BAB 19

1098 Words
Tinggal menghitung hari, ulang tahun kesembilan Aelin akan tiba dalam tiga hari. Di setiap tahunnya, tanggal itu mengakibatkan semua orang terpecah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang bersukacita menyambut peringatan hari kelahiran Aelin. Kedua, kubu yang tidak begitu lega menyambutnya karena tanggal tersebut juga merupakan tanggal di mana tragedi besar-besaran terjadi di masa lampau. Di Istana Clementine, tidak ada lagi kubu yang saling memecah seperti itu, mereka sepakat tidak akan mengingat-ingat sisi buruk di hari kelahiran Aelin. Aelin pun tidak meminta. Secara garis besar, dia tidak begitu mempedulikan hari ulang tahunnya. Lagi pula, dia bukanlah Aelinna yang selalu bersemangat menantikan hari itu tiba. Demi menjaga citra, Aelin melakukannya. Sebuah hal yang janggal sekaligus sedih bila melihat seorang anak kecil tidak bersukacita menyambut hari ulang tahunnya sendiri, bukan? Aelin hanya tidak ingin membuat Sierra sedih dengan melakukan kebalikan dari apa yang biasa Aelinna lakukan. “Apa yang Putri inginkan?” Hari itu adalah hari yang cerah di bulan September, menghitung hari pula sebelum musim dingin datang. Angin telah berhembus dingin disertai awan gelap tanpa hujan. Mau tidak mau, Aelin tidak bisa pergi bermain di luar lagi demi menghindari suhu rendah. Dan entah didasarkan apa, Saga sangat sibuk hingga hampir tidak memiliki waktu untuk menemaninya. Alhasil, Aelin hanya bersama Sierra di kamar selama beberapa hari terakhir. Bukan berarti Aelin mengeluh karena merindukan Saga, dia hanya merasa bosan. “Tidak tahu. Sampai sekarang aku tidak tahu kado apa yang kuinginkan, aku sudah memiliki banyak,” jawab Aelin kemudian usai menyesap teh. Manik peraknya terpancang bosan ke langit gelap di luar jendela. “Mungkin bersama Sierra dan yang lain sudah cukup.” Sierra tersenyum, menggeleng kecil. “Tidak, coba pikirkan sesuatu, Putri. Hal semacam itu sudah pasti akan kami penuhi di sepanjang waktu. Bukan hanya pada saat Putri berulang tahun saja. Pasti ada yang Putri inginkan.” “Tapi, apa?” Jujur saja, Aelin tidak tahu karena dia tidak tahu apa saja yang bisa didapatkan di dunia ini. Dia tahu dunia ini berdimensi fantasi, namun bukan berarti dia bisa sembarangan meminta makhluk mitologi menggemaskan seperti Unicorn, bukan? Alhasil, dia berakhir tidak tahu harus menginginkan apa sebagai kado ulang tahunnya. Rasa-rasanya dapat bersama Sierra secara aman dari ancaman Ares saja sudah cukup baginya. Tetapi, tentu saja, Sierra tidak akan menerima jawaban itu. Wanita itu ingin Aelin meminta sesuatu sebagai kado. “Kukis Sie—” “Bukan makanan, Putri, barang.” Aelin tidak pernah tahu memikirkan kado terasa membingungkan seperti ini. “Lalu, apa? Aku benar-benar tidak tahu,” keluh Aelin dengan bibir mengerucut. “Kalaupun ada, pasti tidak bisa dikabulkan.” Senyuman Sierra mulai berubah canggung. “Apa itu, Putri?” “Berjalan-jalan di kota.” Diamnya Sierra membuat Aelin mengerti bahwa itu adalah hal yang mustahil. Wanita itu tetap tersenyum, namun penolakan terpampang jelas di ekspresi wajahnya. Suasana menjadi kaku karena Sierra tidak bisa menerima permintaan Aelin dan Aelin mendengus padanya. Sierra menghela napas pendek. “Putri sangat ingin pergi ke kota?” Aelin mengangguk. “Aku ingin tahu.” Sorot mata Sierra mengamati Aelin untuk beberapa saat tanpa berbicara lagi. Tampak memikirkan permintaan Aelin matang-matang hingga membuat Aelin merasa sedikit bersalah karena menyulitkan Sierra. Dia juga tahu betapa sulitnya keinginan itu terwujud karena harus menghadapi Ares terlebih dahulu. Di Istana Kekaisaran, tidak ada yang ingin berurusan dengan Ares, jadi Aelin ingin melupakan keinginannya jauh-jauh agar tidak membebani siapa pun. Terkecuali Saga yang sepertinya dapat dengan mudah membawa Aelin ke mana pun dengan sihirnya seperti tempo lalu kala ia tiba-tiba memindahkan Aelin ke taman rumah kaca Istana Hampstead. Sepertinya Aelin harus memikirkan rencana lain untuk merayu Saga. “Baiklah, akan saya usahakan.” “Huh?” Sierra tersenyum. “Terkadang saya juga terpikirkan untuk mengajak Putri berjalan-jalan di kota. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dan menarik untuk dikunjungi.” Dalam sekejap, Aelin berbinar-binar. “Benarkah? Sierra sungguh akan mengajakku pergi ke kota?” Sierra mengangguk, senyumannya kian lebar oleh ketulusan dan kasih sayang. “Semoga Yang Mulia mengizinkan.” “Sierra tidak perlu melakukannya jika Ayah menolak,” Aelin mengerjap khawatir, “berjanji padaku Sierra tidak akan memaksa begitu keras.” “Tentu, tidak perlu khawatir.” Mungkin Sierra berpikir menghadapi Ares bukanlah sesuatu yang sangat mengerikan sebab dia sudah pernah melaluinya delapan tahun lalu. Ia dengan berani menghalangi jalan Ares untuk bersujud memohon pengampunan atas nyawa Aelin serta perizinan agar diperbolehkan merawat Aelin. Keberanian semacam itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali Sierra dan Viola, mungkin. Terlebih itu semua diakui sendiri oleh Ares, hanya keduanya yang berani sekali menghadapinya. Sierra selalu berkata sulit untuk mengabulkan keinginan Aelin pergi ke kota pun mungkin dilandaskan pada rasa takut Ares akan berpikir Aelin menyusahkan. Sudah bagus pria itu membiarkan Aelin hidup dan tinggal, kini mulai melunjak meminta banyak hal. Jadi, alih-alih takut pada Ares, Sierra takut pada kemungkinan keselamatan yang telah terjaga bertahun-tahun berakhir begitu saja karena masalah sepele. Dan sebenarnya pun itu bukan sebuah masalah melainkan keinginan biasa. Namun tentu saja, Ares tidak akan menganggapnya sebagai keinginan, tapi masalah. Bahkan Aelin masih ingat bagaimana nada suara Ares berucap tentang Sierra pada pertemuan terakhir mereka yang menakutkan. Aelin tidak ingin mengingatnya lagi. “Sierra tidak takut pada Ayah?” “Ya?” Sierra tampak terkejut mendengar pertanyaan Aelin, sepertinya tidak menyangka pertanyaan semacam itu akan keluar dari sang Putri yang terkesan tidak pernah mempedulikan ayahnya lagi sejak jatuh demam sebelum koma akibat kerusakan aliran mana. Untuk sesaat, Sierra tampak terharu karena akhirnya Aelin menunjukkan gelagat khasnya, gadis itu tidak berubah sama sekali. Andai saja dia tahu bahwa Aelinna Eunice von Sinclair yang dia kenal telah lama menghilang, Aelin tak ingin membayangkannya. “Tentu saja saya takut. Beliau adalah Kaisar, derajatnya sangat tinggi dan mutlak,” jawab Sierra akhirnya, usai melalui keterkejutan. “Tetapi, saya tidak boleh lupa bahwa beliau adalah ayah Putri. Meski beliau keras dan tidak begitu peduli, beliau telah mengizinkan Putri hidup dan tinggal di Istana Clementine. Bagi saya, itu adalah kepedulian terbesar dari beliau. Jadi, saya percaya beliau bukanlah orang yang semenakutkan itu.” Harus Aelin akui itu cukup benar. Diam-diam, Ares tampak peduli padanya. Di pertemuan terakhir mereka, pria itu akhirnya membiarkan Aelin pergi tanpa menunjukkan penolakan atas sikap sok imut juga panggilan kekanakan dari Aelin. Jika bukan karena kepedulian, lantas apa? Menunda sementara sebelum tiba waktu yang tepat untuk membunuhnya? Sepertinya Aelin perlu berhenti menduga-duga berlebihan dan membiarkan itu semua berlalu seraya berharap semoga dia tidak perlu terlibat lagi dengan Ares. Anggap saja saat itu Dewi Fortuna sedang memihaknya, kesempatan semacam itu tidak datang dua kali. Dia harus lebih berhati-hati lagi. Semoga hari ulang tahunnya tidak berjalan seperti apa yang dia pikirkan.          TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD