BAB 21

1042 Words
Sembilan tahun akan berlalu semenjak tragedi berdarah yang tak ingin diingat oleh semua orang, termasuk Ares. Sembilan tahun yang panjang namun tidak terasa sama sekali. Entah karena ketidakpeduliannya atau waktu memang berjalan secepat itu, Ares tak ingin tahu. Yang jelas, tanggal biadab itu akan tiba sebentar lagi guna menyiksa otaknya dengan memori hitam yang tak ingin diingat lagi. Ares ingat pada sembilan tahun yang lalu, hari di mana emosinya memuncak tiada ampun. Dia ingat saat itu dia menunggu sesuatu dalam kubangan dugaan buruk akan terjadi. Dalam ekspektasi Ares, hal buruk itu hanyalah menunggu proses lahiran Aelin yang lebih cepat dari dugaan. Dikuasai kebimbangan, Aelin lahir usai melalui proses panjang yang menguras otak dan kesabaran. Itu bukanlah detik-detik bersukacita saat Aelin terlahir dan yang Ares ingat adalah Viola tiada tidak lama usai proses melahirkan. Tidak jauh berbeda dari para pelayan di Istana Clementine, Ares bersikap di kubu jahat di setiap kali ulang tahun Aelin terjadi. Pria itu mengingat tragedi yang dia lakukan, berniat melupakannya namun berujung tidak bisa karena hal semacam itu tidak akan pernah terlupakan. Sebagai salah satu orang yang masuk ke dalam pihak tidak terima saat Aelin lahir, Ares juga termasuk protektif kepada Aelin dengan alasan tak ingin anak itu terluka hingga menimbulkan aib bagi kekaisaran. Sebuah kontradiksi terbesar di sepanjang hidup Ares. Fokus utamanya bukanlah Aelin melainkan wanita yang melahirkan gadis itu. Tokoh yang selama ini menyakiti sanubarinya tanpa ampun secara sembarangan, Viola Primevere. Setiap kali ulang tahun Aelin terjadi, wanita itu seolah-olah bangkit dari kematian untuk memporak-porandakan isi kepala Ares sampai tuntas. Ares pun tak ingin tahu apa yang dipikirkan oleh Viola namun dia sangat muak setiap kali itu terjadi. Contohnya, seperti malam ini. Malam-malam panjang nan sunyi yang selalu dihabiskan bersama alkohol, kini menjadi lebih sesak karena bayang-bayang Viola kembali untuk menyiksa Ares. “Wanita gila,” hujat Ares lugas dalam tundukan kepalanya, pening akibat alkohol. “Jika ingin pergi, pergilah. Tidak perlu meninggalkan sesuatu yang mirip denganmu, Sialan!” Sebuah hujatan yang selalu dilontarkan di hari ulang tahun Aelin. Dia tidak akan mendongak dan membuka mata sepanjang malam demi menghindari bayang-bayang Viola berdiri di hadapannya. Orang lain akan menganggapnya gila, dirinya sendiri pun berpikir demikian, dan Ares tak ingin dikasihani. Dia tidak perlu simpati omong kosong mereka akibat berasumsi berlebihan atas kondisi ini. “Mau sampai kapan kau menyiksaku, Wanita Sialan….” Ares berbaring di sofa. Lengan kirinya ditekuk lalu disandarkan pada kedua matanya agar kelopak matanya tidak terbuka. Pening kian menghajar kepala Ares tatkala semakin tenggelam dalam kesengsaraan perputaran kenangan hitam. Bayang-bayang masa lalu tentang Viola Primevere, bagaimana wanita itu bersinar sangat cerah tanpa perlu berusaha. Betapa cantik dan manis parasnya. Betapa lembut perangainya kepada Ares. Segala kenangan itu tidak bisa dilupakan sama sekali hingga menjadi pembunuh Ares sampai sekarang. Tidak dapat dipungkiri, melihat Aelin sama seperti sedang menyiksa diri. Gadis itu terlalu mirip dengan ibunya. Rambut merah, kulit seputih salju, bentuk senyuman yang selaras, dan struktur wajah yang sama rupawan, itu semua persis Viola Primevere. Sehingga menatap Aelin terasa seperti merelakan diri dihujam ribuan pisau tanpa perlawanan, Ares mengakuinya. Betapa sakitnya itu semua, namun anehnya dia tidak memiliki kemauan kuat untuk menghabisi Aelin, entah mengapa. “Aku akan menghabisinya besok,” cetus Ares kemudian, masih memejamkan mata dalam pembaringan sekaratnya. “Besok, aku akan menghabisinya besok.” Itu telah menjadi seperti mantra yang diucapkan setiap hari tanpa pembuktian nyata. Terlebih ketika kesempatan telah diberikan, Aelin berdiri dengan kepolosan di hadapannya namun tangan Ares tidak pernah sampai mampu merampas nyawa gadis itu. Ares bertanya-tanya apa yang salah, sisi mana yang salah, lalu berakhir tidak mendapatkan jawaban. Rasionalitas tidak dapat melogikakan segala keanehannya terkait Aelin dan itu memuakkan. Betapa bencinya Ares kepada Viola. Ares berharap dia dapat mengatakannya dengan lantang, namun setiap kali hari ulang tahun Aelin tiba dan dia membiarkan diri membuka mata dia tak kuasa melihat bayang-bayang Viola berdiri di hadapannya. Bagaikan kutukan, Ares tergerogoti oleh kontradiksi mengerikan dengan siklus tiada ujung. Kini, tidak hanya Aelin, melihat Sierra pun mulai memberikan dampak yang sama. Wanita itu berteman sekaligus mengagumi Viola hingga Ares merasa tak habis pikir ia akan beraura seperti Viola. “Saya melakukannya demi kebahagiaan Putri.” Ares mendecak kasar mendengar suara Sierra masih terngiang dan bergema dalam kepalanya. Lalu, dilanjutkan lagi oleh bayang-bayang Viola seolah keduanya kompak menginginkan Ares menderita. “Jalang sialan, pergi dari hidupku!” Ares melempar salah satu gelas kaca kosong di meja, menimbulkan kegaduhan. Dia mengubah posisinya miring ke kiri masih dengan mata terpejam, sungguh tidak ingin terjebak oleh bayang-bayang Viola yang pasti sedang berdiri di depan sofa. “Mau sampai kapan kau menyiksaku? Pergilah sesuka hatimu sesuai keinginanmu!” Menyedihkan. Sebuah penghinaan besar-besaran pada Ares untuk terjebak dalam skenario semacam ini. Dia adalah Kaisar Neuchwachstein, kaisar terkeji di sepanjang sejarah, dia tidak seharusnya selemah ini hanya karena seorang wanita biasa yang tidak berdaya melalui proses melahirkan. Dia tidak seharusnya selemah ini hanya karena tak sanggup menatap putrinya sendiri akibat mirip dengan wanita yang pernah memenuhi rongga hatinya. Seluruh delusional itu benar-benar lebih lucu daripada lelucon. “Aku ingin tenang,” gumam Ares, frustasi. “Aku ingin tenang, jadi… bisakah kau pergi, Viola?” Tentu saja tidak ada jawaban. Wanita itu telah lama pergi darinya, namun entah halusinasi atau tidak, ia selalu kembali setiap Aelin berulangtahun. Jika ia tidak mati, ia pasti akan memberikan penolakan diiringi senyuman khasnya yang rupawan. “Saya tidak takut. Saya adalah milik Anda, jadi saya tidak takut. Ini adalah rumah saya juga sekarang.” Bisa jadi Areslah yang tak pernah ingin melupakan Viola. Keadaan memaksanya untuk melimpahkan segala kesalahan kepada wanita itu lalu melupakannya, namun Ares juga tahu itu hal yang mustahil. Viola akan selalu berada dalam hidupnya sampai kapan pun karena ia tidak pernah ingkar janji. Wanita itu pernah menjanjikannya kebersamaan abadi meski kematian memisahkan mereka. Dan inilah yang terjadi, wanita itu selalu hadir setiap Aelin berulangtahun, entah itu ilusi atau bukan. Lalu, Ares justru selalu menyalahkannya akibat dorongan penolakan berbumbu kebohongan. Seharusnya Ares tahu dirinya tidak akan pernah berhenti mencintai Viola, tidak akan pernah pula berhenti mengingat sosoknya. Tetapi, cinta tidak terasa sesakit ini. Tidak seharusnya terasa seperti itu. Alhasil, Ares berusaha menguburnya dalam-dalam, lagi-lagi menyakiti dirinya sendiri. “Jika kau memang hadir sekarang, pergilah, Viola,” gumam Ares, mulai merasa sedikit lebih tenang. “Pergilah.” Betapa ironisnya.       TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD