“Maafkan aku, kau pasti menunggu terlalu lama.”
Karl menyunggingkan senyuman andalannya. “Ah, tidak sama sekali. Aku menikmati waktuku di taman. Tidak perlu khawatir, Arne.”
Arne tersenyum seraya mengembuskan napas lega. “Syukurlah. Ah, coba dengarkan, Madame Puff memberiku banyak pujian di sesi latihan menari minggu lalu. Aku tidak sabar ingin memperlihatkannya di pesta debutku.”
“Begitu? Baguslah, aku tidak sabar untuk melihatnya.”
Arne terkekeh riang. “Kau akan menjadi pasanganku, tidak perlu khawatir.”
Tiga tahun mengenal Arne, tidak ada yang membuat Karl merasa kurang. Baginya, gadis itu sudah sempurna dengan caranya sendiri. Mulai dari wataknya yang ceria, lemah lembut, dan murah hati. Fisiknya pun rupawan dengan surai pirang keemasan, mata perak, dan lekuk ramping. Pembawaan diri Arne juga anggun dan berwibawa meski ia terkesan masih kekanakan. Ia dapat beradaptasi di segala situasi tergantung siapa lawan bicaranya. Arne sempurna, Karl mensyukurinya.
Namun, hari ini, tepat setelah bertemu dengan sosok Putri Terlantar bernama Aelinna Eunice von Sinclair, Karl tahu jantungnya berdetak berbeda. Detakan yang selama ini tidak pernah terjadi karena Arne, kini terpicu karena Aelin. Karl tidak ingin menganggapnya berlebihan tetapi apa yang dia rasakan jelas bukan pertanda bagus. Terlebih, kini setelah bersama dengan Arne, perasaan itu semakin terbukti jelas.
“Dua tahun lagi, bukan? Tapi, kau telah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Bukankah kau terlalu rajin?” tanya Karl, berusaha menepis Aelin dari pikirannya.
“Yah, begitulah. Aku tidak ingin ada kekurangan, sebisa mungkin harus sempurna. Aku tidak boleh membuatmu malu, bukan?”
Karl tersenyum. “Apa pun yang kau lakukan pasti sempurna. Tidak perlu khawatir.”
“Terima kasih, Karl. Aku senang kau berada di sisiku.”
“Aku juga.”
Sebuah kebohongan putih yang selama ini dilontarkan oleh lidah Karl. Dia tahu apa yang dia ucapkan salah. Membohongi perasaan Arne terus-menerus, membiarkannya berpikir bahwa rasa sayangnya terbalaskan, itu sungguh jahat. Tetapi, Karl tidak memiliki pilihan lain. Pertunangan mereka didasarkan oleh politik, tidak mungkin Karl langsung dapat mencintai Arne. Bahkan dia cukup bingung bagaimana bisa gadis itu dapat segera mencintainya setelah bertunangan.
Karl tidak akan berpikir itu disebabkan oleh wajahnya yang selalu dipuja di Deltora. Dia juga tidak akan berpikir disebabkan oleh wataknya. Dia berpikir itu semua terjadi karena watak lemah lembut dan kepolosan Arne. Ia percaya Karl adalah lelaki terbaik untuknya karena ia belum pernah bertemu dengan lelaki-lelaki lainnya. Ia belum mengenal dunia luar sehingga merasa puas dengan apa yang diperuntukkan padanya begitu saja. Jadi, tidak mengherankan. Mungkin rasa sayang Arne saat ini akan pupus setelah pesta debutnya.
Karl lebih berharap demikian. Dia tidak mempedulikan posisi Raja Neuchwachstein. Meski dirinya tidak mencintai Arne tetapi dia tetap ingin gadis itu bahagia. Lantas, jika kebahagiaan itu datang dari lelaki lain, Karl akan memberikannya tanpa pikir panjang. Dia tidak bisa memaksakan diri mempertahankan posisi hanya untuk mendapatkan gelar. Terlebih, dengan cara membohongi Arne dalam hal perasaan.
Karl bukan laki-laki berengsek seperti itu.
“Karl?”
Karl mengerjap. “Ya? Ada apa?”
“Kau tidak apa-apa? Kau melamun,” Arne mengerjap sekilas, “apakah ada masalah?”
Karl mengangkat tangan seraya tersenyum. “Tidak ada. Aku sedikit melamun saja. Maaf. Apakah kau mengatakan sesuatu?”
Arne mengangguk, raut cerianya sedikit redup. “Akhir-akhir ini, Ayah semakin sering sakit. Aku mulai khawatir.”
Kening Karl mengernyit, cukup tersentak. “Yang Mulia?”
“Mungkin karena pekerjaannya semakin berat dan banyak yang menumpuk.” Arne menghela napas, tatapannya turun pada cangkir teh. “Aku cukup marah pada keadaan karena belum bisa membantu Ayah sama sekali. Ayah selalu bilang tidak apa-apa tetapi faktanya berbalik. Kuharap kondisi Ayah segera membaik.”
Ketiadaan Permaisuri membuat jumlah pekerjaan Kaisar bertambah dua kali lipat. Tidak ada yang dapat membantunya selain Perdana Menteri. Pun itu tidak dapat dibagikan seluruhnya. Maka, bukan hal aneh mengetahui Ares mulai sakit-sakitan meski masih tergolong muda. Karl dengar, Ares adalah peminum berat setiap hari. Perpaduan kelelahan fisik dan alkohol tampaknya telah mulai menggerogoti tubuh Ares.
“Kuharap juga demikian, Arne. Tidak perlu terlalu dipikirkan, setelah debut kau bisa mulai membantu pekerjaan Yang Mulia. Untuk sekarang, ingatkan Yang Mulia untuk mengurangi minum alkohol agar tidak semakin parah,” ujar Karl.
Arne mendongak menatap Karl, lalu mengangguk kecil. “Kuharap Dion mampu mencegahnya. Ayah suka sekali minum anggur.”
Karl berharap, Ares tidak tiada terlalu cepat. Arne masih belia, butuh banyak bimbingan darinya sampai waktu yang tepat tiba. Setidaknya, jangan biarkan Arne terpaksa naik takhta sebelum menginjak usia 20 tahun. Ia memang pintar dan memahami politik, tetapi mentalnya belum siap untuk menanggung tanggung jawab sebesar itu. Dan, entah mengapa, firasat Karl tidak begitu baik memikirkan skenario Arne naik takhta terlalu awal.
Tentu, Karl tidak ingin berpikir negatif atau berlebihan. Dia ingin Neuchwachstein berjalan makmur tanpa kendala. Kendati begitu, di sisi lain dia juga tahu terlalu banyak oknum bangsawan yang selalu mencuri-curi kesempatan tanpa memikirkan kemakmuran kekaisaran.
Salah satunya, Duke Morrison.
“Baik, tidak perlu bersedih terlalu lama. Mari bicarakan hal lain, Karl.”
Karl tidak akan membeberkannya kepada Arne demi menjaga senyumannya.
***
“Anda sungguh harus mengurangi konsumsi kadar alkohol, Yang Mulia. Tubuh Anda mulai merasakan dampaknya.”
“Aku tahu.”
Beberapa petinggi Penyihir Kekaisaran mengelilingi Ares yang terbaring di sofa ruang kerjanya. Terpanggil oleh Dion yang khawatir saat Ares lagi-lagi sakit di tengah timbunan pekerjaan. Saga menjadi salah satu penyihir yang hadir akibat diseret oleh Kepala Penyihir Kekaisaran, Eros Lartius. Menjadi orang termuda yang bergabung dalam Penyihir Kekaisaran berkat menyelamatkan penyakit aneh yang diderita Aelin membuat Saga seringkali ditimpakan tugas-tugas tingkat tinggi. Tugas yang seharusnya milik para petinggi justru diberikan kepada Saga.
Maka, menangani kasus Ares tidak luput dari tugas Saga pula. Dia telah berhasil menyelamatkan Aelin, maka masalah kesehatan Ares turut dipercayakan kepadanya. Dan Saga tidak pernah senang menjalaninya. Lebih baik dia mendekam di Istana Clementine menanggung segala ocehan Aelin daripada harus berhadapan dengan Ares.
“Saga, apakah kau menyadari sesuatu?” tanya Eros.
Saga bersedekap, sorot datarnya menatap sebal pada Ares. “Tidak ada. Yang Mulia murni kelelahan akibat stres, kurang istirahat, asupan gizi tidak tercukupi, dan terlalu banyak alkohol. Tidak ada yang aneh.”
Seisi ruangan bernapas lega seolah-olah diagnosa Dokter Kekaisaran tidak lebih meyakinkan dibandingkan Saga.
“Kenapa pula kalian membawa bocah itu ke sini,” cibir Ares membuat urat pelipis Saga mencuat.
Eros berdehem. “Peninjauan dua kali agar lebih meyakinkan, Yang Mulia. Maafkan kelancangan kami, tapi kami tidak akan pernah melupakan jasa Saga enam tahun silam atas Putri Aelinna.”
“Hanya karena dia bisa menyelamatkan anak itu bukan berarti dia harus ikut bertanggungjawab atas kondisiku. Aku tidak menyukainya.”
Andaikan Saga bisa, dia akan menyumbat mulut Ares menggunakan kain basah yang mengompres kening pria itu. Setelah enam tahun berlalu, dia tidak akan pernah bisa akur dengan sikap arogan Ares yang memuakkan. Entah kenapa, pria itu tidak menyukainya seolah-olah dirinya telah melakukan kesalahan fatal yang membekas dalam kepalanya. Saga ingat betul dia tidak pernah sudi berkeliaran di Istana Kaisar jika tidak ada keperluan. Sehingga dia sangat jarang berpapasan dengan Ares.
Entahlah. Saga tidak ingin memikirkannya lebih lanjut.
“Dion, pastikan Claude mengurus pekerjaanku sampai tuntas. Apa-apa yang dia perlukan nantinya tanyakan saja padaku,” titah Ares seraya bangkit, hendak berpindah ke kamar tidur.
“Baik, Yang Mulia,” tanggap Dion, membantu Ares berdiri.
Saat Ares melewati barisan Penyihir Kekaisaran, dia berhenti di depan Saga. Tatapan mereka saling beradu selama beberapa sekon seolah sedang melakukan telepati. Lalu, sebelum Dion menegur Ares untuk segera berbicara agar tidak berdiri terlalu lama, pria itu melakukannya lebih cepat dari teguran Dion.
“Kuharap kau ingat untuk tidak memporak-porandakan Istana Clementine,” cetus Ares dingin.
“Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan. Segalanya aman,” sahut Saga kasual.
Percakapan singkat yang tidak dimengerti konteksnya oleh siapa pun selain Ares dan Saga. Para petinggi penyihir berasumsi itu adalah kalimat kiasan dari peringatan agar Saga selalu siaga menjaga Aelin. Toh, Saga diangkat menjadi Penyihir Kekaisaran bukan tanpa alasan. Satu-satunya penyihir yang diizinkan pergi ke Istana Clementine pun adalah Saga. Jadi, mereka akan tetap berasumsi demikian tanpa berusaha meminta klarifikasi. Sebab, mereka tak ingin bermasalah dengan Saga.
Usai kepergian Ares, Saga berbalik pada para petinggi yang sangat sengaja memalingkan muka darinya.
“Kau dengar sendiri, Eros?” cecar Saga tanpa basa-basi, membuat Eros beserta petinggi lain tersentak. “Kaisar tidak menyukaiku, jadi jangan melibatkanku dalam memantau kesehatannya. Aku juga memiliki tugasku sendiri, asal kau tahu saja.”
Eros berdeham kaku. “Aku mengerti, aku mengerti. Aku tidak akan mengajakmu lagi di pengecekan berikutnya.”
Tanpa membalas, Saga berteleportasi begitu saja, meninggalkan para petinggi yang segera menghela napas panjang. Enam tahun bersama Saga tidak membuat mereka terbiasa dengan sikap arogan lelaki itu. Dahulu mereka akan menganggapnya menggemaskan akibat perawakan kecil Saga. Kini, ia sudah remaja, kesan menggemaskan berganti menjadi melelahkan.
TO BE CONTINUED