BAB 61

1161 Words
Tiga hari semenjak Aelin tersadar dari pingsannya, tiga hari pula telah berlalu dalam persinggahannya di Hutan Leigami. Tidak seperti Hutan Leadale, Leigami lebih ramah dan nyaman karena tidak menaungi satwa liar berbahaya. Kata Saga, Leigami hanya menaungi hewan-hewan biasa yang tidak terlampau berbahaya dan beberapa monster kecil rendahan seperti Orc. Selama ada Kuro di samping Aelin, Saga bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan jika berpapasan dengan Orc. Sebab, Orc dikenal sangat takut kepada Nekomata. Jika boleh jujur, Aelin tidak merasa khawatir singgah di Leigami. Selama hutan itu tidak menaungi satwa-satwa liar seperti Leadale, dia tidak akan merasa ketakutan sepanjang hari hanya karena berasumsi aneh-aneh hingga membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. Dan meski belum pernah bertemu dengan Orc, Aelin merasa dirinya akan mampu menghadapinya karena Orc termasuk monster kelas paling rendah. Jika bisa, dia mungkin akan mendapatkan kesempatan untuk merapalkan Flareos sebesar tempo lalu lagi. Aelin jadi teringat dengan peristiwa yang terjadi di dalam alam bawah sadarnya selama dia jatuh pingsan. Sebuah kekuatan sihir kuno yang diwariskan di dalam garis keturunan Sinclair, Aelin yakin itu adalah kekuatan yang sangat besar. Sebab, benang merahnya telah terlihat dengan jelas. Penyebab dia menyelewengkan hukum Flareos dan memasang mantra pelindung, Imperfactum, cukup kuat untuk menghalau ratusan reruntuhan gua. Imperfactum termasuk ke dalam mantra pelindung paling dasar yang tidak begitu kuat untuk menghalau ribuan serangan sekaligus. Artinya, Aelin telah menyelewengkan dua mantra dan itu disebabkan oleh sihir kuno yang diwariskan padanya. Aelin belum membicarakannya dengan Saga. Meski dia tahu lelaki itu cukup berhak untuk tahu. Tidak ada rahasia di antara rekan pengembara, bukan? Tetapi, Aelin merasa belum siap untuk membicarakannya walau rasa penasarannya akan reaksi Saga cukup besar. Mungkin juga Saga mengetahui sesuatu terkait sihir kuno Sinclair tersebut. Ayolah, Saga selalu berkata bahwa dirinya jenius, jadi ia pasti setidaknya mengetahui beberapa hal, bukan? “Apa yang kau lamunkan?” Aelin bergidik kaget, buru-buru menoleh ke kiri, menemukan Saga telah kembali dari berburu. “Tidak ada. Kau sudah kembali, huh. Apa yang kau tangkap?” Saga duduk di batang kayu, lalu meletakkan hasil tangkapannya di sebelah tumpukan kayu bakar. “Kelinci dan rusa. Ada juga ikan.” “Banyak seperti biasa,” kekeh Aelin sebelum kemudian menoleh ke kayu bakar. Dia mengajungkan telunjuk kanannya ke arah kayu tersebut. “Flareos.” Api segera berkobar memakan kayu bakar. Tidak seperti sebelumnya, kini Aelin telah cukup mahir merapalkan Flareos sesuai kapasitas yang diinginkan berkat berlatih sedikit keras kemarin. Tak disangka saja dia hanya butuh waktu singkat untuk menguasainya. Hanya perlu mempraktikan sesuai teori dan fokus yang memadai, segalanya pun dipermudah. Flareos yang hanya bisa menciptakan api kecil pun dapat berubah di tangan Aelin. “Kau sudah cukup mahir, huh,” celetuk Saga di sela menusukan potongan daging rusa ke ranting kayu. “Jika penyihir lain melihat Flareos raksasamu, mereka pasti akan terkena serangan jantung.” Cengiran tersungging di wajah Aelin. “Aku akan menggunakannya dengan hati-hati. Tidak perlu khawatir.” “Kau harus serius. Jangan sampai kekuatan anehmu itu diketahui oleh orang lain, aku tidak ingin repot-repot terjerat orang-orang merepotkan.” “Memangnya apa pengaruh bagi mereka jika berhasil menangkap atau menjebakku?” Saga melirik Aelin sekilas. “Banyak organisasi penyihir gelap yang mengincar penyihir-penyihir muda dan naif untuk dijerat. Terlebih lagi, penyihir-penyihir potensial yang memiliki kekuatan besar maupun unik.” Aelin mengerjap kecil, tertegun. “Kau pernah berurusan dengan mereka, Saga?” “Dahulu, sering,” mata emas Saga menerawang sekilas dan jemarinya berhenti menusukan daging rusa selama beberapa sekon. Lalu, seolah disadarkan oleh jentikan jari, dia kembali fokus juga bergerak. “Bukan sesuatu yang menyenangkan. Kau juga pasti tak ingin mengalaminya tanpa perlu tahu apa yang bisa terjadi jika kau tertangkap, bukan?” Mata perak Aelin beralih ke api unggun, menatap kosong. “Hmm, begitulah. Aku… hanya ingin hidup dengan tenang di luar kekaisaran.” Ungkapan itu cukup menarik perhatian Saga hingga dia melirik Aelin. Sebab, itu adalah pertama kalinya Aelin menyuarakan tujuannya dalam hidup di luar kekaisaran semenjak angkat kaki dari istana. Saga tidak pernah memancing gadis itu untuk segera membicarakan segala detail karena memahami rentetan tragedi yang terjadi memberikan dampak yang cukup besar. Saga hanya bersabar dan menunggu sampai Aelin mau mengutarakannya. Dan, meski Saga berkata dia akan mengikuti segala keputusan gadis itu, sesungguhnya dia juga memiliki beberapa pilihan yang dia harap akan dipilih pula oleh Aelin. Aelin berhak hidup bahagia setelah segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Ia telah hidup tersingkir di Istana Kekaisaran, ia menanggung segala rundungan serta penilaian buruk, ia tidak sempat mendapatkan kasih sayang Ares, dan beragam takdir buruk lainnya yang tak ingin Saga ingat lagi. Enam tahun di sisi Aelin menyaksikan betapa buruknya perlakuan yang gadis itu terima membuat Saga juga mengharapkan hal yang sama seperti Ares; kebahagiaan Aelin di luar kekaisaran. Walau Saga masih tidak menyukai Ares karena sikap apatisnya terhadap Aelin, setidaknya dia menyetujui pria itu untuk satu hal yang sama. Lalu, berpikir mungkin ada alasan di balik sikap apatis Ares. Sebab, setelah segala hal yang terjadi, akhirnya Ares menunjukkan bahwa dirinya sungguh mempedulikan Aelin hingga menyelamatkan gadis itu dari jebakan kotor Arne di detik-detik puncak pesakitannya. Setidaknya, Saga akan menghormati amanat terakhir Ares. “Kekaisaran pasti akan menghubungi perwakilan zona wilayah untuk meminta kerja sama dan perizinan guna mengejar jejak kita,” ujar Saga seraya mulai membakar sate rusa, “manusia biasa tidak bisa memasuki tiga zona lainnya, termasuk penyihir sekalipun. Jadi, mereka akan mengumumkan perburuan kita agar mendapatkan akses masuk.” Aelin mengangguk kecil. “Aku berpikir andai saja ada sihir yang mampu membuat kubah pelindung yang dapat benar-benar menyembunyikan isinya. Di luar kubah, pandangan siapa pun akan tembus pandang sehingga seolah-olah tidak ada apa pun di hadapannya.” “Ada.” Aelin terlonjak, menoleh cepat. “Sungguh?!” “Illumiiatis Arachnotia Fier Repa Lagulus. Sihir tingkat tinggi yang termasuk sihir kuno. Tidak banyak penyihir yang dapat menggunakannya karena tingkat kesulitan dan mana yang dibutuhkan terlalu besar. Ingat aturannya? Semakin panjang sebuah mantra semakin tinggi kesulitannya.” Aelin tetap berbinar meski jawabannya tidak semudah itu. “Setidaknya, ada cara untuk ide itu! Jika aku berlatih dengan keras, aku pasti bisa melakukannya.” Saga menyeringai seraya melirik Aelin. “Kau benar-benar suka berpikir positif, huh? Tidakkah kau berpikir bahwa mungkin saja aku dapat melakukannya?” Aelin mengerjap polos. “Begitukah? Kau bisa?” “Kau pikir aku siapa,” tukas Saga diiringi dengusan angkuh dan kembali menatap sate rusa di kobaran api unggun. “Jika itulah keinginanmu, maka sudah menjadi tugasku untuk mengabulkannya, bukan?” “Whoa, hebat sekali, Saga! Aku benar-benar bersyukur kaulah yang menjadi teman dan penjagaku!” Dan kau tidak tahu seberapa besar rasa bersyukurku karena melihatmu berhasil selamat dari reruntuhan gua, batin Saga, sebuah kalimat kesekian yang tidak akan pernah diutarakan. Betapa lucunya sebuah takdir, pikir Saga. Dia telah merasakannya selama bertahun-tahun. Salah satu dari segelintir manusia yang memahami dengan jelas betapa dinamisnya perputaran takdir. Dan dari sekian takdir yang telah menjerat hidup Saga, pertemuannya dengan Aelin adalah satu-satunya hal yang membuatnya cukup senang. Benar-benar lucu.                 TO BE CONTINUED     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD