Biasanya, Aelin tidak pernah memanggil Saga untuk meminta ditemani. Lelaki itu akan datang tanpa diminta sehingga Aelin tidak perlu repot-repot memanggilnya. Pun seringkali dia hanya perlu berpikir ingin ditemani, lalu Saga akan muncul dalam sekejap seperti peri. Secara pribadi, Aelin tidak pernah mempermasalahkannya, dia selalu menyambut Saga dengan tangan terbuka meski dalam kondisi sedang bertengkar. Tentu, pertengkaran mereka disebabkan oleh alasan sepele, jadi tidak perlu waktu lama untuk berbaikan.
Malam ini, Aelin ditemani oleh Kuro di balkon kamar tidurnya. Bersama kucing hitam milik Saga itu, dia mengamati pemandangan Narfort di balik dinding Istana Kekaisaran beratapkan langit malam bertabur bintang. Cahaya bulan sedang bersinar terang dan angin tidak berhembus terlalu kencang sehingga nyaman bagi Aelin untuk bercengkrama di balkon. Benaknya memutar kilas balik pertemuan pertamanya dengan sosok tokoh utama laki-laki di dimensi novel ini, Karl Nicholas Zacharias.
Sesuai penggambaran sosoknya di adaptasi Webtoon, Karl sangat tampan dan bercahaya. Lelaki itu berusia 17 tahun sekarang sehingga auranya sedang dalam masa hendak mekar. Ia adalah contoh nyata dari sosok laki-laki lembut nan gentle bak pangeran dalam dongeng. Dari tutur bicara serta sikapnya, perumpaan itu tidaklah berlebihan. Jika saja Karl tidak bersikap pasif seperti Arne dalam menyikapi musibah Aelinna, saat ini Aelin pasti jatuh hati padanya usai pertemuan pertama.
“Kuro, bagaimana menurutmu? Karl tampan?” tanya Aelin seraya mengangkat tubuh Kuro agar wajah mereka saling bertatapan.
“Meow….”
Tentu saja, mana mungkin Kuro dapat berbicara seperti manusia.
“Apa? Menurutmu dia tidak tampan?”
“Meow!”
Aelin manggut-manggut, sedikit cemberut. “Tentu saja, mana mungkin tokoh utama tidak rupawan. Apakah kau terpana padanya? Yah, aku tidak akan menyalahkanmu. Dia lebih tampan dibandingkan majikan galakmu yang menyebalkan itu.”
“Meow…! Meow!”
Aelin menggeleng, skeptis. “Kau terlalu setia padanya. Kau sudah enam tahun berada di sini, kau sudah melihat banyak orang, bukan?”
“Meow!”
“Karl juga dapat menggunakan sihir. Dia Pangeran Deltora, dia jenius! Tidak kalah jenius dari majikanmu.”
“Meow.”
Aelin mengangguk lalu membaringkan Kuro di pangkuannya, mengusap tubuh gempalnya. “Tapi, kau benar juga. Kita tidak bisa langsung nyaman dan percaya kepada orang baru. Walau menyebalkan, terkadang majikanmu juga bisa baik.”
Berbicara dengan Kuro telah menjadi kebiasaan Aelin sejak enam tahun silam. Kucing itulah yang menyebabkan pertemuannya dengan Saga terjadi. Walau kesan pertama dari pertemuan itu tidak begitu bagus, Aelin tidak membencinya. Justru, dia sedikit mensyukurinya karena pada akhirnya mendapatkan teman baik. Walau dia tidak tahan dengan sikap usil Saga, tidak mengapa. Dia tetap mensyukuri kehadiran Saga dan Kuro dalam hidupnya.
Jika tidak ada Saga dan Kuro, hidup Aelin tidak akan berjalan semenyenangkan ini. Tidak ada siapa pun yang akan merebut kukisnya, tidak ada yang perlu dikejar di taman, tidak ada yang perlu dimandikan, dan tidak ada yang akan mendengarkan keluh kesahnya. Aelin memang selalu sebal saat berebut kukis dengan Saga, namun jauh dalam dirinya dia tahu momen itu terasa menyenangkan. Padahal sesungguhnya dia adalah wanita dewasa tetapi dia masih dapat menikmati momen-momen kekanakan seperti itu.
Aelin benar-benar bersyukur.
“Saga bilang kau ini bukan kucing biasa. Lalu, kau makhluk apa, Kuro?” tanya Aelin usai menunduk pada Kuro yang asyik menggeliat di pangkuannya.
“Nekomata.”
“Aaahh!”
Aelin dan Kuro terlonjak kaget mendengar suara bariton Saga tiba-tiba muncul. Keduanya menoleh ke kiri, menemukan sang penyihir berdiri di ujung pagar balkon secara kasual. Sepersekon kemudian, urat pelipis Aelin mencuat, sungguh kesal dengan kebiasaan aneh Saga yang gemar muncul tanpa aba-aba sambil berbicara.
“Mau sampai kapan kau bertingkah seperti itu, Saga?!” sembur Aelin, protes untuk kesekian kalinya yang sudah jelas tidak akan diindahkan oleh Saga.
“Enam tahun dan kau masih belum terbiasa juga. Aneh sekali.” ledek Saga seraya melangkah menyusuri pagar balkon.
“Siapa pun tidak akan bisa terbiasa dengan hal semacam itu, dasar menyebalkan!”
Saga berhenti melangkah, kemudian dalam satu gerakan mulus mendudukkan diri di pagar balkon—bersebelahan dengan tangan kiri Aelin yang menyentuh pagar, tubuhnya menghadap Aelin. Jubah merahnya berkibar lembut diterpa angin malam, begitu pula surai hitamnya. Tidak berubah sama sekali, sepasang manik emasnya berkilau di bawah sinar bulan, lurus menatap manik perak Aelin. Mungkin Aelin terkesan tidak peduli tetapi ia tahu betul bagaimana perubahan besar-besaran pada fisik Saga akibat pubertas. Lelaki itu tampan dengan aura misteriusnya yang kental.
Akibat terlalu nyaman melihat Saga dalam bentuk anak-anak, Aelin melupakan rupa dewasanya di pertemuan pertama mereka. Dia hampir lupa bahwa lelaki itu tidak seumuran dirinya. Ia adalah pria dewasa yang memakai fisik kanak-kanak lagi akibat kehabisan mana. Ia tahu bagaimana rupa dewasanya, lalu ditambah pula rupa kanak-kanak dan remajanya. Aelin jadi tahu betul bahwa Saga memang terlahir tampan.
Ah, tidak! Apa yang kupikirkan?! batin Aelin tersentak pada dirinya sendiri. Tanpa sadar, tangan kirinya melesat menutup mulutnya seraya menunduk pada Kuro. Entah kenapa, wajahnya terasa panas. Dia cuma Saga! Penyihir aneh yang menyebalkan dan usil! Sadar, Aelin!
“Apa? Wajahmu merah, Putri Bodoh,” cetus Saga, mengamati gelagat aneh Aelin.
Aelin memalingkan muka. Berdehem keras, sangat terkesan canggung. “Tidak apa-apa. Hanya sedikit gatal di hidung karena serbuk bunga di udara.”
Alis Saga naik sebelah. “Sejak kapan hidung pesekmu itu sensitif serbuk?”
Aelin spontan menoleh dengan delikan tajam. “Hidungku tidak pesek!”
“Benarkah?”
“Benar—argh! Sakit!”
Tangan Aelin gagal memukul tangan kiri Saga yang baru saja mencuri cubitan di ujung hidungnya. Lantas, berganti menjadi mengusap bekas cubitan lelaki itu yang cukup menyakitkan.
“Sebenarnya, apa yang ingin kau lakukan di sini, huh? Kau bilang kau tidak ingin menemuiku lagi!” cecar Aelin sedikit frustasi.
“Menjemput Nekomataku. Kau pikir, aku menyerahkan dia sepenuhnya padamu?”
Aelin mengernyit. “Nekomata?”
Saga melirik Kuro sekilas. “Kucing di pangkuanmu.”
Aelin menatap Saga dan Kuro bergantian, terheran-heran. “Nekomata? Dia bernama Nekomata?”
“Bukan. Dia makhluk bernama Nekomata.”
Saga mengarahkan tatapan dingin kepada Kuro. Sepersekon kemudian, kucing hitam itu bangkit berdiri lalu melompat ke pangkuan Saga. Ia berputar beberapa kali sembari menggeliat ke perut Saga sebelum akhirnya duduk dengan nyaman di pangkuan lelaki itu. Tidak berselang lama, ekor Kuro membelah menjadi dua seolah dipotong lurus melalui ujung ekor oleh benda tajam. Mata Aelin terbelalak melihatnya.
“Ekornya…!” gumam Aelin terhenyak.
“Sudah kubilang, dia bukan hewan biasa.” dengus Saga seraya mengusap tubuh Kuro. “Dia Nekomata. Singkatnya, hantu yang memiliki kekuatan sihir. Kucing yang dahulu dipelihara manusia namun tidak diperlakukan baik sehingga berubah menjadi Nekomata.”
Tatapan Aelin menyendu menatap Kuro. “Astaga, bagaimana bisa kucing seimut ini diperlakukan tidak baik…?”
“Aku belum menemukan Nekomata lagi selain dia,” Saga melirik ke kiri, “dan kuharap tidak akan pernah menemukannya.”
Aelin mendongak menatap Saga. “Kau memanggilnya Nekomata? Tidak memberinya nama?”
Saga mendengus kecil. “Nekomata sudah cukup.”
“Dasar, kau perlu memberinya nama.”
Tidak peduli seberapa lama Saga tinggal di Istana Kekaisaran, hanya hawa suasana Istana Clementine yang dapat membuatnya nyaman. Istana Kaisar terasa memuakkan dan Istana Hampstead terasa tidak menyenangkan, entah mengapa. Saga tidak bisa merasa tenang hingga ingin segera angkat kaki dari kedua istana itu.
“Bagaimana kondisinya?”
Saga melirik Aelin, menangkap gadis itu memandang kosong pada hamparan taman. Wajahnya datar tetapi kesan sendu tetap tertangkap oleh mata Saga. Ia selalu terkesan tidak peduli pada Ares. Membiarkan Kaisar itu menjauh darinya. Tidak menginginkan acara keluarga sama sekali. Tidak menggubris ajakan Arne untuk bertemu dengan Ares. Bertahun-tahun Aelin berusaha menjauhkan diri dari mereka. Namun pada akhirnya, ia tetap memiliki rasa peduli terhadap keluarganya.
“Tidak terlalu mengkhawatirkan. Hanya kelelahan dan efek samping terlalu banyak konsumsi alkohol,” jawab Saga.
Aelin menggumam pelan. “Baguslah. Bisa repot jika dia tiada terlalu cepat. Neuchwachstein masih membutuhkan dia.”
Saga menoleh, menyeringai. “Hanya Neuchwachstein, kah?”
Aelin mengerjap, lamunannya buyar. Tatapannya beralih pada Saga dengan sorot bingung. “Huh?”
Tanpa aba-aba, tangan kiri Saga mendarat di puncak kepala Aelin. Sontak membuat pipi gadis itu bersemu. “Kau harus belajar untuk jujur pada perasaanmu sendiri, Putri Bodoh.”
“Apa yang kau lakukan?!”
Lagi-lagi, Aelin gagal memukul tangan Saga karena kalah cepat.
“Jangan sampai kau menyesal karena terlambat menghargainya.”
Aelin mengerjap bingung. “Apa maksudmu?”
Saga melengos selagi seringainya melebar. Dia mengangkat Kuro ke dalam dekapannya. “Sudahlah, aku masih memiliki urusan. Selamat malam, Putri Bodoh.”
Tidak menunggu respon Aelin, Saga pergi bersama Kuro meninggalkan gadis itu dalam tanda tanya besar. Selalu seperti itu. Ia gemar mengucapkan sesuatu yang tidak jelas tanpa memberi tahu maknanya seolah sedang bermain teka-teki dengan Aelin. Aelin tidak pernah mengindahkannya, secara simpel menganggap itu semua hanya celetukan yang tak bermakna apa pun. Namun, kalimat barusan adalah kalimat terdalam yang Saga lontarkan.
Aelin yakin Saga tidak hanya sekedar mengucapkannya karena usil.
TO BE CONTINUED