BAB 37

1092 Words
Aelin memenuhi panggilan Ares. Mereka duduk di meja makan Istana Kaisar tanpa kehadiran Arne. Sebelumnya, Aelin berpikir Arne akan hadir bersama mereka sehingga tidak hanya dirinya yang harus menghadapi Ares. Asumsi itu juga menjadi penyebab Aelin menolak dengan keras kepala. Alih-alih Ares, dia lebih tidak ingin bertemu dengan Arne. Akan tetapi, apa yang dia katakan kepada Saga bukanlah kebohongan. Kejanggalan itu juga menghantuinya sehingga dia menjadi lebih defensif saat dikaitkan dengan sang Kaisar. Enam tahun tidak bertemu, Aelin melihat tidak begitu banyak hal yang berubah pada diri Ares. Kaisar itu tetap rupawan dalam kesan awet mudanya. Auranya dingin nan menyeramkan seolah sedang membangun dinding tinggi antara dirinya dan orang lain. Ia masih terkesan tidak berperasaan bak algojo yang tidak segan merampas nyawa orang lain. Dan, pada kenyataannya, Ares juga memiliki watak tersebut. Aelin tidak akan pernah melupakannya. Seperti enam tahun silam, rasa was-was Aelin tidak hanya tertuju pada Ares, melainkan juga sekitarnya. Sebuah hawa yang tak nyaman di sekitar lehernya itu akan muncul sebentar lagi. Perasaan yang memicu kewaspadaannya meninggi hingga rasa tidak tenang menguasai dirinya. Dia memang takut terhadap Ares, namun dia lebih takut kepada mantra tak kasat mata yang mengincar lehernya setiap kali dia bertemu dengan keluarganya. Bagaimanapun, saat ini Aelin tidak memiliki pilihan selain mematuhi Ares. Dia telah mempercayai Saga yang berkata akan melindunginya sehingga meletakkan mantra pelindung pada dirinya sebelum bertemu dengan Ares. Saga adalah penyihir jenius, Aelin mengakuinya tanpa terang-terangan mengumbarnya. Jadi, dia tidak boleh terpaku pada ketakutannya. “Segala berkah dan kesejahteraan untuk Neuchwachstein dan Yang Mulia Kaisar. Lama tidak berjumpa, Papa,” sapa Aelin akhirnya, memulai pembicaraan demi menghalau ketakutannya agar Ares tidak curiga padanya. Ares yang bersandar pada kursi pun menatap Aelin dan mengangguk kecil. “Ya, lama tidak berjumpa.” Aelin menyunggingkan senyuman manis penuh kepalsuannya. “Saya—” “Huh?” Dalam diam, Aelin terlonjak melihat Ares tiba-tiba menyela ucapannya dengan nada terketus yang pernah dia dengar. Ekspresi pria itu pun kian menakutkan hingga Aelin hampir tidak mampu menahan gemetar. Benaknya segera kacau balau, tidak memahami apa maksud Ares. Apakah dia telah melakukan kesalahan? Secepat ini? Apa pula yang dia lakukan? Dia bahkan belum mengucapkan apa pun selain memberi salam hormat! Aelin yang kebingungan pun tidak memiliki pilihan selain mencoba peruntungannya. “Saya—” Bibir Aelin mengatup rapat melihat tatapan mata Ares kian tajam padanya. Batinnya berteriak emosi. Apa yang sebenarnya kau inginkan, Kaisar Bodoh?! Sudah tiba-tiba memintaku menemuimu, sekarang emosi tidak jelas padaku yang bahkan belum melakukan apa pun!! Sisi lain dalam diri Aelin mencoba berpikir lebih tenang. Situasi semacam ini telah terjadi enam tahun lalu. Tidak sama persis tetapi cukup sejenis. Sebuah pemicu mengapa akhirnya Aelin memanggil Ares sebagai Papa dan itu dibiarkan. Tunggu, tidak mungkin…, bukan? batin Aelin ragu-ragu seraya mengerjap pada Ares, berusaha semaksimal mungkin mempertahankan ekspresi manisnya. “Aku…,” ujar Aelin, mencoba peruntungannya lagi. Dia menunggu respon Ares selama beberapa sekon, menduga dirinya akan dicincang habis oleh sang Kaisar akibat menggunakan sapaan non-formal. Akan tetapi, itu tidak terjadi. Justru raut tajam Ares mengendur. Aelin jadi terhenyak sendiri, tidak bisa percaya sekaligus habis pikir. Sungguh, kenapa segalanya berjalan menyimpang dari alur novel? Ini semakin menguatkan dugaanku bahwa Aelinna tidak lulus saat Ares memberinya tes usai tersasar ke Istana Kaisar enam tahun lalu. “Ku—kudengar, Papa jatuh sakit lagi. Apakah Papa baik-baik saja?” tanya Aelin, melanjutkan ucapan yang sedari tadi disela oleh Ares, kala merasa dugaannya tepat bahwa Ares tidak ingin dirinya berbicara formal. “Ya, tidak masalah,” jawab Ares seadanya, kembali ke perangainya yang luar biasa datar. Aelin memperbaiki senyuman manisnya. “Sebaiknya Papa beristirahat dari pada bertemu denganku. Kesehatan Papa harus diprioritaskan.” “Kau tidak ingin bertemu denganku?” Aelin spontan menggeleng, tidak bisa menahan kepanikannya. “T—Tidak! Aku ingin bertemu Papa, tentu saja! K—Kita telah lama tidak bertemu, tentu saja aku sangat merindukan Papa. Tapi, kesehatan Papa sedang buruk, jadi aku khawatir!” Ares mendengus. “Begini saja hanya masalah kecil bagiku.” Aelin tertawa, berusaha mencairkan suasana. Sayangnya, yang keluar adalah tawa canggung. “Benar juga, Papa sangat kuat. Jadi, bukan masalah besar.” “Enam tahun berlalu tapi kau tidak berubah sama sekali,” mata perak Ares mengamati Aelin dari kepala sampai bawah, membuat gadis itu kian gemetar, “tetap gemuk. Wanita Anderson itu perlu belajar untuk tidak memanjakanmu lagi dengan kue-kue manisnya.” Sungguh, pada detik itu Aelin sangat ingin berteriak menyangkal ejekan Ares yang sangat ringan terlontar dari mulutnya. Tetapi, penguasaan dirinya berhasil menahannya agar tidak melakukannya demi mengamankan nyawa dalam tubuhnya. Meski Ares mempersilakan Aelin memanggilnya Papa dan berbicara non-formal, bukan berarti pria itu terjamin tidak akan membunuhnya. Aelin tidak boleh terlena. “Jadi, Papa ingin mengatakan sesuatu padaku, kah?” tanya Aelin, membelokkan topik. “Aku cukup terkejut atas permintaan Papa yang ingin bertemu denganku di saat Papa baru saja jatuh sakit. Kupikir, Arnemesia juga akan hadir, tapi ternyata tidak. Jadi, aku menduga-duga apa yang terjadi.” Entah hanya perasaan Aelin atau tidak, dia menangkap sorot Ares menajam saat dia menyinggung Arne. Itu terjadi dalam sepersekian detik hingga Aelin tidak tahu dengan pasti. “Dia tidak perlu hadir,” tukas Ares kemudian, nadanya lebih dingin dari sebelumnya, lagi-lagi entah itu hanya perasaan Aelin atau tidak. “Dia harus segera menyelesaikan pendidikannya. Dia sibuk.” Ah, hanya perasaanku saja. Toh benar juga, tidak mungkin Ares tiba-tiba membenci Arne. Tidak segalanya berubah dari alur novel, batin Aelin. “Ah, aku mengerti,” tanggap Aelin, “dua tahun lagi sebelum debut, Arnemesia pasti sangat sibuk menyiapkan diri. Maaf atas kecerobohanku, Papa.” Dua tahun, waktu yang tersisa bagi Aelin sebelum melarikan diri. Sungguh tidak terasa betapa cepatnya waktu berlalu. Dia telah menyaksikan bagaimana dinamika kesulitan Aelinna dalam keluarga Sinclair. Dia juga menyaksikan bagaimana beberapa titik berubah karena ia telah lulus melalui tes tak kasat mata Ares. Pada akhirnya Ares bersikap baik pada Aelin tetapi tidak menjamin akhir hidup Aelin telah berubah. Sangat disayangkan. Sempat beberapa kali terbesit dalam pikiran Aelin bahwa Ares dapat menjadi ayah yang baik untuk dirinya jika sikap barunya itu terus berlanjut. Dia tidak perlu melarikan diri. Tetap mendekam di Istana Clementine pun tidak masalah asalkan dia dijauhkan dari insiden peracunan Arne. Dia yakin pada saat insiden itu terjadi, Ares tidak akan diam melihat putri sulungnya dikambinghitamkan oleh Duke Morrison. Apa daya? “Dia tidak diinginkan, jadi tidak perlu mempertanyakan kehadirannya. Ingat itu baik-baik.” Aelin mengangguk. “Aku mengerti, Papa.” Suatu saat, Aelin baru memahami apa maksud kalimat itu. Kebodohannya dalam berpikir yang menjerumuskannya ke dalam penyesalan sekaligus tekad yang akan terus digenggam.    TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD