Kabar buruk mengenai Kaisar masih menjadi topik hangat di kalangan publik. Tidak ada satu pun yang merasa tidak tenang mendengar sang Kaisar yang dikenal sebagai Pemimpin Terkuat di Sepanjang Sejarah Neuchwachstein tiba-tiba jatuh sakit begitu parah. Mereka tidak menyangka secepat inilah Ares jatuh sakit hingga di tingkat mengancam kedudukan tahta. Kondisi Putri Mahkota menjadi hal selanjutnya yang mereka pikirkan. Khawatir dengan menduga-duga bagaimana kondisi Arne yang masih begitu muda dipaksa menghadapi sang ayah yang jatuh sakit parah.
Lalu, hal ketiga yang dibicarakan selanjutnya adalah sosok sang Putri Terlantar yang berani-beraninya mengkhianati kekaisaran dan kini menjadi buronan. Orang-orang yang tidak pernah mendengar rumor mengenai Aelin pun jadi mengetahui eksistensinya dalam bingkai penuh cela. Lantas, orang-orang yang pernah mendengar rumor Aelin menginformasikan hal-hal dasar mengenai gadis itu kepada yang tidak tahu. Akhirnya, buah bibir mengenai Aelin jadi semakin berkembang hingga mulai meleset dari fakta sesungguhnya. Tidak ada orang yang berusaha mencari tahu kebenaran mau pun meluruskannya.
Bagi Neuchwachstein sekarang, Aelinna Eunice von Sinclair adalah sebuah aib yang tidak patut dibicarakan secara terbuka lagi. Menyebut namanya telah menjadi suatu tindakan yang menjijikkan, anak-anak kecil menggunakan namanya sebagai tokoh jahat, dan orang-orang berperangai buruk dianggap sama seperti Aelin. Benar-benar miris. Padahal nama Aelin memiliki arti yang mulia, tetapi justru menjadi penuh cela.
Di Istana Kekaisaran, nama Aelin telah dianggap tabu untuk dibicarakan. Para pekerja fokus melayani Arne sebagai satu-satunya yang tersisa. Mereka berusaha keras mempertahankan kondisi Ares dan mencegah Arne dari kelelahan mental. Apa pun diupayakan demi mempertahankan nyawa Ares tetap berada di raga.
Dengan alasan yang sama, Sighard Morrison datang mengunjungi Istana Kekaisaran untuk menemui Ares dan Arne. Sebagai kerabat terdekat, dia akan selalu sigap menemani cucu kesayangannya di segala situasi, termasuk kondisi buruk seperti ini. Tindakannya diapresiasi oleh seluruh pekerja istana. Belum ada satu pun yang menemani Arne usai Ares jatuh sakit dan Aelin melarikan diri sehingga kehadiran Sighard sangatlah diharapkan sekarang. Beruntunglah, Arne mau bertemu dengannya.
Sepasang kakek dan cucu tersebut menempati salah satu ruang tamu di Istana Hampstead ditemani secangkir teh dan beberapa kudapan manis. Beberapa menit pertama, tidak ada yang membuka suara. Masing-masing menyesap teh dengan tenang. Detik demi detik berlalu terisi oleh keheningan mereka yang diliputi pula oleh atmosfer tak menyenangkan. Mungkin karena suasana Istana Kekaisaran masih keruh akibat kondisi Ares, tidak ada yang tahu pasti.
“Aku senang kau mampu melaluinya sendirian sampai sejauh ini, Arne,” ujar Sighard membuka topik usai menyesap teh setengah cangkir. “Kau telah berusaha dengan baik.”
Arne meletakkan cangkir tanpa mendongak kepada Sighard. Wajahnya menjadi kian suram akibat teringat rentetan peristiwa yang terjadi mengenai Ares dan Aelin. Karena sibuk menangani Ares, dia jadi lupa untuk bersedih. Waktu seolah tidak membiarkannya berlarut dalam kesedihan. Dan Arne mensyukurinya. Ada banyak orang yang harus dia temui selama menangani Ares. Jika mereka melihat wajahnya bersedih, penanganan Ares tidak akan bisa maksimal akibat guncangan emosional karena simpati. Setidaknya, Arne bangga karena mampu mengendalikan emosinya sedemikian rupa.
Kini, sang kakek berada di hadapannya. Hanya mereka berdua di ruang tamu. Tidak ada yang akan menghakiminya karena meluapkan kesedihan yang selama ini dipendam. Jadi, Arne melakukannya, membiarkan luapan perasaan itu keluar dari dirinya.
“Aku benar-benar takut…,” ujar Arne seraya isakannya mulai tercipta. Kepalanya kian menunduk seiring air mata menggenang di pelupuk matanya. “Aku tidak menyangka akan dikhianati oleh kakakku sendiri. Aku percaya padanya, aku percaya…!”
Sighard menyandarkan punggung ke kursi, kaki kanannya disandarkan di kaki kiri, dan kedua tangannya saling bertaut di atas lutut kanannya. Sorot mata tuanya terpancar serius. “Wajah aslinya terlihat. Memang kita tidak bisa mempercayai orang-orang rendahan seperti dirinya.” tukasnya.
“Padahal dia telah mendapatkan perhatian Ayah. Ayah sampai mengganti seluruh pelayan, memenggal seseorang, dan memberikannya izin bermain ke Narfort sebagai hadiah ulang tahun. Tapi, mengapa dia berkhianat hingga mencelakai Ayah?!”
Sighard menghela napas berat. “Aku telah memberi peringatan padamu tentangnya, Arne. Tapi, kau tidak pernah ingin mendengarkan. Setidaknya, kau telah menuai pelajaran penting bahwa tidak mendengarkan nasihatku dapat berakibat fatal.”
Kini, Arne mendongak. Air mata sontak jatuh membasahi pipinya. “Aku ingin percaya karena dia berbagi setengah darah yang sama denganku, Kakek. Aku percaya dia adalah orang baik. Tapi, tapi….!”
“Arne,” panggil Sighard, membuat Arne menatapnya, “orang-orang rendahan seperti anak itu memang selalu bersikap tidak tahu diri. Sesuai katamu dan kau melihatnya sendiri, bukan? Dia mengkhianati kalian semudah membalikkan telapak tangan.”
Bibir Arne menipis akibat digigit bagian bawahnya. Rautnya seolah-olah ingin menyangkal argumen Sighard namun tak bisa karena itulah kebenarannya. Ketidaksukaan Sighard kepada Aelin menjadi terbukti bukan sekedar rasa tidak suka biasa. Selama ini, Arne berpikir sang kakek tidak menyukai Aelin tanpa alasan yang jelas. Walau ia telah mengatakan Aelin memberi pengaruh buruk, Arne pikir itu hanya tuduhan belaka. Kini, dia memahami segalanya.
“Dunia tidak seindah bayanganmu, Arne,” lanjut Sighard, “ada banyak sekali orang yang mengincar posisimu. Kau membuat mereka iri hingga ingin menguasai apa yang kau miliki. Jangan pernah percayai siapa pun kecuali Kaisar dan aku.”
Arne menunduk, menyesali kesalahannya. “Itulah yang kulakukan kepada Aelinna. Kuanggap dia sebagai keluarga, aku mempercayainya.”
Sighard menyeringai kecil, merasa tergelitik melihat kenaifan cucunya. “Bahkan saudara sedarah dari orang tua yang sama dapat berselisih hanya demi ambisi dan harga diri. Lantas, apa yang menjamin saudara setengah-setengah seperti anak itu tidak akan melakukan hal yang sama, hmm?”
Arne hanya manggut-manggut. Mengindikasikan bahwa dia mengerti dan mendengarkan sebaik mungkin. Tak ingin bertingkah sok tahu lagi dengan mengabaikan teguran serta nasihat dari sang kakek. Batin dan pikirannya menyorakkan penyemangat untuknya. Mendorongnya agar tidak terpuruk di saat seperti ini sebab masih ada kekaisaran yang harus diurus selama Ares absen. Arne tidak boleh lemah lagi.
“Lalu, mari kita kesampingkan pembicaraan mengenak anak selir itu. Ada sesuatu yang lebih penting untuk dibicarakan,” tukas Sighard, memicu Arne kembali menatapnya. “Mengenai kekosongan pemimpin kekaisaran.”
Akibat terlalu mengkhawatirkan Ares, Arne tidak memikirkan nasib kelanjutan pemerintahan yang tiba-tiba kehilangan pemimpin mereka. Dia terlalu sibuk mengawasi dan mengikuti perkembangan Ares yang terasa lebih lambat dari siput. Jika Sighard menyinggung hal itu, tidak salah lagi faksi mereka sedang mengincar tahta. Atau setidaknya, kursi pendukung calon Kaisar berikutnya demi mempertahankan akar sosiliasi keluarga.
“Ya, aku terlalu sibuk mengurus Ayah hingga melupakannya sejenak,” ungkap Arne sesak.
Seringai Sighard melebar tanpa Arne sadari. “Tidak apa-apa, Cucuku. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian menangani semuanya.”
TO BE CONTINUED