BAB 5

1350 Words
“Sesuai dugaanku, Putri akan menyadarinya.” “Mau bagaimana lagi? Kita tidak memiliki pilihan lain, anggaran istana sangat tipis gara-gara ulah Darcie. Kita harus segera melaporkannya ke Sir Aubert!” Sierra segera mengetuk meja menggunakan ujung pisau guna menginterupsi perdebatan Freda dan Leah. “Tenangkan diri kalian.” “Tapi, ini tidak bisa dibiarkan lagi, Sierra,” sahut Leah, mendekati Sierra yang sibuk membuat kukis cokelat favorit Aelin. “Kita telah menanggungnya selama delapan tahun, itu bukan waktu yang singkat, kita sudah terlalu lama membiarkan Darcie semena-mena di sini. Siapa tahu apa lagi yang akan wanita itu perbuat!” Sierra menggeleng pelan. “Kita belum memiliki bukti yang kuat, Sir Aubert tidak akan serta-merta langsung menerima laporan kita tanpa bukti. Jangan bertindak gegabah.” “Sir Aubert tidak akan seketat itu. Beliau pasti juga tahu bagaimana reputasi Darcie di kalangan pekerja. Sudah terlalu banyak tabiat buruknya yang ditutup-tutupi, Sir Aubert tidak mungkin membutakan diri dari fakta itu.” Freda menyusul Leah, menepuk pundaknya. “Tenang, Sierra juga benar. Meski Sir Aubert tahu, kita tetap harus mengikuti prosedur.” “Kita sudah terlalu sering melihatnya, bukan? Apa salahnya mencoba terlebih dahulu? Hampir seluruh pelayan di sini lebih memihak Darcie, mereka akan buta dan memilih membantu Darcie agar terciprat uang curian!” Sierra tahu itu, dia tahu segala tabiat Darcie selama delapan tahun bekerja di Istana Clementine. Darcie lebih tua darinya sehingga wanita itu tidak pernah mau mengikuti perintah Sierra meski Sierra berkedudukan lebih tinggi. Berbicara dengan Darcie sama seperti berbicara pada tembok, pikir Sierra. Meski begitu, dia tidak pernah kehabisan kesabaran untuk menghadapi Darcie sampai sekarang. Tetapi, bukan berarti dia tidak merasa iba kepada Freda dan Leah yang sudah lelah menghadapi Darcie. Sierra tidak bisa selamanya tinggal diam diinjak-injak oleh Darcie. Dia harus lebih tegas demi kesejahteraan Freda dan Leah, terutama Aelin. Anggaran istana hanya untuk kebutuhan Aelin, bukan para pekerja serakah yang tak segan kepada Aelin. Bagaimanapun caranya, Sierra harus menemukan cara untuk mendapatkan bukti atas kejahatan Darcie. “Hannah juga tidak dapat diandalkan, dia berpihak pada Darcie,” ujar Freda, sikapnya sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Tidak ada yang bisa diandalkan.” Leah menoleh, mengernyit. “Kau menyerah terlalu cepat. Meski banyak yang memihak Darcie, banyak juga yang tidak menyukainya, kau tahu itu.” “Benar, tapi rasa tidak suka mereka tidak cukup besar untuk sampai mendorong mereka berkeinginan menyingkirkan Darcie. Dapat bekerja di sini saja sudah lebih dari cukup, tak ada yang ingin terkena masalah, kau tahu?” “Tunggu, aku ingat pernah menguping pembicaraan Susan dan Margerie di sini. Mereka sempat menyebut Darcie, aku yakin kita masih memiliki harapan.” Sierra menghela napas, memasukkan adonan kukis yang siap dimasak ke dalam tungku pemanggang. “Mereka masih anak-anak baru, kita tidak boleh melibatkannya.” Leah menoleh pada Sierra. “Justru karena mereka anak baru, pemikiran mereka belum seapatis lainnya. Mereka tidak akan ragu-ragu untuk bersuara.” “Tidak, Leah. Kita tidak boleh melibatkan orang lain, cukup kita bertiga saja,” Sierra berbalik usai menutup pemanggang, menyunggingkan senyum. “Tuhan pasti akan memberikan jalan terbaik.” “Tapi, kapan?!” sembur Leah, kehabisan kesabaran. “Kita sudah melalui ini semua selama delapan tahun! Delapan tahun, tidak ada perubahan yang signifikan selain keburukannya tiada henti! Aku tahu bagaimana niatmu, tapi kita tidak bisa selamanya terus menunggu, Sierra!” “Tenang dulu, Leah,” tegur Freda. “Aku sudah cukup bersabar selama delapan tahun, lebih dari ini aku bisa gila!” Leah mendelik pada Sierra. “Tidakkah kau memikirkan perasaan Putri? Untuk sekarang dia tidak memahami apa-apa, tapi itu tidak akan bertahan lama lagi. Putri akan tumbuh dan mulai memahami kondisinya yang tidak adil. Pada saat itu terjadi, jika kita masih terus seperti ini, sudah terlalu terlambat untuk mengubah segalanya!” “Leah!” “Tidak apa-apa, aku paham,” ujar Sierra pada Freda, menerima keluhan Leah dengan tangan terbuka. Dia menunduk, memainkan jemarinya satu sama lain. “Aku paham maksudmu, Leah. Tentu saja, aku tahu ini tidak akan bertahan selamanya. Cepat atau lambat, Putri akan paham. Aku juga tidak tahan dalam delapan tahun ini melihat Darcie. Tapi, aku tidak boleh berhenti percaya begitu saja.” Freda dan Leah memandang bingung. “Percaya?” Sierra tersenyum kecil, ingatannya memutar kilas balik delapan tahun yang lalu. Pada hari pertumpahan darah yang tidak boleh dibicarakan. Tanggal yang sampai sekarang dianggap sebagai hari malapetaka hingga siapa pun tak ingin mengingatnya lagi, terkecuali Sierra. Sierra tidak akan melupakannya meski itu bukanlah memori yang bagus. Baginya, satu hal kecil yang terjadi pada hari itu adalah sebuah kenangan berharga yang menjadi pedomannya. “Menyedihkan. Seharusnya kau tidak lahir.” “Aku percaya Yang Mulia sesungguhnya menyayangi Putri,” ungkap Sierra, mengejutkan kedua rekannya. “Apa?” sahut Freda. “Apa yang kau bicarakan? Yang Mulia? Kaisar Ares?” berondong Leah. “Tidak mungkin, jangan bercanda. Kaisar yang membuang Putri ke Istana Clementine dan tidak pernah menjenguknya sampai detik ini, Sierra.” Sierra terkekeh pelan, mendongak. “Aku tahu bagaimana anggapan kalian. Tapi, aku tidak berpikir begitu. Yang Mulia memang meninggalkan Putri di sini, tapi itu juga didasarkan pada rasa sayangnya. Jika memang Yang Mulia tidak menyayangi Putri, Putri sudah mati pada hari itu.” Freda dan Leah tercengang mendengar Sierra mengungkit tragedi yang tak boleh dibicarakan lagi. Kepala mereka segera terisi oleh kenangan-kenangan buruk terkait peristiwa pada masa itu. Ketika segalanya diluluhlantakkan oleh sang Kaisar yang marah usai kelahiran putri pertamanya. Seluruh selir di Istana Clementine dibantai tanpa ampun, menyisakan sang putri yang masih menangis usai dilahirkan. Mereka sama-sama ingat bagaimana posisi Sierra saat bersujud memohon ampunan atas nyawa tak berdosa Aelin kepada Ares. Dan, ingat bagaimana ekspresi kaisar itu yang menatap putri pertamanya seperti sampah. Tidak mungkin pria keji tersebut menyayangi Aelin. “Sierra, aku cukup memahami perasaanmu, tapi bagaimana mungkin Kaisar menyayangi Putri? Aku bahkan berani bertaruh Kaisar telah lama melupakan Putri sejak tragedi itu. Sekarang, beliau memfokuskan perhatiannya hanya kepada Putri Arne,” tutur Leah angkat bicara, memecah keheningan. Itu juga fakta. Ares memperhatikan Arne selayaknya putri kesayangannya. Arne dibesarkan di Istana Hampstead dengan dayang dan pekerja terbaik. Kebutuhannya sangat dicukupi. Segalanya bagai mimpi di istana tersebut selayaknya putri dalam dongeng. Jenis makanan sehari-hari dan pakaian pun saling berbeda jauh. Sangat berketimpangan dengan Aelin yang hidup sekadarnya di Istana Clementine. Seolah-olah Ares tidak pernah tahu eksistensi Aelin. Bagaimanapun, firasat Sierra tidak pernah salah, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia yakin akan tiba waktunya Ares menunjukkan kepeduliannya pada Aelin. Seluruh penderitaan di Istana Clementine akan berakhir, dan hidup Aelin akan sama seperti Arne. Segalanya butuh waktu, bukan? “Mungkin terdengar cukup egois, tapi percayalah,” Sierra tersenyum lebar, “Putri Aelin akan mendapatkan haknya seperti Putri Arne.” *** Seolah belum cukup dengan masalah anggaran, tiba-tiba saja Aelin bersikap aneh pada malam ini. Perempuan cantik itu meminta dilayani oleh Darcie, beralasan agar dapat lebih dekat dengannya. Sierra tidak pernah menduga ujung dari pertanyaan Aelin tentang Darcie akan seperti ini. “Tunggu, apa maksud Anda, Putri?” tanya Sierra, memastikan sekali lagi untuk mengetahui telinganya tidak bermasalah pada beberapa sekon sebelumnya. “Aku ingin lebih dekat dengan Bibi Darcie,” jawab Aelin, membuat jantung Sierra merosot begitu saja, “jadi, aku ingin dilayani juga oleh Bibi Darcie agar bisa lebih dekat.” Sierra berusaha menyunggingkan senyum sempurnanya, tentunya itu gagal karena menghasilkan senyuman yang kaku. “Mengapa tiba-tiba? Apakah hari ini Putri bertemu lagi dengan Bibi Darcie?” Aelin menggeleng dalam pembaringannya di ranjang. “Tidak, aku hanya ingin saja. Apakah tidak boleh, Sierra? Aku ingin dekat dengan semua bibi pelayan di sini.” Oh, tidak, wajah memelas adalah kelemahan terbesar Sierra. Terutama wajah memelas sang Putri. Dia tidak akan bisa menolaknya. Dia sadar apa yang bisa saja terjadi jika memaksa Darcie memenuhi permintaan Aelin, tapi bagaimana mungkin Sierra menolaknya? Aelin tidak pernah meminta apa pun padanya selain kukis cokelat. Ia tidak pernah merengek dan manja secara berlebihan, lantas mana tega Sierra menolak permintaannya? “Baiklah…, saya akan memberitahu Bibi Darcie.” Aelin bersorak. “Terima kasih, Sierra! Kau yang terbaik! Ah, sampaikan salamku padanya!” Tuhan, tolong lindungi Putri dari marabahaya, batin Sierra penuh kesungguhan selagi mengusap kepala Aelin.     TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD