Chapter 4

1654 Words
Selesai makan siang, Sandra menghabiskan waktu dengan menonton di bioskop. Ya padahal semalam Doni mengajaknya menonton di bioskop tapi Sandra baru ingin menonton sekarang. Sandra menonton sendirian saja. Karena bosan harus berbuat apa jadi dia memilih untuk menonton dua film saja. Sekalian supaya pulang malam. Supaya kelihatan sibuk saja. Sehabis menonton dua film, Sandra kembali membeli makanan. Tadi dia sudah kirim pesan pada Mba Ita agar tidak perlu menyiapkan makan malam karena Sandra akan beli makan malam di luar. “Oh iya laporan dulu sama besti,” ucap Sandra. Ia harus kirim foto dan menceritakan apa saja yang ia lakukan seharian ini kepada Rico dan Doni. Supaya mereka tidak khawatir dan sepenuhnya sadar kalau Sandra sudah baik-baik saja sekarang. Makanan datang begitu Sandra selesai mengirim foto selfie. Sandra pun mulai menikmati makanannya. Saat itulah dia melihat dua orang yang paling ingin dia hindari. Ardi dan Tari. Sandra seketika mematung di tempatnya. Kenapa bisa-bisanya dua orang itu berada disini. Di restoran ini, di malam ini juga. Sandra percaya bahwa dunia ini sempit, hanya saja ia tidak menduga sesempit ini juga. Sandra kira ia akan tetap baik-baik saja. Nyatanya, ia tetap saja ingin menangis. Sandra berusaha pura-pura tidak melihat mereka. Mereka duduk di meja yang nan jauh disana. Entah kenapa Sandra bisa melihat mereka saat mereka baru tiba di restoran ini. Seketika makanan di hadapan Sandra jadi terasa tidak enak. Sandra juga tidak bernafsu untuk memakannya. Saat itu juga Sandra putuskan untuk melangkah pergi meninggalkan restoran meski baru memakan beberapa suap saja. *** Air mata Sandra terus menetes selama ia dalam perjalanan. Ia berusaha untuk baik-baik saja dengan mengusap air matanya namun tetap saja air mata itu terus dan terus menetes. Sandra tidak ingin menggalau. Rico sudah bilang padanya kalau Ardi terlalu b******n untuk ditangisi. Jadi Sandra tidak ingin menangis lagi untuk lelaki itu. Dia harus bahagia. Begitu tiba di depan rumahnya, Sandra sempatkan untuk melirik ke rumah depan. Mobil Dewa masih ada disana. Akan tetapi entah Dewi masih disana atau tidak. Padahal rumah itu kosong cukup lama tapi kelihatannya sudah siap huni. Mungkin sudah dibersihkan entah kapan saat Sandra tidak di rumah. Sandra bercermin untuk melihat penampilan wajahnya. Hanya untuk memastikan ia tidak kelihatan sehabis menangis. “Masih cantik, aman.” Sandra turun dari mobil, masuk ke rumah dan menyapa Mba Ita yang sedang duduk menonton TV. “Buat Mba Ita sekeluarga,” ucap Sandra seraya menyerahkan paper bag berisi pakaian. Semoga saja cukup. “Ya ampun, Mba Sandra jangan repot-repot. Terima kasih banyak ya, Mba.” Sandra mengangguk tersenyum. Ia pun melangkah menuju tangga. “Oh iya Mba. Wadah tempat makannya udah dibalikin sama Mas Dewa tadi.” Ucapan Ita itu berhasil membuat Sandra langsung membalikkan tubuhnya. “Dewa kesini tadi?” tanya Sandra. Mba Ita mengangguk. “Kesini buat balikin tempat makan yang tadi pagi dibawa kesana.” Sandra sedikit mengeluh dalam hatinya. Merasa sedikit menyesal karena ia tidak stand by di rumah. Lagian siapa yang menduga Dewa akan datang kemari. “Terus dia ngomong apa, Mba?” “Cuma ngomong satu kata, Mba Sandra. Makasih. Gitu doang.” Sandra memicingkan matanya. “Dia ngga ada nanyain aku, Mba?” Ita menggeleng. Sandra jadi kecewa. “Sombong banget ya. Beda ama Mba Dewi yang super duper ramah,” ucap Sandra. “Ya mungkin karena cowok kali ya. Jadi lebih cuek aja gitu,” timpal Ita. “Tadi dia kesininya jam berapa, Mba?” “Sore. Kayaknya sih dia mampir sekalian mau keluar olahraga. Bajunya kayak baju olahraga.” Sandra manggut-manggut. Tidak heran sih kalau Dewa suka olahraga. Badannya bagus begitu. Kokoh, gagah, dan berotot. Uh, tipe Sandra sekali. “Mba Sandra naksir Mas Dewa, ya?” Mata Sandra membulat. Ita bukan sedang menggodanya. Wanita itu kelihatan serius. “Kalo iya biar saya bantuin, Mba.” Tadinya Sandra gengsi mengaku. Dia bukan suka sama Dewa sih, baru sebatas tertarik saja. Ia hanya sebatas ingin menaklukan lelaki itu. Ditambah Dewa sombongnya bukan main, jadi bawaannya Sandra ingin buat lelaki itu mengejarnya. Sandra berani bertaruh nanti, kalau Dewa sudah mengejarnya pasti Sandra malah ilfeel. “Mas Dewa kan lajang dan mapan gitu. Ganteng tinggi lagi. Cocoklah untuk Mba Sandra,” ucap Ita sambil senyum-senyum. Sandra pun hanya bisa tersenyum saja. “Tapi Mba Ita jangan bilang siapa-siapa ya. Jangan bilang Rico Doni juga. Pokoknya ini rahasia kita berdua aja, oke?” pinta Sandra. Ya setidaknya Sandra harus ada teman berbagi soal si Dewa Dewa itu, kan? “Janji, Mba.” Sandra dan Ita menautkan jari kelingking mereka. *** “Strategi pertama gimana caranya kenalan dengan elegan ya? Nggak mungkin dong aku caper ke Mba Dewi terus.” “Mba Sandra kan bilang mau belajar masak tuh. Bisa coba bagi-bagiin hasil masakannya tapi ke beberapa orang termasuk Mba Dewi. Atau bisa sekalian tuh minta diajarin bikin kue ke Mba Dewi. Sambil ngobrol-ngobrol santai kan bisa cari tau soal Mas Dewa.” Sandra memegang dagunya. Ia masih berdiri berkacak pinggang dan menatap ke arah jendela. Tepat di depan jendelanya ini, beberapa jarak di depan pasti kamarnya Dewa. Ia jadi penasaran lelaki itu sekarang sedang apa ya. “Tapi keliatan banget sih kalo mau minta Mba Dewi ngajarin sekarang,” gumam Sandra. Sandra pun lantas mendekat ke jendelanya, membuka korden. Sandra menatap rumah di depannya. Dari semua rumah, bisa-bisanya rumah Dewa percis di depannya. “Lagu pacar lima langkah ternyata beneran ya,” gumam Sandra. Sandra lantas menoleh pada Ita. “Mba, kayaknya aku harus rajin olahraga deh mulai besok.” *** “Mba Sandra. Mba udah siang banget ini. Nggak jadi olahraga pagi? Ini saya udah bangunin yang ratusan kali, lho.” Sandra mengerjapkan matanya. Tangannya menyentuh nakas sebelah tempat tidur. Ia mengambil ponsel hanya untuk memeriksa jam berapa sekarang. Ternyata sudah jam sebelas siang. “Aduh mager banget lagi. Nanti sore aja deh, Mba.” Sandra kembali memejamkan matanya. *** Jam dua siang Sandra baru turun tangga menuju meja makan untuk sarapan. Sudah terlalu siang memang untuk sarapan, bahkan jam makan siang juga sudah lewat. Sandra dengan mata yang masih mengantuk, duduk di kursi dengan lemas. “Beneran olahraga tadi, Mba. Kayaknya jogging keliling kompleks,” ucap Ita. Sandra hanya menganggukkan kepalanya. Semalam selepas meeting dengan Ita perihal Dewa, yang Sandra lakukan adalah begadang untuk merancang barang jualannya. Sandra sibuk coret coret untuk mendesign. Dia baru tidur tadi jam empat pagi. Makanya Sandra bangun sangat siang tadi. Mungkin karena efek bertemu Ardi dan Tari juga kemarin malam jadi Sandra ingin menyibukkan diri. “Jus alpukat, Mba.” Sandra mengangguk dan mengucapkan terima kasih karena Ita dengan penuh inisiatif menyiapkan jus kesukaannya. “Menurut Mba Ita, Dewa orangnya kayak gimana?” “Jutek tapi kayaknya baik sih, Mba. Yang jelas ganteng banget begitu.” Sandra memeriksa ponselnya. Ia langsung membuka dating apps, hanya untuk memeriksa apakah Dewa membalas atau tidak. Ternyata tetap sama, tidak ada balasan apapun. Sandra menganggukkan kepalanya. Selain uang, Dewa akan menjadi target yang diburunya tahun ini. “Dewa lebih ganteng dari Ardi kan ya, Mba?” tanya Sandra. Ita kelihatan sedikit terkejut namun ia kemudian mengangguk penuh keyakinan. “Jelas jauh lebih ganteng Mas Dewa dong. Mas Ardi bentukannya begitu, Mba. Mba pasti dulu dipelet deh.” Sandra pun terkekeh. *** Sore ini Sandra akhirnya putuskan untuk jogging. Menghirup udara segar, tidak ada salahnya kan? Tidak ada salahnya juga ia melakukan itu untuk modus mendekati Dewa. Ketika Sandra keluar dari rumah, ia melihat mobil Dewa masih di garasi. Langsung saja Sandra jalan kaki. Tujuan utamanya adalah keliling kompleks saja, asal bukan melewati rumahnya Dewi. Meski besar kemungkinan Dewa bisa saja lewat sana kan. Mengingat kebiasaan joggingnya ini baru setelah berbulan-bulan ia tinggal disini, pasti semua orang akan langsung curiga sih. Ternyata angin sore segar juga ya. Sandra jarang keluar kalau sore-sore. Sandra tidak sadar ia jalan kaki hingga mencapai taman kompleks. Disana ada lapangan basket dan ada anak kecil yang sedang bermain bersama ayahnya. Tadinya Sandra ingin ikut main, tapi karena ada ayah si anak jadi urung. Nanti dia dikira mau godain bapaknya lagi. Jadi Sandra duduk saja di kursi taman. Sandra menatap sekeliling. Hanya ada sedikit orang yang datang ke taman. Biasanya taman ini ramai jika weekend. Sandra tahu karena sempat lewat naik mobil ketika weekend. Lebih ramai disini dibanding hari biasa. “Kak Sandraa” Suara panggilan itu membuat Sandra menoleh tersenyum. “Oh hai, Deani.” Anak kecil tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya saja. Sandra berusaha menahan antusiasmenya karena setelah Deani, ada Dewa yang mendekat. “Kak Sandra tumben keliatan sore sore gini,” ucap Deani. Baru saja Sandra mau bersyukur karena Deani kesini, Dewa jadi ikut kesini. Akan tetapi fakta yang diucapkan anak itu rasanya membuat Sandra malu. “Iya nih lagi pengen jalan-jalan sore aja. Kamu abis dari mana?” tanya Sandra basa basi. “Jalan-jalan juga. Bareng yuk,” ajak Deani. Sandra tersenyum senang. Ada untungnya juga dia mengakrabkan diri dengan anak-anak kecil kompleks. Niatnya dulu tulus karena memang senang saja bersama mereka. Sekarang ternyata bisa memuluskan jalan Sandra untuk modus ke Dewa. Ya, lumayanlah. Sandra tidak langsung menjawab melainkan menatap Dewa yang saat ini sedang minum. Lelaki itu duduk di sebelah Deani dan tidak menyapa Sandra sama sekali. Membuat Sandra jadi berdecak sebal. “Yuk,” sahut Sandra kemudian karena sepertinya Dewa sedikit pun tidak tertarik untuk meliriknya. “Kita mau jalan-jalan kemana?” ajak Sandra. “Pulang aja, Dek. Kita udah jalan dari tadi,” celetuk Dewa. Sandra mulai mengumpat karena lelaki itu sama sekali tidak melirik ke arahnya. Ia mengusap peluh di kening Deani dengan jemarinya. Sandra kan juga jadi pengen juga. “Uncle pulang aja. Aku mau lanjut jalan sama Kak Sandra. Yuk, Kak.” Deani pun berdiri dan langsung menggandeng tangan Sandra. Sandra tidak memiliki pilihan selain bangkit dari duduknya. Mengikuti kemana Deani mengajaknya. Baru saat Sandra berdirilah, Dewa menatapnya. “Duluan ya,” ucap Sandra berusaha ramah sambil memberikan senyuman. Berharap lelaki itu akan kepincut dengan senyumannya. ‘Ngga papa jalan sama keponakannya dulu, sama omnya kemudian.’ batin Sandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD