“Aelin? Kau ingin pergi ke mana?” tanya Kuro kala mendengar suara gemerisik dari pergerakan tubuh Aelin yang bangkit berdiri.
Aelin menepuk gaun belakangnya guna menyingkirkan butiran tanah seraya menjawab tanpa menoleh kepada Kuro. “Berjalan-jalan sejenak sambil menunggu Saga kembali.”
Kuro manggut-manggut dengan raut garangnya. “Kau yakin? Meski hutan ini tidak seberbahaya Leadale, namun tetap saja terdapat banyak monster-monster di segala sisi. Kekuatanku belum sepenuhnya pulih untuk menjagamu jika saja skenario terburuk terjadi, asal kau tahu saja.”
Aelin menoleh usai merasa bagian belakang gaunnya bersih dari tanah. Dia mengangguk diiringi senyuman manis. “Yakin, tidak perlu khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak akan berjalan terlalu jauh dari sini.”
Mata emas Kuro mengamati Aelin dari atas sampai bawah setajam tatapan nenek penyihir yang biasa muncul di dongeng anak-anak seolah sedang memindai kekuatannya. Kucing itu memang telah mendengar bahwa nyawanya terselamatkan berkat Aelin berhasil merapalkan mantra pelindung, tetapi tampaknya itu tidak cukup memuaskan baginya untuk sampai membiarkan Aelin pergi sendirian sesuka hati.
“Jika bertemu dengan monster selain Orc, kau harus segera melarikan diri, mengerti?” ujar Kuro kemudian, bertemu tatap dengan mata perak Aelin. “Kita tidak bisa terlalu mempercayai kekuatan sihirmu yang belum aktif secara konsisten.”
Aelin mengangguk. “Siap, Kapten! Aku akan melarikan diri jika bertemu dengan monster selain Orc!”
“Bagus, silakan pergi.”
Dengan tangan dan langkah terayun-ayun, Aelin melangkah ke arah Barat. Arah yang belum pernah dilalui oleh Saga berdasarkan apa yang gadis itu ketahui sejauh ini. Saga selalu pergi ke arah Timur dan Selatan dalam berburu bahan makanan. Aelin tidak memikirkan apa pun karena selama singgah di tepi sungai tidak ada hal aneh yang terjadi. Jadi, dia yakin pergi ke arah Barat tidak akan menimbulkan masalah.
Ditambah lagi, selama ini Saga tidak menceritakan apa-apa terkait wilayah sekitar selain Hutan Leigami ditinggali oleh beragam jenis monster golongan kecil. Tidak ada cerita maupun masalah selama ia pergi berburu. Maka, hal yang sama pasti terjadi pada Aelin juga, bukan?
“Wah, di sini benar-benar indah dan sejuk.” gumam Aelin di sepanjang langkahnya menyusuri pepohonan, menjauh dari area sungai. Kepalanya menoleh kanan-kiri merekam seluruh pemandangan yang tertera. “Seharusnya aku jalan-jalan lebih awal.”
Dahulu, saat masih tinggal di Bumi sebagai Claire Ohara, dia menggemari nuansa alam. Alih-alih Inggris, dia berharap dapat tinggal di Swiss yang terkenal akan keindahan wilayah pegunungannya yang bak negeri dongeng. Usai terdampar di dimensi ini, Aelin mengenal bahwa dunia ini memang seindah negeri dongeng namun sayangnya terbalut dalam takdir yang mengerikan hingga dia tidak bisa menikmati suasana. Kini, terlepas dari kekaisaran, akhirnya Aelin dapat merasa lebih santai dan terhanyut dalam hingar-bingar keindahannya.
Dalam sekejap, Aelin melupakan kenangan terakhirnya di kekaisaran yang sangat buruk. Rupa wajah Ares, senyuman tulus Ares, dan raut Arne ketika ia kembali bersama para kesatria namun justru menjebak Aelin begitu saja. Seluruh reka adegan pahit itu memburam berkat pemandangan pepohonan, langit biru, dan semak-semak Hutan Leigami. Ditambah kesunyian suasana kian memicu atmosfer yang teduh.
Kendati demikian, Aelin tidak boleh lengah. Ini tetaplah area hutan yang menaungi beragam monster secara bebas. Monster-monster yang tidak pernah ditemui di zona The Liberty Region sehingga apa pun yang muncul nantinya akan berada di luar nalar Aelin. Dia hanya berharap semoga tidak berpapasan dengan mereka. Sebab, seperti kata Kuro, dia belum bisa sepenuhnya bergantung pada kekuatan sihirnya yang belum konsisten. Walau Aelin telah bersapa dengan kekuatan sihir kuno warisan itu, dia belum tahu apakah sihir itu dapat terpanggil kembali atau tidak.
Terlebih, “ia” telah menegaskan bahwa dirinya belum sepenuhnya bangkit.
“Haruskah kuberi nama?” gumam Aelin menyeletuk, mengingat-ingat bahwa sihir kuno itu dapat berbicara selayaknya manusia meski tanpa ekspresi. “Mungkin itu ide bagus. Lebih mudah menyebutnya saat kubicarakan dengan Saga suatu hari nanti—”
AUUW!!
Jantung Aelin nyaris terlonjak keluar akibat mendengar suara lolongan dari kejauhan. Bahkan mungkin jaraknya tidak begitu jauh dari Aelin karena begitu keras dan tidak terlalu menggema. Keringat dingin segera mengucur kening Aelin, tahu dengan pasti bahwa itu adalah lolongan serigala. Dia belum pernah bertemu dengan serigala di sepanjang hidupnya tetapi dia tahu bahwa lebih baik tidak berurusan dengan mereka. Terlebih, belum tentu itu adalah serigala biasa karena seingat otaknya terdapat satu ras monster serigala.
“Apa itu?”
Tatapan Aelin mengarah lurus, merasa dari sanalah asal lolongan bergulir. Ras monster serigala, Werewolf, dideskripsikan sama seperti versi fiksinya di Bumi. Makhluk setengah manusia dan serigala yang dapat berubah-ubah wujud dengan kekuatan besarnya. Di dimensi ini, Werewolf termasuk ke dalam golongan monster kelas rendah, dua tingkat di atas Orc. Kuro telah berpesan untuk menjauhi seluruh monster selain Orc dan Aelin mengiyakan. Akan tetapi, mengapa terasa sesuatu yang mengganjal dalam diri Aelin? Dia takut namun kakinya seolah tidak ingin segera berlari ke belakang.
“Tidak, tidak boleh. Aku harus berpikir dengan benar, aku sudah berjanji kepada Kuro untuk kembali,” gumam Aelin mulai mengomel, dirundung dilema. Dia berbalik ke belakang, diam sejenak, kemudian kepalanya menoleh ke belakang pada arah lolongan serigala. Spontan menggigit bibir, frustasi. “Apa yang kau lakukan, Aelin Bodoh? Jangan ke sana, jangan cari mati, ayo kembali!”
Mengkhianati otaknya, kaki Aelin berlari kecil mendekati arah lolongan serigala. Gadis itu merutuk serta memanjatkan permohonan maaf kepada Kuro hingga berjanji akan merawat dirinya sendiri andaikata dia berakhir terluka. Entahlah, Aelin pun sadar bahwa keputusan gegabahnya itu salah besar, tetapi dia tidak bisa mengelak sama sekali. Dia penasaran, sangat penasaran. Jika seekor serigala mengaum di siang hari, pasti sedang terjadi sesuatu, bukan?
“Demi mulut pedas Kuro, maafkan kebodohanku untuk sekali ini saja. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi, aku berjanji!” dumal Aelin dalam pelariannya seiring ujung jalan mulai terlihat.
Ketika Aelin sampai di ujung jalan, dia bersembunyi di balik semak-semak rimbun untuk mengamati apa yang terjadi beberapa meter di hadapannya. Sesuai suara, terdapat kawanan serigala sedang mengepung sebuah pemukiman kecil. Ukuran para serigala terlampau lebih besar dari serigala biasa. Terdapat satu serigala terbesar di antara mereka yang kemudian Aelin asumsikan sebagai pemimpin kawanan. Dari ukuran tubuh dan aura mereka, tidak salah lagi mereka adalah Werewolf.
Mereka menyerang pemukiman penduduk? Tidak, itu terlalu kecil untuk disebut pemukiman, batin Aelin kala mata peraknya beralih ke tempat yang diserbu oleh kawanan Werewolf. Iris Aelin menyipit kala beberapa figur keluar dari gubuk-gubuk pemukiman, lantas mengerjap kaget karena figur tersebut adalah Orc kecil nan ringkih. Apa yang terjadi? Mereka berselisih?
TO BE CONTINUED