BAB 35

1159 Words
Umumnya, tidak ada batasan waktu bekerja bagi Penyihir Kekaisaran. Mereka bebas menentukan jam kerja masing-masing sesuai porsi tugas yang diambil. Oleh sebab itu, Menara Sihir Kekaisaran tidak pernah sepi. Selalu ada kegiatan di dalamnya selama 24 jam. Berhubung para penyihir sangat berdedikasi untuk belajar dan memperkuat diri, hal semacam itu bukanlah sesuatu yang aneh bagi mereka. Bagi Saga, dia tidak sudi bekerja non-stop seperti rekan-rekannya. Dia memiliki kehidupan yang lebih penting untuk dijalani daripada harus menghabiskan waktu hanya untuk bekerja. Dia tidak memiliki keinginan dalam meneliti sihir lagi, begitulah simpelnya. Lagi pula, dia tidak perlu melakukan itu lagi karena dia terlalu jenius untuk dapat menyadari segala hal dalam polemik sihir. Ditambah lagi, berkat kejeniusan itu juga dia sangat dibebaskan dari kewajiban-kewajiban Penyihir Kekaisaran. Termasuk, kewajiban rajin bekerja di menara. Lantas, dibandingkan rekan-rekannya, Saga memiliki banyak waktu luang. Dan dalam bekerja pun lebih cocok disebut bermain-main. Apakah tidak ada yang iri? Tentu saja mustahil. Segala masalah telah dilimpahkan kepada Saga namun itu semua tidak berhasil menggagalkannya. Saga tetaplah Saga, sang Penyihir Kecil Jenius yang tak terkalahkan. “Jadi, apa yang kau rasakan? Sudah menemukan titik terang?” tanya Saga usai berteleportasi ke salah satu puncak menara pengawas istana. Kuro turun dari dekapan Saga ke bingkai jendela. Kucing hitam itu menguap lebar seraya merenggangkan persendian tubuhnya. “Dapat dipastikan ada sesuatu yang tidak beres di Istana Hampstead dan itu berkaitan dengan Kaisar.” jawabnya.   “Aku tidak pernah merasa tenang berada di sana. Terutama di titik-titik tertentu,” dengus Saga seraya melepas jubah dari pundaknya. Mata peraknya menyorot tajam ke hamparan perkotaan, “kau ingat saat Kaisar pertama kali jatuh sakit? Dia muntah darah tidak lama setelah pertemuan dengan Putri Mahkota.” “Ada yang mencurigakan dari Putri Mahkota dan Duke Morrison,” Kuro mengibaskan ekornya, “yah, aku tidak begitu peduli dengan nasib Kaisar dan takhta. Tapi, aku tidak ingin melihat Aelin sedih.” Saga mendengus, menatap Kuro dengan jengkel. “Sejak kapan kau sepeduli itu pada Aelin, huh? Hanya karena dia memberimu daging dan ikan, bukan berarti kau bisa semudah itu berpaling dari majikanmu, Nekomata.” Kuro membalas tatapan Saga tidak kalah tajam. “Majikan sepertimu yang tidak pernah memberiku makanan enak tidak patut dibanggakan.” “Jika aku tidak memungutmu, kau tidak akan berada di sini, bertemu Putri Bodoh itu dan merasakan daging segar. Belajarlah berterimakasih!” Kuro berdiri, bertumpu pada kedua kaki belakangnya. Kedua kaki depannya bersedekap. “Bukankah sekarang sudah waktunya kau berhenti memanggilnya begitu?! Kau sendiri seperti tidak tahu terima kasih padanya!” “Apa pula beban hutangku padanya?! Justru dia yang berhutang nyawa padaku!” “Kau sering mencuri kukis cokelat favoritnya, kue-kue manis, dibiarkan bertingkah tidak sopan di depan semua orang, dan dibiarkan menguasai Istana Clementine sesuka hati!” “Yah, itu imbalan karena telah menyelamatkannya!” “Tapi lama-kelamaan kau melunjak!” “Kucing Sialan, jangan sampai kau kukirim kembali ke Menara Arte—” “Mohon maafkan interupsi saya, Lord Saga dan Nekomata. Tapi, saya telah tiba.” Saga dan Kuro menoleh serempak, menemukan seorang pria jangkung berdiri di hadapan mereka dengan setelan cukup formal. Kekesalan mereka segera terpaksa untuk ditahan. Demi tidak memicu keributan lain, mereka menjauh satu sama lain. “Oh, kau sudah datang, Erasmus,” sapa Saga datar. Pria jangkung bersurai cokelat dan berkacamata bernama Erasmus tersebut segera membungkuk kecil lalu memberi tanggapan usai menegakkan punggung. “Saya membawa pesan dari para Penjaga Menara, terutama Nona Shalltear yang berkata sangat merindukan Anda.” “Kesampingkan itu dulu, kau sudah membawa hasil yang kuminta?” “Sudah. Saya pastikan terdapat energi sihir hitam di beberapa titik Istana Hampstead. Alirannya hampir tidak terasa akibat ditimpa oleh mantra kuno hingga cukup sulit bagi saya untuk mendeteksinya.” Saga mengernyit, alisnya bertaut tajam. “Sudah kuduga. Energinya terasa tidak asing. Aku khawatir itu berasal dari musuh lama yang selama ini kucari-cari.” Erasmus mengangguk kecil. “Saya berasumsi penyebab Kaisar mendadak sakit-sakitan karena terpengaruh oleh sihir hitam tersebut. Lantas, satu-satunya pemicu lain yang berkemungkinan besar memperbesar dampak sihir tersebut adalah Putri Mahkota.” Angin malam segera berhembus kencang melalui jendela menara. Menghantarkan hawa yang tidak menyenangkan seolah-olah menginterupsi pembicaraan sensitif Saga dan Erasmus untuk menegur mereka agar tidak membicarakannya lagi. Saga tidak suka ini. Seiring waktu berjalan permasalahan keluarga kekaisaran semakin pelik saja. Dia yang hanya berniat menjaga Aelin pun mulai merasa tugasnya akan bertambah sebentar lagi. “Hei, hei, tidakkah asumsi kalian terlalu barbar? Putri Mahkota memang memiliki sihir yang besar tetapi dia juga memiliki sihir pelindung guna menghalau sihir hitam menempel padanya,” cetus Kuro melempar argumen. “Dan aku yakin itu tidak cukup kuat menghalau sihir hitam kuno yang menempel di Istana Hampstead,” sangkal Saga, lalu mendecak. “Ck, aku butuh Ishtar.” “Haruskah saya memanggil—” “Tidak, dia belum begitu mampu menyembunyikan hawa kekuatannya. Dia hanya akan membawa masalah baru jika kau membawanya keluar dari menara,” sela Saga tajam. “Untuk sekarang, aku ingin kau tetap berada di sini untuk memantau perkembangan sihir hitam itu. Apa pun pesan yang disampaikan Penjaga Menara, simpan dulu. Aku tak ingin mendengarnya.” Erasmus mengerjap polos. “Tapi, Nona Shalltear berkata akan nekat menghampiri Anda jika Anda lagi-lagi mengabaikan pesan beliau.” Kuro spontan terbahak, membuat emosi Saga kian mendidih. “Abaikan saja, Erasmus. Kau tahu sendiri bagaimana watak sang Wizard Lord ini! Biarkan Vampire Lord itu menghampirinya—AAAHHH!! APA YANG INGIN KAU LAKUKAN?!” Saga menyela celotehan Kuro dengan mengangkat kucing itu tinggi-tinggi dari bingkai jendela lalu membuat gestur hendak melemparnya jauh-jauh. Kuro yang memang takut ketinggian meski memiliki sayap pun tak kuasa menahan kengeriannya. Bulunya berdiri serempak akibat menatap hamparan Narfort di bawah menara pengawas. “Kucing tidak tahu diri sepertimu memang sesekali perlu dihajar,” ujar Saga seraya meninggikan lengan kanannya yang mengangkat tubuh gemetar Kuro. “Pesan terakhir?” “Aku akan memakan nyawamu jika kau berani melemparku, Penyihir Bodoh!” teriak Kuro lebih pantas disebut merengek alih-alih mengancam. Saga menyeringai lebar. “Kau tidak akan bisa membunuhku, Kucing Sialan. Kembalilah ke Lucifer sekarang juga.” Kuro berteriak histeris saat lengan Saga terayun ke depan. Ketika dia mengira hidupnya akan berakhir, ayunan itu terhenti. Lambat-laun dia membuka mata, lantas melotot ngeri melihat tubuhnya tergantung di udara. Dia tidak dapat melakukan apa pun selain menggantungkan diri pada tangan Saga yang masih menjepit kulit leher belakangnya. “Erasmus, sampaikan pada Iona bahwa Nekomata merindukannya,” cetus Saga membuat Kuro ternganga syok. Erasmus membungkuk kecil. “Baik, kalau begitu saya permisi terlebih dahulu. Selamat malam, Lord Saga, Nekomata.” Kuro memberontak. “Tunggu! Jangan pada wanita itu! Erasmus—” Sayangnya, Erasmus telah menghilang tanpa menyisihkan waktu untuk mendengarkan teguran Kuro. Lantas, Kuro terhenyak dalam jeratan Saga. Sesaat, dia berpikir lebih baik diterjunkan oleh Saga dari atas menara pengawas daripada harus kembali ke dekapan wanita psikopat bernama Iona. Dan, Kuro tahu benar Saga tidak akan membiarkan itu terjadi karena pilihan terkejam adalah menjerumuskan Kuro kepada Iona. Kuro menyesal bersedia dipungut oleh Saga. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD