“Huh? Apa kau bilang?”
Sierra mengangguk kaku akibat rasa canggung sekaligus bingung. Ini masih pagi, cukup pagi untuk membuat perasaan seseorang terguncang oleh emosi. Tetapi, dia tidak memiliki pilihan lain selain menjalankan perintah meski dia tahu itu akan merusak suasana pagi Aelin.
“Ayah ingin bertemu denganku?” sosor Aelin mengulang apa yang sebelumnya Sierra katakan. “Kenapa? Bukankah Ayah sakit?”
Sierra mengangguk lagi, kini menyunggingkan senyum. Dan lagi-lagi itu sama canggungnya. “Ya, Yang Mulia masih sakit. Tetapi, hari ini beliau berkata ingin bertemu dengan Anda untuk sarapan bersama.”
“Huh? Apa-apaan…, aku tidak mau,” Aelin mendelik kesal, “aku sudah memiliki janji dengan Saga untuk sarapan bersama dan pergi ke perpustakaan.”
“Bersama Tuan Saga?”
“Ya!”
Itu bohong. Aelin tidak pernah membuat perjanjian semacam itu dengan Saga. Hal terakhir yang mereka lakukan adalah bertengkar di balkon kamar Aelin. Saga pun pergi begitu saja tanpa sepatah kata seperti biasa bak kucing liar. Ditambah lagi, Aelin tidak begitu gemar untuk sering bertemu dengan Saga. Terutama saat lelaki itu sedang angkuh-angkuhnya dan Aelin tidak dalam kondisi mampu menahan amarahnya.
Kendati demikian, Aelin akan memanfaatkan Saga sebaik mungkin demi menghindari Ares. Dia telah melalui enam tahun tanpa pertemuan dengannya. Dia tidak akan menyia-nyiakan usaha panjangnya hanya karena Ares meminta secara langsung dalam bentuk titah Kaisar.
“Tapi, Putri, Yang Mulia meminta secara langsung dengan mengutus Sir Ollivander. Anda tidak diperkenankan menolak,” tutur Sierra, ekspresinya tidak selaras dengan nasihatnya, tersirat pasrah.
Aelin menggeleng tegas. “Aku tidak mau. Lebih baik Ayah sarapan bersama Arnemesia. Toh, selama ini berjalan baik-baik saja tanpa aku perlu bertemu dengannya.”
Sierra menggeleng. “Tidak bisa, Putri. Sayang sekali, Anda harus mematuhi keinginan Yang Mulia.”
“Aku tidak mau!”
Sierra menghela napas kecil, cukup kelelahan menghadapi sikap keras kepala Aelin. Ia telah tumbuh menjadi gadis remaja, alhasil sikap kekanakannya berganti menjadi keras kepala. Keinginannya tidak lagi seputar kukis dan bermain di taman sepuasnya, melainkan perasaan kuat untuk bertindak sesuai haknya karena berpikir dirinya telah mengetahui segalanya hingga tak perlu diatur oleh orang lain lagi. Sebuah perubahan yang sangat wajar tetapi Sierra tidak dapat memungkiri betapa lelah menghadapinya.
“Jangan seperti ini, Putri. Putri sudah tidak bertemu Yang Mulia selama enam tahun, jadi satu kali pertemuan tidak akan seburuk itu, bukan?” tutur Sierra membujuk.
“Tidak, aku tidak mau. Aku ingin bersama Saga—”
“Aku merasa tersanjung atas keinginanmu, tapi tidak. Aku sibuk, Putri Aelin.”
Aelin terlonjak di kursi meja rias. Manik peraknya segera menatap bayangan Saga di cermin, lalu mendelik tajam. “Gunakan pintu!” protesnya.
Saga yang berdiri tidak jauh di belakang Sierra pun mendengus malas. Manik emasnya membalas delikan Aelin. “Maafkan aku, tapi Sir Ollivander terus-menerus mengusikku untuk membujukmu agar kau mau bertemu—”
“Sudah kubilang, aku tidak mau!” geram Aelin menyela. “Lagi pula, kenapa kau mau-mau saja mengikuti permintaan Dion? Kau lupa kita memiliki janji untuk sarapan bersama dan pergi ke perpustakaan?”
Alis Saga spontan naik sebelah, terheran. “Huh? Apa yang—”
Tanpa aba-aba, Aelin berdiri dari kursi, membuat Sierra berhenti menyisir rambutnya. Gadis itu menatap Saga dengan delikan yang semakin tajam. Dari sorot tersebut, Saga seolah menangkap apa yang mata perak Aelin katakan padanya.
“Lebih baik kau setujui ucapanku sebelum aku membunuhmu!”
Saga menghela napas panjang. Dia bersedekap. “Ya, kita memiliki janji semacam itu.”
Aelin segera menoleh pada Sierra. “Kubilang apa—”
“Tapi, kita tidak bisa membangkang pada keinginan Kaisar. Jadi, turuti apa kata beliau, Putri,” sela Saga begitu saja, menghancurkan wajah optimis Aelin.
Aelin beralih ke Saga. Kaki jenjangnya melangkah cepat menghampiri lelaki itu dengan hentakan yang tidak dipungkiri lagi menunjukkan kekesalannya. Saga menatap gadis itu mendekat cepat kepadanya. Ia sedikit mendelik melihat gadis itu tidak kunjung berhenti meski telah berjarak lima meter darinya. Ia jadi sedikit mundur karena terkejut dan sebelum menyuarakan tegurannya agar Aelin berhenti, gadis itu berhenti tepat di hadapannya nyaris tak berjarak.
Saga tidak pernah mempedulikan bagaimana dinamika interaksinya dengan Aelin. Kedekatan mereka hampir seperti sepasang nadi. Sentuhan fisik telah menjadi hal yang biasa. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Saga tahu ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar antara dirinya dan Aelin.
“Kau terlalu dekat, Bodoh,” bisik Saga, mendelik pada Aelin.
Tidak mempedulikan hujatan Saga, kedua tangan Aelin meraih pundak Saga lalu mengguncangnya. “Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengannya. Sekali ini saja bantu aku, Saga!” pintanya dalam bisikan penuh penekanan.
“Dia tidak akan membunuhmu, berhentilah berpikiran jelek tentangnya.”
Aelin menggeleng, dia menunduk. “Selain karena ketakutan atas hal itu, aku juga merasa tidak pernah nyaman berada di dekatnya. Kau tahu, seperti ada sesuatu yang akan mencekik leherku secara tidak kasat mata. Aku takut!”
Saga mengerjap kaget, alisnya bertaut tajam. “Apa katamu? Kenapa kau tidak pernah bilang?”
Jemari Aelin mencengkeram pundak Saga. “Aku… takut.”
Apakah itu memiliki keterkaitan dengan sihir hitam yang Erasmus katakan semalam? Saga selalu mencurigai terdapat orang dalam yang mengkhianati Ares dengan cara memanfaatkan Arne untuk membunuh dua orang dalam sekali lemparan. Namun, bila dipikir-pikir asumsinya tidak cukup kuat. Apabila Arne turut tewas bersama Ares, maka orang itu seolah sedang membukakan jalan bagi Aelin untuk naik takhta. Tentu, itu adalah hal paling mustahil, maka logikanya Aelin pasti turut disingkirkan. Namun, selama enam tahun, Saga tidak menemukan tanda-tanda pengancaman diarahkan pada Aelin.
Satu-satunya momen yang mengancam Aelin adalah gejolak aliran mana enam tahun silam. Setelah itu, tidak ada lagi yang bermasalah. Jika seperti ini, semakin sulit bagi Saga untuk mencari benang merahnya.
“Tidak apa-apa,” ujar Saga seraya menyentuh pundak kiri Aelin, “aku akan menjagamu.”
Perlahan, Aelin mendongak. Iris peraknya sedikit sembab, bertemu tatap dengan iris emas Saga.
“Aku sudah bilang, bukan? Aku tidak akan membiarkanmu mati setelah aku bersusah payah mengorbankan hampir seluruh kekuatanku untuk menyelamatkanmu,” imbuh Saga diiringi seringai kecil.
Bibir Aelin menipis, masih merasa tidak ingin. “Aku sungguh tidak bisa menolak, huh?”
“Jika kau pergi, aku akan membawamu pergi ke Narfort.”
Mata Aelin spontan membulat oleh binar. “Sungguh?!”
“Ya, ada festival di kota. Tapi, kau tidak ingin pergi—”
“Aku pergi!”
Tidak menunggu respon Saga, Aelin berbalik badan lalu menghampiri Sierra. Berbanding terbalik dari sebelumnya, gadis itu berkata akan menemui Ares dengan penuh keantusiasan yang tidak palsu. Sierra sampai tercengang melihatnya. Wanita itu bergantian menatap Aelin dan Saga akibat tidak percaya melihat sang Putri tiba-tiba mematuhi keinginan Ares.
“Cepatlah, Sierra!” desak Aelin menggandeng tangan Sierra untuk mengajaknya segera pergi ke Istana Kaisar.
Sierra menoleh ke belakang untuk menatap Saga. Lantas, melemparkan senyuman seolah berterimakasih karena telah berhasil meruntuhkan keegoisan Aelin. Mungkin benar kata para pelayan Istana Clementine, Saga sangatlah cocok untuk Aelin.
TO BE CONTINUED