BAB 49

1931 Words
Hutan Leadale tidak ramah disinggahi manusia walau hutan itu sering dilalui sebagai jalur transportasi antar negara. Begitu tidak ramahnya untuk sampai membentuk satuan unit penjaga hutan yang bertugas mengamankan orang-orang yang ingin melintasi hutan tersebut. Jalur darat yang dibuat melintasi belahan hutan dibangun sedemikian rupa dengan keamanan tinggi guna menghalau serangan hewan liar. Biasanya, lajur hutan ditutup saat malam tiba demi menghindari risiko yang tak diinginkan. Sehingga Saga berniat melanjutkan perjalanan di malam hari untuk menghindari pantauan. Akan tetapi, itu tidak akan dilakukan pada malam ini karena Aelin belum memutuskan tujuan pelariannya. Walau Saga telah menyarankan untuk pergi ke zona The Eternity Forest, butuh pertimbangan matang bagi Aelin untuk memikirkannya. Saga pun tidak mempermasalahkannya. Keputusan Aelin adalah pedoman selama pelarian mereka dari kekaisaran. Ini adalah malam ketiga mereka di Hutan Leadale. Setelah makan malam, mereka memutuskan tidur di dalam gua yang berposisi dekat dengan air terjun. Diameternya tidak begitu panjang tetapi setidaknya cukup menghalau angin malam di luar. Ada sekian jarak dari mulut gua yang membuat angin tidak sering mencolek tubuh. Saga bertugas menjaga api unggun tetap menyala sampai setidaknya sepertiga malam akhir sekaligus waspada jika sewaktu-waktu kesatria kekaisaran tiba di sekitar. Sementara itu, Aelin tidur bersama Kuro. Putri Kekaisaran itu cukup tidak terduga. Ia berbaring di tanah beralaskan tumpukan daun berlapiskan sehelai kain biasa tanpa mengeluh. Saga berekspektasi ia akan cerewet atau sedikit merengek karena ketimpangan situasi dalam satu hari. Lagi pula, wajar bagi seseorang yang telah lama hidup dalam kemewahan istana merasa terpuruk karena tiba-tiba segala kemewahan itu sirna. Namun, Aelin tidak melakukannya. “Aku harus menghubungi Erasmus,” gumam Saga seraya bangkit berdiri dari sepotong kayu yang dijadikan kursi di dekat api unggun. Dia menoleh sekilas ke Aelin dan Kuro yang tertidur pulas sebelum kemudian melangkah ke mulut gua. Saga duduk di ambang mulut gua. Mata emasnya menyorot tajam ke sekitar, menembus kegelapan hutan yang pekat. Mengamati suasana hutan yang begitu sunyi tanpa menurunkan kewaspadaannya. Kesatria kekaisaran tidak akan berhenti melakukan pengejaran, jadi mereka pasti akan mencoba menyusuri hutan di malam hari meski itu berbahaya. Nah, Saga tidak perlu repot-repot memikirkan keselamatan mereka. Prioritas utamanya sekarang adalah menjaga Aelin. “Slugentus,” ujar Saga merapalkan mantra yang akan menghubungkannya dengan Erasmus seperti teknologi video call. Tak perlu menunggu waktu lama, Erasmus merespon, wajahnya terpampang di binar cahaya berbentuk persegi. “Erasmus.” “Lord Saga, senang mengetahui kondisi Anda baik-baik saja,” sahut Erasmus, “saya harap Putri Aelinna juga demikian.” Saga menghela napas sekilas. “Dia baik-baik saja. Kami bermalam di Hutan Leadale.” Erasmus spontan berekspresi murung. “Saya berasumsi, sisa-sisa kekuatan Anda hanya mampu membawa kalian ke sana. Cukup mengkhawatirkan.” “Begitulah. Aku tidak ingin membicarakannya. Yang perlu kutahu sekarang adalah informasi.” Erasmus berdehem sejenak. “Kaisar jatuh sakit. Beliau belum tersadar sejak tiga hari lalu. Kondisinya sangat parah karena aliran sihirnya yang kacau memberikan dampak yang besar pada tubuhnya. Dokter dan penyihir berupaya mempertahankan nyawanya sekarang. Lalu, kalian menjadi buronan tingkat tinggi di kekaisaran.” Saga melengos. “Bagaimana dengan si Putri Mahkota?” “Putri Arnemesia masih syok menghadapi kritisnya Kaisar. Dia tidak menunjukkan kesedihannya demi tidak memperkeruh situasi Istana. Saya rasa, cepat atau lambat rapat akan diadakan untuk membahas tahta yang kosong. Dan, berujung pada Putri Arnemesia sebagai pengganti sementara didampingi oleh Duke Morrison.” Alur yang sangat jelas. Siapa lagi yang akan memimpin Neuchwachstein selain Arne? Toh, ia adalah Putri Mahkota. Maka, alur semacam ini sudah tertebak dengan jelas. “Kau tahu, bukan?” mata Saga menyipit tajam dalam bingkai raut tenangnya. “Pelakunya bukan Aelin.” Erasmus mengangguk tanpa ragu. “Setelah saya mengamati kondisi tubuh Kaisar, kerusakan aliran sihirnya dipicu oleh sihir hitam kuno yang tertanam di Istana Hampstead. Dan lagi, itu lima kali lipat lebih kuat dibandingkan tanaman sihir itu sendiri seolah-olah sumbernya bukan berasal dari tanaman tersebut.” Saga menyerngit, cukup tersentak pula. “Ada sumber sihir lainnya selain Istana Hampstead?” “Ya, namun itu masih dugaan sementara.” Untuk saat ini, Saga tidak ingin berpikir. Dia masih lelah akibat kondisi kekuatannya melemah drastis. Urusan masalah di Istana Kekaisaran lebih baik diserahkan kepada Erasmus untuk sementara waktu. Cukup disayangkan dia tidak mampu menuntaskan permasalahan Istana Hampstead tetapi setidaknya dia telah berkorban cukup banyak. Sisa-sisa tanaman dapat dihancurkan oleh Erasmus sehingga penyebaran sihir hitam dapat berhenti tanpa perlu campur tangan Saga lagi. Bisa jadi dengan tersingkirnya sihir hitam tersebut, kekuatan Saga akan meningkat dalam kurun cepat. Dia hanya perlu duduk manis menantikan itu tiba seperti anjing peliharaan. “Semoga perjalanan kalian berhasil. Saya selalu mendoakan keberhasilan kalian.” Lalu, sambungan percakapan itu pun berakhir. Menyisakan Saga di kesunyian malam yang mengerikan. Beberapa suara hewan mengalun tetapi Saga tidak bergidik takut. Dia menoleh sejenak kepada Aelin, memastikan bahwa gadis itu masih terlelap. Lalu, kembali pada posisinya. Saga mengharapkan keberhasilan Erasmus dan dirinya. “Saga….” Saga sedikit tersentak mendengar suara pelan Aelin. Dia menoleh ke belakang, menemukan gadis itu sedang mengusap mata kanannya lalu bangkit duduk. Ini adalah pertama kalinya Aelin bangun pada tengah malam buta. Mungkin dampak dari perpindahan suasana dan tempat telah mengusik tubuhnya yang tidak terbiasa tidur di luar. “Ada apa?” tanya Saga, bangkit berdiri, melangkah mendekati Aelin yang sigap menoleh padanya. “Tidak ada, aku hanya… merasa sedikit tidak nyaman,” jawab Aelin seadanya. “Kau tidak tidur?” Saga duduk di sisi kanan Aelin. Secara alami, dia melepaskan jubah merah yang tersampir di kedua pundaknya, memberikannya kepada Aelin dengan menyelimutkannya ke pundak gadis itu. Aelin tidak berkomentar tetapi wajahnya sedikit memerah. Tidak menduga Saga akan spontan memberikan jubahnya tanpa diminta. Menjaga harga diri, Aelin membuang muka ke kiri. Sementara, Saga tampak tidak merasakan apa pun. “Hutan buas seperti Leadale tidak akan menghentikan kesatria untuk mengejar kita,” tukas Saga, tangannya menggenggam ranting yang digunakan merogoh kayu api unggun, menjaga api itu tetap menyala. “Sebaiknya, kau segera memutuskan pilihanmu.” Aelin menoleh ke depan. Dia menekuk kedua kakinya ke atas, memeluknya, dan menyandarkan dagunya di lutut tersebut. Mata peraknya terpancang pada si jago merah yang berkobar di hadapannya, memberikan kehangatan semu sepanjang malam. Benaknya menyadari tidak selamanya dia singgah di Hutan Leadale, mereka harus segera pergi ke tempat selanjutnya sebelum kesatria berjarak hanya satu kaki dari mereka. Akan tetapi, pilihan terasa begitu sulit. Saga menyarankan pergi ke wilayah The Eternity Forest. Apabila informasi Kuro mengenai Saga bukan bualan, mungkin mereka dapat singgah di Kerajaan Elf Hutan—Kerajaan Tempest—berhubung Saga memiliki koneksi dengan pemimpinnya, Raja Faelyn Dorsatra. Saga juga bilang pelarian diri mereka sepenuhnya bergantung pada keputusan Aelin, ia tidak akan menolak selama keputusan yang diambil tidak penuh risiko. Dan, itulah yang Aelin takutkan, ia takut memilih keputusan yang salah. Semua itu karena dia tidak memiliki pengalaman sama sekali dengan dunia luar Istana Kekaisaran. Bagaimana jika Raja Faelyn tiba-tiba berkhianat dengan menjebak mereka lalu melaporkannya kepada kekaisaran? Koneksi apa pun yang dimiliki oleh Raja dan Saga tidak menjamin beliau dapat dipercaya seratus persen. Berkaca pada Arne, Aelin telah merasa skeptis dengan segala hal berunsur kepercayaan. Dia tidak butuh pengkhianatan lainnya. “Kuro memberitahuku bahwa kau memiliki koneksi dengan Raja Elf Hutan,” cetus Aelin, memilih untuk mempertimbangkannya dahulu dengan Saga secara langsung. Ini baru pertama kalinya mereka membicarakan rencana selanjutnya. Saga mengangguk kecil. “Si Tua Bangka Fae? Yah, begitulah.” Aelin melirik jengkel bercampur heran. “Mengapa kau memanggilnya seperti itu? Tidak sopan.” “Dia memanggilku Bocah meski tahu umurku jauh lebih tua. Adil-adil saja.” Aelin melengos, matanya kembali ke api unggun. “Aku berpikir, sebenarnya bukan ide yang buruk untuk pergi ke wilayah The Eternity Forest. Tetapi, kita harus benar-benar tahu mana pihak yang dapat dipercaya dan tidak. Maaf-maaf saja, aku tidak dapat terlalu mempercayai koneksi antara dirimu dan Raja Faelyn.” “Tidak masalah. Kau telah dikhianati oleh adikmu sendiri, memiliki masalah kepercayaan bukan hasil yang aneh.” “Apa yang kau bicarakan? Kau meledekku?” Saga menyeringai. “Aku mengatakan fakta. Toh, aku juga sudah bilang padamu sekarang segalanya bergantung pada keputusanmu. Kuberikan saran, kau yang memutuskan.” Aelin melirik Saga yang kini berhenti merogoh kayu bakar. Lelaki itu bertumpu pada kedua tangannya yang ditegakkan di belakang tubuhnya. “Aku… takut salah ambil keputusan.” “Kenapa?” “Kau tahu selama ini aku tidak pernah hidup di luar Istana. Aku hanya tahu teori dan dinamikanya. Menghadapinya secara langsung adalah hal yang jauh berbeda.” Saga mendengus pelan. Kepalanya sedikit mendongak, membuat mata emasnya bersitatap dengan langit-langit gua yang berembun. “Lalu, apa masalahnya? Ada aku.” Aelin spontan menoleh, matanya sedikit membulat pada Saga. “Kau tidak akan menghadapinya sendirian, Putri Bodoh,” imbuh Saga, “jika ada masalah, aku akan menyelesaikannya. Jika keputusanmu salah, tidak ada yang akan menyalahkanmu. Dunia luar tidak semenakutkan itu, hanya melelahkan.” Aelin telah memiliki masalah kepercayaan akibat ulah Arne meski dia tidak pernah mempercayai Arne dari awal. Namun, itu karena Arne diatur bersikap pasif sehingga Aelin percaya apa pun yang terjadi gadis itu tidak akan bertindak sama sekali. Lalu, perubahan besar-besaran yang terjadi dalam alur novel sungguh tidak terduga. Setelah perubahan sikap Ares, ditambah pula oleh sikap Arne yang tiba-tiba menjadi pengkhianat. Firasat Aelin terbukti benar dan dia tetap terluka akibatnya. Menatap Saga, si Penyihir Aneh yang dianggap sebagai penipu oleh Aelin, Aelin mulai merasakan ketakutan terbesarnya. Dia tidak pernah berpikir Saga akan mengkhianatinya. Lelaki itu menyelamatkannya enam tahun lalu, dia melakukan segala upaya untuk menjaga tubuhnya dari dampak enam tahun lalu, dia membuatnya senang karena hari-harinya tidak sepi lagi, lantas turut berkhianat? Aelin sangat tidak ingin itu terjadi. “Apa yang kau lihat?” Aelin mengerjap, tak sadar telah jatuh dalam lamunan dengan posisi wajah mengarah pada Saga. Kini, lelaki itu turut menatapnya sehingga jarak wajah mereka cukup dekat. Jantung Aelin hampir meledak menyadarinya. Lebih aneh lagi, mengapa jantungnya harus bereaksi semacam itu? Aelin sedikit memundurkan kepala, maniknya tidak fokus pada Saga lagi. Terkesan tidak tenang. “Hei, Saga. Kita sudah berteman selama enam tahun, bukan?” “Hmm.” “Lalu, terlintas di benakku,” jeda, Aelin memalingkan wajah ke api unggun, “masih ada banyak rahasia di antara kita.” Mata Saga memicing, sedikit bingung. “Huh?” Aelin kembali menyandarkan dagunya di lutut, menenggelamkan setengah wajahnya di sana. “Seperti yang kubilang, kita sudah berteman selama itu tetapi ada banyak hal yang belum kuketahui tentangmu. Umurmu, misalnya.” Saga mendengus lalu menoleh ke api unggun. “Apa menariknya mengetahui umurku? Lagi pula kita sudah menua bersama sejak enam tahun lalu.” “Itu hanya contoh, Bodoh,” decak Aelin. “Intinya, hal-hal penting tentangmu dan tentangku masih menjadi rahasia di antara kita. Kepercayaan kita pada satu sama lain belum sebesar itu.” Saga mendengus geli, sejenak membuat Aelin terpana karena baru pertama kali melihat lelaki itu tertawa tanpa mengandung keusilan. “Aku tahu, Bodoh.” Tanpa aba-aba, tangan kiri Saga menyentuh puncak kepala Aelin, mengusapnya lembut, kehangatan yang asing namun menenangkan mengalir dari sana. Aelin, terlalu terkejut untuk bereaksi, terdiam kaku dengan mata tertunduk pada d**a Saga, tak ingin bersitatap dengannya. “Begini-begini, aku lelaki yang bertanggungjawab. Aku tak akan meninggalkanmu, apalagi mengkhianatimu,” tegas Saga, sangat tumben sekali nadanya lembut nan rendah. Bibir Aelin menipis, hampir dia gigit sendiri. “Aku… tidak tahu. Aku—” “Well, daripada janji kau lebih butuh bukti, bukan?” Saga menarik tangannya dari kepala Aelin, kemudian mencubit pipi kanan gadis itu, membuat si empunya mendelik kesal sekaligus kaget. “Bagaimana? Sudah membuat keputusan?” Aelin mencebik seraya menyentuh punggung tangan kiri Saga. “Kerajaan Tempest, ayo kita pergi.” Saga tersenyum lebar, akhirnya raut khasnya muncul juga. “Siap, Tuan Putri.” TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD