BAB 62

1047 Words
Karl telah mendengar kabar terbaru mengenai Aelin. Jika boleh jujur, dia terkejut karena mengetahui dia sempat berjarak sangat dekat dengan Aelin. Gadis itu ditemukan di Hutan Leadale, berjarak belasan kilometer dari Istana Kerajaan Deltora. Hanya butuh berkuda beberapa jam dan Karl dapat bertemu dengan gadis berambut merah tersebut. Apakah dia akan bergegas menemui Aelin jika mendengar kabar di hari itu juga? Entahlah. Rasa marah terbalut bingung masih memenuhi d**a Karl, entah mengapa. Dia masih belum bisa menerima kabar pengkhianatan Aelin, dia tidak ingin mempercayainya. Seharusnya, dia tidak boleh merasa demikian. Pun repot-repot memikirkan Aelin. Jika saja, dia bertemu dengan Aelin pada hari itu di Hutan Leadale, Karl tidak tahu apa yang akan dia lakukan selain mempertanyakan kepastian dari mulut gadis itu sendiri. Entah mengapa, tanpa alasan, tanpa tujuan. Mungkin, Karl akan membalas budi kepada Aelin dengan cara membantunya kabur dari Kesatria Kerajaan. Sama seperti yang gadis itu lakukan padanya di Istana Clementine. Jika memang Aelin sungguh berkhianat, Karl tetap akan membantunya tanpa berpikir dua kali. Sebuah angan yang bodoh. Itu semua didasarkan oleh satu alasan, Karl yakin Aelin tidak akan melakukan apa pun meski telah diperlakukan begitu buruk oleh kekaisaran. Dan, alasan lain yang berusaha Karl pendam dalam-dalam. “Syukurlah, kau baik-baik saja, Arne,” ujar Karl saat Arne akhirnya tiba menemuinya usai berganti pakaian setelah menghabiskan waktu sejenak bersama Sighard sebelumnya. “Karl,” gumam Arne pelan bernada sendu, meski begitu wajahnya menunjukkan kebahagiaan kala matanya bertemu tatap dengan iris milik Karl. Ketika Arne berhenti di hadapan Karl, Karl mengulurkan lengan kanannya untuk diraih oleh gadis itu. Usai diterima oleh Arne, mereka melangkah beriringan menyusuri koridor Istana Kaisar, entah menuju ke mana. Karl akan selalu mengikuti Arne, toh begitulah yang selalu terjadi dari awal. Jadi, dia tidak bertanya sama sekali. Sementara itu, seperti biasa, Arne tampil secantik bidadari mana pun yang dapat dibayangkan oleh manusia. Tidak peduli semurung apa pun dirinya, dia tidak akan membiarkan penampilannya selusuh ekspresi wajahnya. Martabat seorang Putri, tentu saja. “Maaf karena aku baru bisa mengunjungimu hari ini. Ada banyak urusan sejak Yang Mulia Kaisar jatuh sakit,” ujar Karl membuka pembicaraan. Arne mengangguk kecil. “Tidak apa-apa, Karl. Aku mengerti. Suasana juga baru sedikit reda beberapa hari terakhir. Seluruh kerajaan pasti juga sibuk karena pergantian pemimpin kekaisaran.” “Kau dan Duke Morrison telah bekerja keras. Neuchwachstein tidak akan segera kembali stabil tanpa usaha kalian.” Arne tersenyum. “Terima kasih. Kau terlalu memuji. Aku masih memiliki banyak kekurangan, jadi hampir segalanya diurus oleh Kakek. Aku tidak melakukan apa pun.” Karl tersenyum tipis seraya melirik Arne. “Tidak, kau juga telah berusaha keras. Duke Morrison hanya sekedar membantumu karena memang itulah kewajiban beliau. Jangan terlalu merendah, Arne, kau adalah calon Kaisar.” Genggaman Arne pada siku Karl mengerat seolah-olah itu adalah kalimat yang selama ini ia tunggu-tunggu. Karl mengenal gadis itu cukup baik sebagai gadis lemah lembut yang suka diapresiasi. Akan tetapi, sisi buruknya adalah ia mudah pesimis. Karl tidak akan heran. Walaupun Arne mendapat perhatian Ares untuk ditunjuk sebagai Putri Mahkota, sesungguhnya ia tidak jauh berbeda dari Aelin; kekurangan kasih sayang Ares. Setiap kali Karl berkunjung, Arne selalu menceritakan apa pun tentang pencapaiannya diiringi pertanyaan, “Kira-kira, apakah Ayah akan senang bila mendengarnya?” hingga Karl hapal di luar kepala. Aelin dan Arne bak dua sisi koin, mereka berkebalikan namun berada di takdir yang sama. Itu juga menjadi salah satu alasan dari mengapa Karl tidak pernah ingin mempercayai Aelin melakukan pengkhianatan. Tidak ada gunanya ia berkhianat jika tujuannya merebut posisi Arne. “Kau tahu, Karl?” Karl menoleh. “Ada apa, Arne?” Tatapan Arne kosong ke depan, menerawang jauh. “Ayah tidak akan bangun dalam waktu lama.” Karl mengerjap, tersentak. “Mengapa?” “Kerusakan aliran mana di tubuh Ayah sangat parah hingga sulit disembuhkan oleh Penyihir Kekaisaran. Aku berniat mengajukan untuk memanggil seluruh penyihir di penjuru dunia untuk Ayah kepada Kakek, tapi aku belum memberitahunya. Kita tidak bisa terus-menerus berharap hanya kepada Penyihir Kekaisaran.” “Kupikir itu juga ide yang bagus. Semakin lama aliran mana itu tidak diperbaiki, semakin besar risiko yang dapat Kaisar tanggung.” Arne mengangguk kecil. Raut wajahnya semakin murung. “Aku tidak percaya hal semacam ini akan terjadi pada Ayah. Ayah adalah Kaisar terkuat di sepanjang sejarah Neuchwachstein, Ayah tidak terkalahkan. Bagaimana bisa tiba-tiba saja aliran mana-nya rusak…?” Karl menghentikan langkah mereka, membuat Arne berhenti melamun. Lelaki itu berpindah ke hadapan Arne kemudian mengusap butiran air mata yang telah bergumul di ekor matanya. Sekali lagi, hati Arne jatuh begitu keras di tangan Karl. Binar di mata peraknya sama seperti binar yang terpasang di hari pertunangan mereka. Mencintai segala hal tentang Karl tanpa ragu sama sekali. Dan Karl tahu itu, tetapi masih belum bisa membalas perasaannya sampai detik ini. Justru, skenario terburuknya adalah hati Karl jatuh ke tangan Aelin begitu saja tanpa bisa dicegah maupun diterka. Pertemuan singkat yang terjadi di bawah langit biru dan hembusan angin beriring dengan ribuan kelopak mawar merah. Begitu senada dengan warna rambut panjang Aelin, rona di pipinya, dan bibir ranumnya. Betapa lucunya takdir menjerat mereka. “Jangan khawatir. Yang Mulia Kaisar pasti akan sembuh. Kita akan memastikan itu terjadi,” ujar Karl menenangkan, membuat Arne kian jatuh dalam pesona dan kehangatannya. Tidak tahu-menahu bahwa hati lelaki itu telah dirampas oleh Aelin. Arne menunduk, mengangguk. “Ya, kau benar. Aku tidak boleh pesimis. Ayah pasti akan sembuh. Aku harus segera memberi tahu Kakek agar segera menemukan penyihir yang mumpuni. Terima kasih, Karl.” Karl menarik tangannya, tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku tidak melakukan apa pun untukmu, Arne. Kuharap Kaisar segera sembuh.” Arne mendongak, melemparkan senyuman termanisnya yang khas. Spontan, menimbulkan lubang di satu titik d**a Karl. Tertohok melihat betapa gadis itu mencintainya sepenuh hati tanpa pernah berusaha mempertanyakan bagaimana perasaan Karl padanya. Ia hanya mencintai dengan tenang, tidak meminta lelaki itu untuk membalasnya sama sekali. Ia bahkan tidak pernah membicarakannya, entah karena ia telah tahu bahwa Karl peka atau memang memilih diam. Apa pun itu, Karl merasa sesak. Hampir tidak percaya bahwa hal semacam ini akan terjadi di antara mereka. Dahulu, dia berpikir bertunangan dengan Arne akan membuat perasaannya tumbuh untuk gadis itu. Memang tidak instan, namun setidaknya ada cinta di antara mereka. Kendati demikian, apa yang terjadi justru sebaliknya. Karl justru jatuh cinta kepada Aelin, menelantarkan cinta Arne.         TO BE CONTINUED                                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD