnya duduk di sampingnya.
"Udah nggak sakit lagi?" tanya Baskara.
"Nggak. Tadi aku tidur lama," jawab Aluna.
"Aku jadi nggak belanja baju, karna khawatir," sesal Baskara.
"Gak apa-apa," ucap Aluna.
"Di online saja ya, aku pesenin," tawar Baskara.
Aluna hanya mengangguk sambil tersenyum.
Aluna meraba-raba mencari tangan Baskara, lalu menggenggamnya erat. Kepalanya disandarkan lagi di bahu Baskara.
Baskara merasa heran dan canggung dengan sentuhan intim ini.
Aluna memiliki sejuta pertanyaan di benaknya yang ingin ia tanyakan pada Baskara, tetapi sepertinya percuma.
"Mas," panggil Aluna.
"Apa, Sayang?" Baskara memiringkan kepalanya, tangan kanannya mengusap lembut jemari Aluna.
"Kalau aku bisa lihat nanti, aku ingin yang pertama aku lihat itu suami aku," ucap Aluna sambil tersenyum manis.
Baskara terdiam, menatap Aluna penuh haru. Kata-kata itu begitu tulus.
"Aku ingin setiap pagi yang biasanya aku dengar suara Mas, tapi nanti yang aku lihat itu wajah Mas," lanjut Aluna, terkekeh geli.
Baskara melotot tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.
"Mas, kok diam sih?" rengek Aluna.
"Aku dengerin, kok," ucap Baskara, menahan gejolak di dadanya.
Aluna pun tersenyum malu-malu.
"Iya, nanti aku yang pertama ada di hadapanmu," janji Baskara, balas tersenyum.
"Janji ya?" ucap Aluna, senyumnya semakin manis.
"Janji," jawab Baskara mantap.
Mereka pun melanjutkan obrolan hingga menjelang malam. Mereka masuk, Aluna makan bersama Baskara, lalu duduk diam di sofa hanya sekadar mendengarkan suara TV.
Malam harinya, Baskara mengantarkan Aluna ke kamarnya.
Ia membaringkan Aluna lalu menyelimutinya, "tidur ya, aku ke ruang kerja dulu,"
Aluna hanya mengangguk lalu memiringkan tubuhnya dan mulai memejamkan matanya.
Baskara pergi ke ruang kerjanya setelah memastikan Aluna tertidur.