BAB 52

1213 Words
“Apa? Kerajaan Tempest?” Mentari sedang berada di atas kepala ditemani langit biru yang sama cerahnya. Akan tetapi, Kuro terasa seperti sedang tersambar petir usai mendengar celetukan Aelin. Bahkan dia sampai berhenti rebahan—saking terkejutnya. Mata emasnya yang senada dengan mata Saga pun melotot sangat lebar ke wajah polos Aelin. “Wilayah milik elf hutan itu? Tempest yang itu?!” cecar Kuro, kali ini dengan nada lebih ditekan—saking tidak mempercayai gendang telinganya sendiri. Masih beraut polos, Aelin mengangguk. “Ya, di sana. Lagi pula, Tempest hanya ada satu, bukan?” Tersambar petir untuk kedua kalinya, Kuro semakin kalang kabut bak seseorang ketiban sial. Kucing hitam itu berjalan mondar-mandir, kanan-kiri, depan-belakang dalam tempo cukup cepat. Mulutnya menggerutukan banyak hal namun tak tertangkap oleh gendang telinga Aelin karena bernada terlalu rendah. Sehingga, Aelin hanya bisa mengamati keanehan gelagat Kuro penuh keheranan. Putri Neuchwachstein itu menatap ke luar gua pada hamparan pepohonan yang menghalangi pandangannya dari bentangan langit biru. Cuacanya sangat cerah, lebih cerah dari sebelumnya. Empat hari mengungsi di tengah Hutan Leadale membuat Aelin mulai merasa cukup familiar dengan keadaan hutan. Telinganya tidak lagi merasa terusik oleh beragam suara hewan dari segala arah sepanjang hari. Lidahnya tidak lagi ingin mengeluhkan daging bakar hambar dan buah-buahan yang tidak melalui proses sterilisasi. Punggungnya tidak meronta ingin berbaring di tempat yang lebih lembut. Sungguh cepat manusia dapat beradaptasi. Bukan berarti Aelin tidak pernah memprediksi dinamika semacam itu akan terjadi. Dia sepenuhnya paham bahwa kehidupan luar istana jauh lebih tidak menyenangkan. Tiada kemewahan dan jaminan hidup, segalanya serba biasa juga tidak pasti. Lagi pula, kehidupannya sebelum tiba di dimensi ini tidak jauh berbeda. Dia bukan anak konglomerat maupun orang kaya, jadi kehidupan serba pas-pasan bukan hal mengejutkan lagi. Hanya saja, dimensi ini sedikit berbeda, dia harus beradaptasi di era bak Eropa kuno bersama banyaknya jenis ras selain manusia. Mungkin, tidak akan seburuk bayangannya, tetapi Aelin tak ingin menduga-duga dan berekspektasi. Dia akan mempercayai Saga sepenuhnya dalam urusan dinamika sosial dengan ras selain manusia. “Apa yang kau ributkan, Kuro?” cetus Aelin, akhirnya bertanya daripada diam mengamati kericuhan kucing tersebut. “Bukankah Tempest adalah pilihan paling tepat? Saga kenal dengan pemimpinnya, setidaknya bukan taruhan yang buruk, bukan?” Sontak, Kuro berhenti bergerak dalam kegelisahannya. Kucing itu duduk bertumpu pada tubuh belakangnya, kepalanya mendongak, matanya lurus menatap Aelin dengan campuran gelisah dan jengkel seakan-akan sedang menghakimi gadis itu habis-habisan. Si terdakwa pun membalas tatapan itu dengan kepolosan serta kebingungan, membuat si hakim makin pening. “Dengar, Saga memang memiliki koneksi dengan Raja Faelyn. Mereka adalah kenalan selama bertahun-tahun, tetapi bukan berarti mengungsi di Tempest adalah pilihan tepat!” berondong Kuro menggebu-gebu, membuat Aelin mengerjap kaget. “Ke—kenapa begitu?” tanya Aelin. Mata Kuro membulat, terkesan horor. “Raja itu sangat pamrih!” Aelin hampir tersedak saliva mendengar ucapan Kuro. Bahkan, dia hampir tergerak mundur dari posisinya akibat terlalu terkejut. Dia tidak percaya. Walaupun dia hidup tertutup di Istana Clementine, bukan berarti dia tidak mengetahui perkembangan dunia luar. Terutama, kehidupan ras-ras lain. Dia cukup ambisius mempelajari kehidupan ras lain sehingga dia cukup cepat mengikuti kabar terkini. Dan, tidak pernah satu kali pun dia mendengar kabar bahwa Raja Elf Hutan berwatak sangat pamrih! “Leluconmu berlebihan, Kuro. Beruntunglah karena kita masih di Leadale. Jangan sampai kau mengatakan itu saat kita sampai di Tempest,” tukas Aelin melempar penyangkalan. Kaki kanan Kuro teracung menunjuk Aelin. “Mana mungkin aku bercanda! Justru aku mengatakannya karena telah mengenalnya sekian tahun! Pria tua bangka yang selalu tersenyum itu sesungguhnya adalah iblis, kau harus tahu itu! Saga mungkin tidak akan mengatakannya kepadamu, tapi aku tidak akan menyembunyikannya!” Alis Aelin bertaut, tidak menerima kesaksian Kuro. “Tapi, Saga tidak mengatakan apa pun saat aku memutuskan pergi ke sana! Memang benar keputusan berada di tanganku, tapi dia berkata tidak akan membiarkanku memilih keputusan yang salah. Jadi, Tempest bukanlah pilihan buruk.” Kuro mendecak keras seraya membuang muka dengan raut penuh jengkel. “Tentu saja dia tidak mengatakan apa pun karena dia tidak berpikir sifat tersembunyi Raja itu bermasalah. Sifat mereka sejenis!” “Lagi pula, apa yang kau khawatirkan—katakan saja Raja Faelyn memang sangat pamrih—toh kita tidak memiliki apa-apa yang dapat diberikan kepadanya, bukan?” Sontak, Kuro menoleh. Matanya melotot. “Salah besar, Aelinna! Apakah kau berpikir hanya barang materil saja yang dapat dijadikan objek transaksi? Tentu, tidak! Segala darah, keringat, dan air matamu akan diperah habis-habisan sebagai gantinya!” Aelin jadi bertanya-tanya, apakah dahulu pernah terjadi sesuatu antara Raja Faelyn dan Kuro hingga mengakibatkan kucing itu sehisteris ini? Raja Elf Hutan dikenal sebagai pemimpin terbaik di antara ketujuh pimpinan ras elf. Ia melindungi wilayah The Eternity Forest beserta seluruh penghuninya tanpa terkecuali. Tidak peduli jika dari ras iblis sekalipun, seseorang akan tetap mendapatkan perlindungan penuh selama singgah di wilayah The Eternity Forest. Kebijaksanaannya sangat diagungkan hingga hampir semua orang percaya tidak akan ada pemimpin sesempurna pria itu lagi. Lantas, mendengar histeria Kuro membuat Aelin sangat bersangsi. Tentu, dia menyadari setiap orang pasti memiliki sisi negatif masing-masing. Namun, sisi itu pasti dibatasi oleh nurani, bukan? Terlebih, seorang pemimpin wilayah sebesar Tempest dan The Eternity Forest tidak mungkin bersikap di luar batas. Orang yang tega melewati batas di dunia ini hanyalah Ares, sang Kaisar Neuchwachstein. Setidaknya, itulah aturan yang telah diciptakan oleh penulis novel. Aelin cukup yakin tidak ada lagi manusia setega Ares. “Aku yakin tidak akan seburuk itu,” tukas Aelin, kokoh pada pendiriannya. Spontan memicu seluruh bulu Kuro naik. “Kau bisa mengatakan itu karena kau belum pernah menyaksikannya!” Aelin bersedekap. “Benar. Tapi, setidaknya aku ingin berprasangka baik. Apa yang kau tabur itulah yang akan dituai.” “Kau pasti akan menyesalinya! Kau harus belajar untuk tidak terlalu bergantung pada Saga, dia licik!” “Aku tahu dia licik tapi setidaknya aku telah merasakan segala kepahitan dirinya selama enam tahun. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup.” Kaki kanan depan Kuro teracung. “Kau terlalu naif! Lihatlah sekarang, Penyihir Gila itu meninggalkanmu lebih lama dari biasanya. Lantas, kau berpikir itu bukan suatu pertanda buruk? Bagaimana jika dia pergi meninggalkanmu?!” Seolah tersadarkan berkat bom waktu, Aelin teringat akan ketiadaan Saga di sisi mereka sejak siang hari usai makan siang. Lelaki itu berkata pergi ke kota untuk mencari informasi tanpa mengatakan dengan jelas kapan ia akan kembali. Aelin tidak mempertanyakannya karena Saga hanya sekedar mencari informasi demi keselamatan mereka dalam perjalanan selanjutnya. Mereka telah sepakat akan pergi malam ini, Saga tidak akan mengambil risiko pergi begitu saja tanpa rencana matang. Itu semua adalah langkah yang jelas dan tepat. Akan tetapi, asumsi negatif Kuro memperkeruh keadaan. Keributan yang tadinya hanya diisi oleh huru-hara Raja Faelyn malah tiba-tiba melenceng ke tuduh-menuduh terhadap Saga. Aelin jadi mulai mengerti mengapa dari dulu Saga selalu tampak sinis kepada Kuro. Ternyata kucing mistis itu memang cukup menyebalkan. “Dia akan segera kembali. Berhentilah mengocehkan omong kosong,” tukas Aelin sebal. Ya, Aelin tidak boleh mudah goyah dalam mempercayai Saga. Sekarang hanya lelaki itu yang dapat diandalkan. Ia tidak akan merasa membutuhkan Aelin tetapi Aelin benar-benar membutuhkan dirinya. Hanya penyihir itu saja yang dia miliki di luar istana dan kekaisaran. Mereka telah berteman selama enam tahun, hidup Aelin diselamatkan oleh Saga, Saga melindunginya berkali-kali di Istana Clementine. Lantas, apa yang perlu diragukan lagi? Aelin tidak akan mudah goyah lagi.   TO BE CONTINUED   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD