"Apa kabar, Rein? Sudah lumayan lama dari terakhir kali kita bertemu di acara peluncuran produk terbarumu setahun yang lalu," Irsal Gideon mengulurkan tangannya, menjabat tangan teman lamanya itu dengan senyum hangat.
Rein tertawa kecil, menepuk-nepuk tangan Irsal yang sedang digenggamnya.
"Baru satu tahun engga ketemu, tapi kamu sudah sesukses ini," pujinya.
Irsal tersenyum tipis, "Aku merasa tersanjung kalau kamu yang puji langsung," balasnya merendah.
Gadis kecil yang ada di sebelah Irsal hanya menatap bingung kedua pria dewasa yang saling melempar pujian itu.
Ia tidak tahu harus berbuat apa di saat perhatian Ayahnya justru teralih darinya. Harusnya dia menurut saja saat Mamanya melarang dirinya untuk ikut, sayangnya dia sudah lama tidak bertemu dengan Papanya sehingga tidak ingin lagi membuat waktu untuk berpisah dari Papa tersayangnya itu.
"Oh! Ini Venus, benar?"
Gadis kecil dengan rambut kuncir kuda itu mendongak saat namanya disebut.
"Iya, ini anakku, Venus Gideon," jawab Irsal.
Tangannya mengusap kepala Venus pelan sambil melempar senyum.
"Salim sama Om, Sayang. Ini Om Rein, teman Papa," pintanya.
Dengan patuh Venus menurut, dia bergerak maju dan menyalami tangan Rein di depannya.
"Halo, Om. Aku Venus Gideon, anaknya Papa Isal sama Mama Salandi," ucapnya lucu.
Rein tertawa kecil, tangannya ikut mengusap kepala anak manis itu dengan lembut.
"Pinter banget dia, engga malu-malu walaupun sama orang baru," puji Rein.
Venus tersenyum malu saat mendengar pujian dari orang yang katanya teman papanya itu.
"Dia mirip Mamanya, jadi pinter bergaul," ujar Irsal pelan.
Kemudian mereka kembali tertawa bersama sebelum akhirnya Rein menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Venus.
"Sayang, Papanya boleh Om pinjem dulu engga? Om mau bicara sesuatu sama Papanya Venus," ijinnya.
Venus memiringkan kepalanya kemudian menoleh ke arah Irsal.
"Apa Venus harus pulang, Pa?" tanyanya polos.
Irsal tersenyum sambil menggeleng.
"Engga usah, Sayang. Venus main aja di taman belakang rumah Om Rein ya," jawabnya.
"Iya, kalau engga salah, anak Om juga lagi main di sana. Venus main sama dia ya, dia baik kok," sahut Rein.
Venus mengangguk. Kemudian langkah kakinya bergerak menuju taman belakang yang tadi ditunjuk oleh Papanya.
Rumah milik Om Rein ini sangat besar, hampir sama dengan rumahnya sendiri. Namun sepanjang Venus melangkah, dia tidak menemui siapapun di rumah ini. Hanya ada beberapa pembantu yang sedang membersihkan rumah atau beberapa sedang sibuk di dapur.
Kemudian langkahnya berhenti di pintu kaca yang terbuka, pintu yang menghubungkan dalam rumah dengan halaman berumput hijau yang luas.
Venus berjalan perlahan, kaki kecilnya yang mengenakan sandal dengan tali terasa basah saat menginjak rumput. Mungkin itu disebabkan hujan semalam yang membuat hamparan rumput ini terasa basah.
"Kamu siapa?"
"Aaa!!" Venus reflek berteriak saat sebuah suara tiba-tiba saja terdengar dari arah samping tubuhnya.
Ia bergerak mundur saat mendapati seorang anak lelaki tengah menatap penasaran padanya.
"Kamu temannya Kak Gema?" tanya anak lelaki itu.
Venus menggeleng beberapa kali karena tidak merasa kenal dengan orang bernama Gema.
"Terus kenapa kamu ada disini?" tanya anak lelaki itu lagi.
Venus memilin jari-jarinya. Ia merasa takut karena tatapan anak lelaki itu yang tidak terlihat senang saat melihatnya.
"Aku datang kesini sama Papa. Papa lagi bicara sama Om Rein," jawabnya pelan.
Lelaki kecil di depannya itu tampak membulatkan mulutnya.
"Oh... Anak temannya Ayah," gumamnya.
Kemudian tanpa berkata apapun lagi anak itu langsung berbalik dan berjalan santai ke sebuh kolam kecil yang ada di bagian samping halaman.
Venus berdiri bingung, dia celingukan. Tidak tahu apakah harus kembali ke dalam rumah atau malah mengikuti langkah lelaki itu. Tapi karena Papanya meminta Venus untuk bermain sementara Papanya berbicara dengan Rein, maka dengan langkah pelan ia mengikuti anak lelaki itu.
"Aku boleh ikut main disini?" tanya Venus pelan.
Anak lelaki itu mendongak ke arahnya, beberapa saat diam kemudian mengangguk.
"Ayah kalau ngobrol lama, jadi kamu disini aja dulu sampai Ayah kamu sendiri yang jemput kesini," ujar anak lelaki itu.
Venus mengangguk, dia kemudian bergerak dan duduk di batu pinggir kolam seperti apa yang dilakukan anak lelaki di sampingnya.
"Nama kamu siapa?" tanya Venus sambil memiringkan kepalanya.
"Gali," jawab anak lelaki itu.
Venus menaikan sebelah alisnya, "Nama kamu Gali?" tanyanya bingung.
Anak lelaki itu mengangguk.
"Iya, Galilleo. Kakak-kakak selalu manggil aku Gali," jawabnya lebih jelas.
"Ohh."
Venus menunduk. Dia bingung kenapa sedari tadi Galilleo tidak menatap ke arahnya saat berbicara. Sedangkan teman-teman sekolahnya biasanya selalu menatapnya sambil tersenyum sepanjang berbicara dengannya.
Selanjutnya mereka terus duduk di tepi kolam itu, dengan Venus yang berusaha membangun obrolan apapun dengan Galilleo. Sedangkan Galilleo akan menjawab saja tanpa bertanya balik. Dan hal itu berlangsung selama hampir satu jam sampai akhirnya Irsal datang menjemput putrinya seperti apa yang tadi Galilleo katakan.
Tanpa pernah mereka tahu, bahwa hanya karena melihat mereka yang duduk di tepi kolam dan berbicara hal-hal berbau anak-anak yang tidak penting, memicu sebuah ide perjodohan yang konyol.
__
Venus menelungkupkan wajahnya di bantal.
Ini gila, hanya karena rasa sakit hatinya ditinggal Galilleo begitu saja di pinggir jalan, ia sampai teringat dengan kenangan masa kecilnya dimana pertama kali ia mengenal Galilleo.
Dia juga baru menyadari, bahwa ternyata sedari dulu Galilleo memang tidak pernah memberikan perhatian secara berlebihan padanya. Hal yang seharusnya cukup membuat Venus sedari dulu sadar kalau Galilleo memang tidak pernah memiliki perasaan apapun padanya.
Namun Venus juga tidak bisa mundur. Setidaknya, tidak bisa mundur untuk yang kedua kalinya.
Dulu dia pernah mundur dan menyerah mendapatkan Galilleo karena menurutnya ada yang lebih bisa membuat Galilleo bahagia. Namun setelah orang itu pergi, dan terbukti Galilleo bukannya bahagia tapi justru lebih menderita, sehingga membuat dirinya tidak bisa lagi menyerah pada perasaannya. Karena Venus yakin dirinya bisa membuta Galilleo bahagia dan tidak akan pernah meninggalkannya.
"Venus, kok udah pulang?"
Venus langsung bangkit dari posisi tengkurapnya saat pintu kamarnya terbuka bersamaan dengan suara Mamanya yang terdengar.
"Mamaa!"
Venus berlari kecil kemudian memeluk Mamanya itu dengan erat.
"Venus kangen banget sama Mama," ucapnya manja.
Salandi tertawa, dia membalas pelukan anaknya itu dengan hangat.
"Makanya jangan pergi-pergi lagi dong! Mama kan juga disini kesepian karena kamu dan Papamu sibuk terus," protes Salandi.
Venus ikut tertawa sambil mendongakan wajahnya.
"Venus juga cape pergi-pergi terus, pengen disini aja sama Mama sama Papa," balasnya pelan.
Salandi terdiam, anaknya memang mengatakan itu dengan senyum lebar seperti sebuah candaan. Namun nalurinya sebagai seorang Ibu langsung dapat memahami ada yang sedang terjadi pada anak tunggalnya itu.
"Ada apa? Ada masalah?" tanya Salandi.
Dia menarik tangan Venus ke adah ranjang putrinya itu dan duduk di sisi ranjang.
Venus menggeleng dengan senyum lebar.
"Engga ada,Venus cuma berpikir buat engga perpanjang kontrak. Mau bantu Papa aja buat jalanin perusahaan kita," kilahnya.
Salandi menatap anaknya dalam diam, tangannya terangkat dan mengusap wajah Venus dengan lembut.
"Kamu pikir bisa sembunyiin masalah kamu itu pake senyuman? Kalau itu kamu lakukan di depan Papa kamu, mungkin berhasil. Tapi engga akan berhasil kalau di depan Mama, Sayang," katanya lembut.
Venus terdiam dengan wajah tertunduk, ia rencananya hanya akan memendam semuanya sendirian saja agar Mama atau Papanya tidak khawatir. Sayangnya, dia memang tidak pernah bisa berbohong di depan Salandi.
"Venus berencana menikah setelah habis kontrak, Ma," ucapnya.
Bisa ia lihat mata Mamanya itu tiba-tiba berbinar.
"Kamu udah bahas ini sama Gali? Gimana pendapatnya? Apa Mama perlu kabarin ini ke Papa sekarang biar Papa bisa langsung bilang ke Om Rein?" tanyanya semangat.
Venus tersenyum miris, betapa semua orang mengharapkan pernikahan antara dirinya dengan Galilleo. Sedangkan pria itu dengan tegas menolak usulannya tanpa berpikir lebih dulu.
"Gali bilang belum siap, Ma. Katanya masih banyak yang harus dia lakuin di kantor," jawab Venus.
Salandi yang tadinya merasa senang, kini berganti merasa bingung setelah mendengar ucapan anaknya.
"Memangnya apa yang bikin dia belum siap? Bukannya kalau dia menikah sama kamu itu bisa bikin dia langsung mewarisi kursi presiden direktur milik Ayahnya?" tanya Salandi heran.
Itu benar. Karena Galilleo adalah anak lelaki satu-satunya di keluarganya, sehingga Galilleo hanya perlu menikah dengan Venus untuk langsung bisa menerima jabatan milik Ayahnya.
Itulah yang menyebabkan sekeras apapun yang dilakukan kakak-kakaknya, tidak pernah berhasil membuat suami-suami mereka merebut tahta itu dari Galilleo.
Venus menggeleng pelan, "Galilleo engga jelasin alasannya secara rinci, tapi dia bilang buat sekarang dia masih belum siap buat menikah sama aku," jawabnya.
Salandi menghela nafas berat.
"Mama udah tahu dari awal kalau Galilleo engga terlalu menginginkan perjodohan kalian."
Ucapan Salandi itu membuat Venus terkejut. Pasalnya bahkan semua orang mengira bahwa mereka adalah pasangan yang saling menyukai satu sama lain.
"Engga gitu kok, Ma!" bantah Venus.
Salandi menggeleng, "Awalnya Mama pikir engga mungkin kalau Gali engga suka sama perempuan secantik kamu. Tapi semenjak ada kejadian dulu saat kalian masih SMA, dari situ Mama baru tahu kalau ternyata selama ini Gali engga pernah punya rasa yang sama kayak kamu. Mama benar kan?"
Venus tertohok. Dia tidak menyangka jika Mamanya akan tahu bahkan soal yang terjadi dulu. Venus pikir, sandiwara yang selalu dilakukannya dengan Galilleo setiap kali ada pertemuan keluarga itu cukup untuk mengelabui mata setiap orang, ternyata mereka tidak bisa melakukan itu pada Salandi.
"Kamu tenang aja, kalau kamu menginginkan pernikahan itu terjadi secepatnya, maka Mama akan buat itu jadi kenyataan. Dan soal perasaan Gali terhadap kamu, kamu harus bisa bikin dia jatuh cinta sebelum waktu yang akan ditentukan sebagai tanggal pernikahan kalian. Apa kamu bisa?" Salandi menatap kurus ke arah anaknya. Meminta jawaban tanpa keraguan dari Venus yang selama ini lebih banyak bimbang.
Venus menelan ludahnya, dia ragu bisa melakukan itu. Karena selama bertahun-tahun ini pun ia gagal, namun dia juga tidak bisa mundur dan menyerah. Sehingga yang ia lakukan selanjutnya adalah mengangguk, menyetujui usulan Mamanya.
__