“Jangan teriak, kalau nggak mau kutebas.” Begal itu mengancam Yuki yang tengkurap di tepi jalan. Yuki sangat takut saat parang itu mengarah padanya. Wajahnya seketika memucat, ia bahkan sampai kesulitan untuk bernapas.
“Jangan sakiti dia, Bang! Ambil saja motorku,” ujar Stevan pada penjahat yang menodongkan parangnya pada Yuki. Stevan tak mau para penjahat itu melukai Yuki, lebih baik ia kehilangan motornya dari pada harus melihat Yuki celaka.
Kaki Stevan sudah pincang akibat terjatuh dari motor. Dengan keterbatasannya, ia tak dapat memberikan perlawanan. Sementara telapak tangan Yuki tergores akibat bergesekan dengan aspal. Lukanya cukup besar dan terasa sangat perih.
“Udah, biarkan saja mereka. Ambil saja motornya.” Salah satu dari begal itu memberikan perintah. Gerombolan begal itu bergegas pergi membawa motor milik Stevan.
Yuki beringsut duduk, lalu menghampiri Stevan.
"Kamu nggak apa-apa, Van?" tanya Yuki yang begitu cemas dengan keadaan Stevan.
"Kakiku sakit banget." Stevan menarik kakinya yang tak bisa bergerak.
“Aku mau pulang, Van. Aku takut mereka balik lagi.” pembegalan itu membuat Yuki shock sekaligus trauma.
”Iya, aku hubungi teman-temanku dulu,” ujar Stevan yang dijawab anggukan oleh Yuki.
Stevan mengeluarkan hp-dari saku celana yang ia kenakan, lalu menghubungi anggota komunitas motornya. Kebetulan markas mereka ada di dekat sini. Di dering kedua, panggilan teleponnya langsung diterima. “Bro, aku dibegal.”
“Apa?" pekik Daniel yang merupakan anggota geng motor Steven. "Kamu di mana sekarang?”
“Temui aku di mini market jalan Diponegoro.”
“Ok, ok, aku sama anak-anak langsung ke sana.”
Steven memutus sambungan teleponnya, kemudian menatap Yuki yang sudah berdiri di hadapannya. “Ki, tolong bantu aku berdiri! Kakiku sakit banget.”
Yuki berjongkok kemudian membantu Stevan berdiri dengan susah payah. “Kamu nggak apa-apa, kan, Ki?” tanya Stevan. Ia berusaha menahan rasa ngilu yang mendera kakinya.
“Nggak apa, cuma baret doang.” Yuki mengalungkan tangan Stevan ke leher dan bahunya, sedangkan tangan yang satunya merangkul pinggang Stevan.
“Kita kemana sekarang, aku nggak tahu jalan di sini?” tanya Yuki.
“Di tikungan depan ada mini market. Kita ke sana.” Stevan menunjuk ujung jalan.
Yuki memapah Stevan yang berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Ujung jalan itu tidak terlalu jauh, tapi terasa lamban karena kaki Stevan pincang.
“Maaf, ya, Ki! Harusnya aku nggak bawa kamu pergi jauh,” ujar Stevan. Ia meringis kesakitan berusaha menahan ngilu di kakinya.
“Nggak apa, tapi gimana sama motormu? Apa nggak sebaiknya langsung lapor polisi.” Yuki bukan hanya memikirkan keselamatannya, tapi ia juga memikirkan motor milik Stevan yang dirampas.
“Kuantar kamu pulang dulu, baru lapor polisi bareng temanku.” Stevan tak ingin Yuki berada dalam masalah lagi karena dirinya. Meski Stevan bingung harus berkata apa tentang motornya hilang karena dibegal.
***
Stevan mengobati luka di telapak tangan Yuki dengan obat tetes yang baru saja ia beli dari mini market. Stevan sangat menyesal sudah membawa Yuki dalam masalah, seandainya ia langsung mengantar Yuki pulang maka kejadian buruk ini tidak akan terjadi.
"Kamu nggak mau telpon keluargamu?" tanya Yuki. Harusnya Stevan menghubungi orang tuanya, tapi ia malah menghubungi teman-temannya.
"Papa sama Mama ada di luar kota, aku sendirian di rumah."
"Van, aku mau pulang. Aku telpon ojek online aja, ya!" Yuki ingin segera pulang, ia takut jika ibunya marah.
“Kamu jangan cemas, bentar lagi teman-temanku datang.” Ujar Stevan sembari meniup telapak tangan Yuki. Rasa bersalah dan tak tega menyeruak di dalam hati Stevan saat melihat telapak tangan Yuki yang terluka cukup parah, padahal niatnya berkeliling hanya untuk menghibur Yuki yang sedang galau tapi malah mendapat musibah di tengah jalan.
“Iya.” Jawab Yuki sembari menarik tangannya dari genggaman Stevan. Yuki akan selalu menjaga jarak dari Stevan karena tak ingin perhatian Stevan padanya akan membuat Sandra salah paham.
Gerombolan motor mulai memasuki latar mini market, para pemuda berjaket hitam turun dari masing-masing motornya kemudian menghampiri Stevan.
“Kamu dibegal di mana, Bro?” tanya Daniel begitu berhadapan dengan Stevan. Matanya melirik Yuki tampak tak nyaman dikerubungi banyak pria.
“Di ujung jalan sana.” Dengan dagunya, Stevan menunjuk tempat pembegalan tadi.
“Tapi kalian berdua nggak apa-apa ‘kan?” tanya anggota komunitas motor yang lain.
“Kakiku kayaknya keseleo, bisa tolong antar dia pulang dulu. Aku takut dia dicariin orang tuanya.”
“Ok, siap.”
Stevan dibonceng Yongki, sedangkan Yuki berboncengan dengan Daniel. Mereka semua berarak-arakan melintasi jalanan.
“Nggak baik keluar tengah malam, apalagi buat cewek cantik kayak kamu,” cetus Daniel sembari menyetir motornya. Dari kaca spion, Daniel sesekali memperhatikan Yuki yang tengah ia bonceng.
“Iya,” sahut Yuki singkat, kemudian membuang muka ke samping.
"Kamu pacarnya Stevan?"
"Bukan."
"Terus apa hubungan kamu sama Stevan."
"Cuma teman."
"Berarti ada lowongan, dong?"
"Lowongan apa?" tanya Yuki dengan kening berkerut.
"Nggak usah dibahas." Daniel tak menjelaskan maksudnya karena takut Stevan marah.
***
Setelah beberapa saat berkendara, Yuki dan gerombolan anggota komunitas motor akhirnya tiba di depan gapura gangnya Yuki.
Yuki turun dari motor, lalu berpamitan pulang pada semua teman Stevan. “Makasih semuanya.”
"Ok,"
"Yuki, hati-hati," ujar Stevan sebelum Yuki berbalik.
"Iya."
***
“Selamat pagi, Yuki.” sapa Sandra kemudian duduk di bangku tepat di sebelah Yuki. Sandra memasukkan tasnya ke dalam laci meja, kemudian mengibaskan rambut panjangnya yang terurai.
“Pagi juga.” Yuki mengeluarkan jaket milik Stevan dari dalam laci, lalu menyerahkannya pada Sandra. “Nih, tolong balikin jaketnya Stevan.”
“Loh, kok bisa ada sama kamu." Wajah cerita Sandra berubah suram. "Kalian nggak ada main di belakangku ‘kan? Semalam kalian abis ngapain?” tanya Sandra dengan penuh penekanan.
“Ya nggak ‘lah. Kemarin aku kedinginan, terus Stevan kasih pinjam jaketnya ke aku,” Yuki segera membantah tuduhan Sandra dengan ekspresi serius.
“Percaya, percaya, nggak usah tegang gitu,” Sandra tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi serius Yuki. Kalian berdua nggak mungkin mengkhianati aku 'kan.” Tanpa sengaja, Sandra melihat luka di telapak tangan Yuki. “Eh, itu tangan kamu kenapa?”
"Semalam aku sama Staven dibegal, motor Stevan dirampok."
"Astagfirullahal adzim, Stevan kok nggak cerita ke aku 'sih?"
"Mungkin dia nggak mau kamu cemas."
"Terus gimana keadaan dia sekarang?"
"Semalam 'sih kakinya pincang."
"Yuki." Erwin tiba-tiba muncul di kelas Yuki. Ia masih tak terima Yuki memutuskan dirinya begitu saja.
"Ngapain lagi 'sih kamu datang kemari?" protes Yuki dengan kesal. Ia belum memaafkan perbuatan Erwin semalam.
"Aku pengen ngobrol sama kamu."
"Nggak ada yang perlu dibahas lagi, hubungan kita udah end."