“Benar juga,” ulang Karl, membuat Jesse makin merinding, “aku bertanya-tanya mengapa aku dapat bersikap biasa saja meski sedang emosional. Kau membantuku mendapatkan jawabannya, Bung. Terima kasih.”
Jesse mengernyit bingung, tidak dapat memahami maksud kawannya yang rancu. “Huh?”
Apakah Karl tiba-tiba menjadi gila? Tidak, tidak mungkin. Lelaki itu tidak pernah ekspresif tetapi bukan berarti ia mudah kehilangan kewarasannya. Jesse memang cukup penakut tetapi ketakutannya sekarang mulai cukup konyol. Dia telah berteman selama bertahun-tahun dengan Karl, setidaknya dia harus bersikap lebih logis dalam menghadapi tiap gelagat Karl. Untuk kali ini sajalah dia merasa kebingungan.
“Kau merasa kesal karena tidak bisa menjenguk Putri Arnemesia, Karl?” tanya Jesse, membuat Karl menoleh dengan ekspresi sedikit terkejut. Melihat ekspresi itu, Jesse menepuk pundak kiri Karl, bersimpati. “Tidak apa-apa, Karl. Masih ada banyak waktu bagimu untuk pergi ke Neuchwachstein. Aku akan memberitahu Ralph agar jadwalmu dapat dikosongkan.”
Karl menggeleng. “Aku tidak memikirkan itu—”
“Seharusnya kau memberitahuku, Kawan. Jadwal menumpuk di Istana dapat ditangani jika kau memberi tahu Ralph. Semua orang sedang mengkhawatirkan Putri Kekaisaran, kau tahu?”
“Yah, aku juga memikirkan itu. Tapi, aku lebih memikirkan—”
Jesse memukul pundak kiri Karl, lalu meninju d**a kirinya sendiri bak seorang pahlawan yang siap menumpas masalah. “Jangan khawatir! Aku akan membicarakannya dengan Ralph agar kau bisa segera pergi ke Narfort!”
“Tunggu dulu, Jesse—”
Mengabaikan respon Karl sama sekali, Jesse melesat meninggalkan sahabatnya itu menuju Istana Pusat guna menemui sang Putra Mahkota Deltora, Ralph. Sungguh, sampai kapan sikap serampangan Jesse melekat pada dirinya? Lelaki cerewet itu harus segera belajar bagaimana cara bersikap yang benar. Karl tidak bisa terus-terusan menambal sikap jelek Jesse, terlebih di usia mereka yang telah mulai memasuki peralihkan ke kedewasaan.
Kendati demikian, sepertinya kali ini Karl harus mensyukuri sikap serampangan Jesse yang tidak mau mendengarkannya. Karl tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi Jesse jika dia memberi tahu bahwa dirinya telah bertemu dengan si Putri Terlantar. Rumor tergelap yang telah terpendam selama bertahun-tahun itu tidak boleh dibuka lagi, bahkan oleh para bangsawan sekalipun. Terlebih lagi, orang-orang kerajaan seperti Karl, dia tidak boleh mempertaruhkan reputasi sempurnanya.
Karl menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan seraya melanjutkan langkahnya. Dia telah menyadari bahwa pembawaan dirinya berubah sangat drastis ke arah negatif hingga menakuti orang-orang sekitar. Namun, dia juga tidak tahu apa yang salah pada dirinya dan sejak kapan perubahan itu terjadi. Jika direnungkan lamat-lamat, mungkin sejak tiga hari lalu usai mendengar kabar besar dari Istana Kekaisaran mengenai Ares dan Aelin. Ya, Aelin. Akhirnya, Karl menemukan jawabannya berkat Jesse.
Alih-alih Arne, jawaban yang tepat adalah Aelin.
Perubahan diri Karl terjadi karena Aelin. Dia tidak bisa percaya bahwa gadis itu melakukan pengkhianatan terhadap keluarga kekaisaran, lebih tepatnya Ares. Dia memang tidak mengenal Aelin sama sekali, akan tetapi dia tahu dan yakin dengan pasti bahwa Aelin tidak membenci keluarganya sama sekali. Berdasarkan rumor serta fakta yang disaksikan Karl, gadis itu tidak membenci kenyataan bahwa dirinya ‘ditelantarkan’ di Istana Clementine sejak dilahirkan. Ia senang berada di istana bekas selir kekaisaran itu. Ia tidak memberontak sama sekali. Ia bahkan menyelamatkan Karl dari pelanggaran besar terkait menginjakkan kaki di Istana Clementine tanpa izin Kaisar.
Mana mungkin Aelin berkhianat?
Lebih bodoh lagi, mengapa aku harus merasa seemosional ini hanya karena meyakini gadis itu tidak mungkin berkhianat? Yang harus lebih kupikirkan adalah Arne, bukan dia, rutuk Karl jengkel. Lagi-lagi dia harus merasa bersyukur karena memilih tidak menceritakan perihal Aelin kepada siapa pun. Aku harus segera melupakan gadis itu.
Tetapi, sepertinya itu akan menjadi sebuah hal yang mustahil. Pertemuan pertama mereka terlalu berkesan untuk dilupakan begitu saja, bahkan dengan usaha keras sekalipun. Karl ingat seperti penampilan opera paling mengesankan kemarin sore, betapa rupawan sosok Aelin di bawah sinar matahari, terpaan angin musim semi, dan dihujani oleh ribuan kelopak bunga beserta dedaunan. Rambut merah panjangnya yang berkilauan, mata peraknya yang sendu, kulit putihnya yang mulus, dan lekuk tubuh jenjangnya yang terbalut gaun sederhana. Semua itu tertanam jelas di kepala Karl. Mustahil melupakannya.
Sekali lagi, Karl sadar bahwa itu semua harus dibuang jauh-jauh. Dia telah terikat dengan Arne. Itu bukan hubungan sepele yang dapat dibuang begitu saja. Masa depan Deltora dan reputasinya dipertaruhkan habis-habisan. Tidak ada pilihan apa pun hanya untuk sebuah perasaan kekanakan terhadap perempuan lain.
Gawat sekali.
Karl benar-benar harus mengendalikan dirinya.
Di persimpangan koridor, Karl menoleh ke kanan, menatap hamparan taman yang terpatri indah. Hari ini, mawar merah telah bermekaran menghiasi seisi taman. Karl ingat bahwa mawar yang sama juga tertanam di taman Istana Clementine. Merah ranumnya kembali membawa Karl kepada Aelin, menyiksanya habis-habisan.
Buru-buru, Karl membuang muka dari taman. Berusaha menghempas keberadaan Aelin dari benaknya, bahkan jika itu adalah kemustahilan. “Di mana pun kau berada sekarang, aku mendoakan keselamatan dan kebahagiaanmu, Aelinna.”
---
Sehubungan dengan ketiadaan Ares, maka Rapat Bangsawan pun diselenggarakan untuk membahas kekosongan kursi kepemimpinan. Usia Arne terlalu muda untuk mengatur kekaisaran sebesar Neuchwachstein sehingga diperlukan validasi dan kesepakatan bersama dari pihak bangsawan terlebih dahulu. Tentu saja, mereka tahu Arne adalah Putri Mahkota yang suatu saat akan menduduki tahta Kaisar, namun bukan saat inilah yang diharapkan oleh mereka.
“Atur segalanya dengan sempurna.”
“Tolong dipercepat, waktunya segera tiba.”
Puluhan pelayan berjalan kesana-kemari mempersiapkan ruang rapat di Istana Kaisar selaku lokasi diselenggarakannya Rapat Bangsawan. Rapat itu akan dihadiri oleh dua puluh lima bangsawan dari lima kerajaan penaungan kekaisaran. Bangsawan-bangsawan elit yang sepak-terjangnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dapat disebut pula sebagai tangan kanan Raja sehingga kehadiran mereka bisa disetarakan dengan Raja itu sendiri. Maka, tidak heran ruang rapat dipersiapkan sesempurna mungkin.
Tidak mengherankan untuk melihat Arne gugup pada hari ini. Dia belum melakukan debutnya namun sudah dituntut tampil di hadapan publik elit tersebut. Tekanannya sangat mengerikan. Dia menyadari bahwa reputasinya sangat sempurna tetapi dia tidak bisa serta-merta langsung percaya diri. Rapat Bangsawan bukan perkara sepele yang mudah ditangani. Rapat itu diselenggarakan hanya saat kondisi darurat seperti saat ini. Apa pun hasil rapat akan menjadi roda pemutar kekaisaran ke depannya. Arne tidak bisa meremehkannya.
“Ada apa, Arne?” tanya Sighard sesaat setelah pintu kamar Arne terbuka, menampilkan cucu kesayangannya telah siap dalam penampilan formal tetapi diiringi raut murung. “Ada masalah?”
Arne mendongak, menatap sang kakek. “Aku… takut.”
“Apa yang kau takutkan?”
Arne menunduk lagi. “Aku takut mengacaukan segalanya. Aku… belum debut tetapi tiba-tiba harus menghadiri Rapat Bangsawan….”
Sighard menyentuh puncak kepala Arne, mengusapnya lembut. Dari gurat usapannya, dapat dilihat betapa pria itu menyayangi Arne. Dia tidak perlu berkata-kata untuk memberikan validasi atas kasih sayangnya terhadap Arne. Cukup dengan bahasa tubuh sesederhana usap kepala, Arne beserta semua orang akan mengerti.
“Ada aku bersamamu, Cucuku,” tukas Sighard tegas tanpa menanggalkan kesan lembutnya, “segalanya akan baik-baik saja. Percaya pada Kakek.”
Arne menerima uluran tangan kanan Sighard usai tangan itu merasa sudah cukup mengusap kepalanya. Kemudian, mereka melangkah menuju ruang rapat yang berjarak tidak begitu jauh dari kamar tamu yang digunakan sementara oleh Arne. Beberapa kesatria mengawal langkah mereka, menunjukkan merekalah orang terpenting di Istana Kekaisaran. Seiring langkah tercipta, degup jantung Arne berpacu tidak beraturan oleh kegugupan tak tertahankan. Dia mempercayai Sighard namun perasaan tidak bisa dibohongi. Dia sangat gugup.
Arne sadar bahwa ini akan menjadi langkah besar pertamanya sebagai Putri Mahkota Kekaisaran. Lagi pula, cepat atau lambat momen semacam ini pasti terjadi. Lebih buruknya lagi, itu akan dilalui sendirian oleh Arne tanpa dampingan Ares dan Sighard. Kebetulan saja, hal ini terjadi terlalu cepat sehingga masih bisa ditemani oleh Sighard. Arne harus bersyukur meski itu terasa cukup tidak cocok untuk dilakukan.
“Arne, kau sudah menghapal nama-nama para bangsawan hari ini?” tanya Sighard, memecah keheningan.
Arne mengangguk kecil. “Sudah, Kakek.”
“Bagus. Tidak banyak yang perlu kau waspadai. Mereka adalah bangsawan elit, pemikiran mereka bijaksana dan terdidik sehingga tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” Sighard mendengus pelan, sangat pelan, “mungkin, kau hanya perlu waspada terhadap Grand Duke Lancaster.”
Arne sedikit melirik, cukup terkejut. “Tangan kanan Ratu Rasha? Ada apa dengannya?”
“Setidaknya, kau pasti telah mendengar beberapa hal tentang Ratu dan Grand Duke-nya yang tidak sedap didengar, bukan?”
Mata Arne kembali fokus ke depan. “Kurang lebih. Kerajaan Landover sempat bersitegang dengan Kekaisaran akibat Ratu-nya coba-coba menyembunyikan temuan biji mineral langka demi keuntungan pribadi. Grand Duke selaku anjingnya pun selalu memoles reputasi Ratu agar tetap sempurna.”
“Dan, tidak hanya itu saja, bukan? Jadi, setidaknya dapat disimpulkan Landover tidak begitu setia kepada Kekaisaran. Jika ada sesuatu yang mungkin terjadi di tengah rapat, aku yakin itu disebabkan oleh si Anjing Lancaster yang lebih mematuhi Ratu-nya daripada Kekaisaran.”
Arne mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan berhati-hati.”
“Kau tidak perlu berhati-hati, Arne,” Sighard mengeratkan rengkuhannya pada tangan cucunya. “Yang perlu berhati-hati adalah mereka. Kaulah penguasanya, jangan merendahkan diri.”
Untuk kali ini saja Sighard memaklumi Arne. Selanjutnya, dia akan memastikan tidak ada yang dapat meremehkan Arne akibat sikap lemah lembutnya. Gadis itu akan tumbuh menjadi calon pemimpin yang lebih berwibawa daripada Ares. Lebih tegas, lebih cerdik, dan lebih bermartabat. Akan dia pastikan namanya dikenal sebagai pencetak pemimpin paling sempurna di sejarah Neuchwachstein.
Kesempatan emas telah diberikan, Sighard tidak akan menyia-nyiakannya.
TO BE CONTINUED