Mia POV
Aku tidak mendapatkan tidur yang cukup tadi malam. Tapi hebatnya aku masih bisa bangun di pagi hari. Aku menoleh ke samping ke arah dimana sinar matahari yang sudah masuk melalui celah-celah jendela. Kehangatan yang dibiaskan menguat mengenai tubuhku.
Aku menghirup udara pagi yang segar perlahan kemudian beranjak dan melangkah untuk menyingkap korden. Sinar matahari semakin terik ketika penutup jendela ini terbuka tapi aku malah menyukainya. Pandanganku menyapu ke luar ke arah taman yang ada di rumah ini. Aku tersenyum, apa memang taman di rumah Sabda sebagus ini? Di kehidupanku sebelumnya, aku memang sangat acuh dengan segala hal yang berkaitan dengan Sabda. Bodohnya aku.
Aku membersihkan diri dan langsung turun ke lantai satu. Aku smenemukan Sabda yang ternyata sudah bangun. Dia tengah meminum kopinya dan bersiap untuk sarapan. Salah satu kepala asisten rumah tangga yang melihat Sabda sudah bersiap langsung menyajikan makanannya. Itu semua menu favorit Sabda.
Aku melangkah mendekat dan mengambil tempat tepat di hadapannya dan langsung ikut menyantap sarapan kami. Bayu, kepala asisten di rumah tersenyum menatap ke arah kami. Hal ini merupakan momentum langka yang belum pernah terjadi.
Aku menyesap s**u hangat milikku dan bersuara sedikit ragu, "Apa hari ini kamu pakai sopir buat ke kantor? Hari ini aku ada audisi penting kata Dean."
Sabda menatapku lekat.
"Dean itu manajerku." Aku menambahkan dengan cepat.
"Aku tahu," katanya, "kamu bisa bilang ke Juan buat siapin sopir sendiri untuk kamu."
Aku sedikit memiringkan kepalaku ketika Sabda mengatakan jika dia tahu siapa manajerku. Aku kira dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya jadi tidak memperhatikan sekelilingnya, apalagi urusan sepele seperti dengan siapa saja aku bekerja. Tapi mengetahui jika dia tahu, sudut hatiku menghangat seketika. Aku tersenyum kecil sebagai bentuk kepuasan.
"Baiklah. Nanti kamu pulang jam berapa?" tanyaku lagi.
Sabda menatapku lagi. Dia tampak tengah mencari kepura-puraan dalam ekspresiku. Mungkin dia masih heran dengan perubahanku yang teramat tidak biasa ini.
"Kenapa? Apa ada lagi yang kamu butuhkan?" tanyanya.
"Nggak ada. Aku cuma pingin tahu kapan kamu pulang karena aku pingin makan malam bareng sama kamu." Aku dapat melihat ekspresi bingung di wajahnya, tapi aku mengabaikan hal itu. Aku hanya ingin mencoba menjadi istri yang baik untuknya dan juga, aku ingin lebih mengenalnya.
Sabda menyesap kembali kopinya sebelum menjawab, "Ada pesta koktail malam ini, jadi kamu nggak perlu tunggu aku."
Aku menatap punggungnya yang sudah berbalik dan mulai melangkah pergi.
"Oke," gumamku lemah. Apa memang sesulit itu untuk dia menerima ajakanku? Padahal aku pun tidak sering berada di rumah dan menghabiskan banyak waktu dengannya.
Aku selesai sarapan dan sudah bersiap untuk segera berangkat. Dean sudah mengirimkan lokasi yang harus aku datangi pagi ini, karena aku sudah memiliki sopir pribadi, jadi aku tidak perlu menunggunya lagi. Aku mendial nomor telepon Dean dan langsung mendapat semprotan begitu dia mengangkatnya.
"Mia! Kemana aja sih? Kenapa baru telpon sekarang? Lo tahu nggak gimana bingungnya gue waktu lo nggak bisa dihubungi. Beberapa kerjaan lo udah hampir habis masa kontraknya, tahu nggak?"
"Gue tahu lo nggak bakal peduli karena lo nggak kekurangan uang, tapi kalau emang lo mau sukses di industri ini, lo harus punya banyak karya yang diminati orang-orang. Lo lihat nggak lawan main lo di drama, dia kerja dua kali lebih keras karena pingin berhasil dan sekarang nama dia terkenal. Ingat, lo bisa masuk dunia ini karena pengaruh bokap lo, kalau emang lo masih mau pakai nama bokap lo buat tetap stay di sini, gue mundur. Gue nggak mau manajerin aktris yang nggak punya bakat," semburnya lagi. Aku tahu dia kecewa dan aku juga tahu kalau aku sudah sangat kelewatan karena tidak mengabarinya sama sekali. Tapi itu karena sebelumnya yang berada di sini aku yang dulu.
"Naskah yang gue terima hari ini cukup bagus. Gue mau lo ambil perannya dan kerja lebih keras. Buktiin glke gue sama orang-orang di luaran sana kalau lo nggak cuma modal backingan yang hebat."
Jika aku yang dulu, mungkin aku akan langsung mendamprat Dean yang sangat kurang ajar. Tapi kondisinya sudah berbeda.
"Iya. Lo kirim aja ke gue, nanti gue bakal baca-baca dulu."
***
Sabda mengusap pelan dahinya ketika dia berada di dalam mobil untuk perjalanan menuju kantornya. Pria itu masih tak habis pikir dan masih meragukan pengelihatannya soal Mia. Menurutnya hal itu amat sangat aneh. Dia bukan wanita yang akan melakukan hal menjijikan seperti itu secara suka rela. Menjijikan? Iya, menurut Mia bersandar dengan Sabda merupakan hal yang paling menjijikan dan wanita itu amat dengan sangat kasar menolak ide absurd itu.
Menurut Sabda kelakuan Mia yang seperti itu pasti ada penyebabnya dan yang ada di pikiran pria itu hanya, pihak keluarga Mia menginginkan sesuatu yang lebih besar dibandingkan bantuan yang sudah dia berikan. Sabda terkekeh malas, manusia memang tidak pernah merasa puas dan selalu menginginkan apa yang tidak seharusnya mereka miliki.
"Pesta nanti malam bukannya nggak terlalu penting Pak? Kenapa Bapak tolak ajakan Ibu buat makan malam bareng?" Juan bertanya. Pria itu merupakan anak dari salah satu pegawai kepercayaan Papa Sabda dan mereka pun sudah sangat akrab jadi tidak aneh jika Juan bertanya seperti itu. Pria berkacamata itu memandang Sabda dari spion tengah.
"Apa itu... ajakan buat makan malam bareng?"
Juan menatap bosnya itu dengan pandangan heran, "Iya Pak."
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa? Ibu cuma mau makan malam bareng sama Bapak."
Sabda mengernyit ketika mendengar penjelasan dari Juan. Dia tampak gelisah dan juga bingung.
"Apalagi yang dia mau sekarang!"
Juan menggelengkan kepalanya pelan. Bosnya itu benar-benar tidak tertolong, "Saya senang kalau Bapak bisa lebih akrab lagi sama Ibu. Jangan bilang Bapak juga nggak sadar kalau Ibu kandang Bapak dengan tatapan lembut?"
"Apa?"
Juan terkekeh sebelum berkata dengan kalimat menggoda, "Ibu tertarik sama Bapak."
Sabda mengalihkan pandangannya karena mendapat godaan dari asistennya itu. Dia tidak tahu jika apa yang Mia lakukan juga diperhatikan oleh Juan.