"Kak, jawab. Kenal tidak?" tanya Gia yang sengaja mengataka itu ke Brian kembarannya.
Gia sudah siap dengan apa yang kakaknya katakan. Tangannya juga sudah mengepal dengan sangat erat hingga terlihat buku-buku di tangannya terlihat.
"Bersiaplah dengar jawaban si bodoh ini," gumam Rico yang ikut greget dengan Brian.
"Tidak." Brian menjawab dengan lantang dan wajahnya berbalik memandang wanita yang tersenyum ke arah dirinya dan Brian juga tersenyum ke arah dia.
"Apa? TIDAK?" tanya mereka semuanya.
Mereka heran dengan apa yang dijawab oleh Brian. Bagaimana bisa Brian katakan tidak? Apa dia tidak salah.
"Brian, ka ...." Rico berhenti bicara karena suara orang jatuh terdengar dan Inara menjerit histeris melihat orang tersebut jatuh.
Pingki, Riki, Rico, Arden dan Marco berdiri saat Brian jatuh ditonjok oleh Gia kembarannya. Brian tidak bisa mengelak ditonjok oleh Gia.
"Apa yang kau lakukan, Gia? Sialan kau, Gia." berang Brian yang memegang wajahnya.
Gia benar-benar murka dan dia tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Brian. Bagaimana bisa Brian katakan itu.
"Hebat. Luar biasa. Anak i terbaik," ucap Pingki tepuk tangan melihat Gia memukul Brian.
Berta yang ikut juga tepuk tangan dia salut dengan Gia. Nggak sia-sia dirinya latih Gia bela diri dan itu permintaan Chris waktu itu.
"Hebat bener. Nona Gia luar biasa," gumam Berta tapi masih didengar Brian dan dia marah juga kesal dengan Berta yang melatih adiknya. Padahal sudah jelas kalau adiknya tidak dia izinkan untuk bela diri tapi malah Berta melakukannya.
"Kenapa kau tonjok aku, Gia?" tanya Brian dengan kesal.
"Kenapa? Wajar you ditonjok. Menyebalkan you. Jangan you marah dengan desek. I bisa buat you makin babak belur nanti," jawab Pingki tidak terima jika Gia dimarahin.
"Paman, dia melukai aku. Kenapa paman bela dia. Nanti dia manja dan dia akan .... " Brian menghentikan ucapannya karena Gia sudah di depannya dan menarik baju Brian.
" Sadis. Gia wanita luar biasa. Kakakku yang terbaik," ucap Arden ke Gia.
"Diam atau aku buat kau menderita," sahut Gia ke Arden.
"Gia, sopan kamu dengan kakakmu. Kenapa kamu kejam dengan dia. Apa salahnya dia?" tanya Inara ke Gia.
Gia menoleh ke arah Inara yang mengatakan apa salahnya.
"Tutup mulutmu, Inara. Aku tidak ada urusan denganmu. Kedatangan kamu ke sini membuat keluargaku hancur. Harusnya, kamu sadar diri. Dan kamu juga, kenapa kamu bodoh sekali. Dia tinggalkan kamu tapi kenapa masih peduli dengan dia. Apa kamu tidak ada harga dirinya? Mana kesedihan kamu dulu dan ingat bagaimana kekecewaan yang dia berikan kepadamu dulu? Sekarang, kamu malah bersama dia. Munafik kamu," teriak Gia yang lagi-lagi memukul Brian tapi Brian tidak berkutik.
Gia pergi meninggalkan Brian. Dia ingin mengejar Olla tapi sayangnya Olla tidak ada lagi. Olla pergi begitu saja tanpa tahu di mana.
Pingki juga pergi bersama yang lainnya tinggal Brian dan Inara di tempat tersebut. Brian melihat adiknya dan yang lainnya pergi meninggalkan dirinya.
"Brian, kamu baik?" tanya Inara ke Brian.
"Aku aku baik. Ayo kita pulang," jawab Brian berdiri dan memilih pergi.
Inara mengangguk dia mengiyakan apa yang dikatakan oleh Brian. Brian tidak mau berkata apa-apa.
Sedangkan Olla sudah pamitan dengan sahabatnya.
"Nanti kita ketemu lagi. Aku akan ketempat kalian. Oh ya, kalian jaga kesehatan," ucap Olla ke sahabatnya sebelum dia berpisah.
"Iya. Aku akan jaga kesehatan. Kamu juga. Bahagia itu bukan sesederhana yang kita bayangkan. Bahagia itu akan datang dengan sendirinya. Dan akan ada waktunya," jawab Isaya.
Olla menganggukkan kepala dan pergi dari hadapan sahabatnya. Olla berjalan menyusuri jalanan. Saat dirinya, hendak menunggu taksi tiba-tiba ada pria yang dipukulin.
Olla menoleh ke arah belakang dia terkejut dengan apa yang dia lihat.
"Hei, hentikan jangan pukul dia. Tolong,,, tolong," teriak Olla kencang memanggil orang-orang untuk menolong pria yang dipukul orang tidak dikenal.
Semua orang yang mendengar suara teriakkan Olla segera berlari menolong. Olla mendekati pria yang tadi dipukul.
"Kamu tidak apa-apa, Tuan?" tanya Olla ke pria tersebut.
"Akh, ak-aku tidak apa-apa. Terima kasih banyak," jawab si pria meringis kesakitan tapi dia beruntung karena dirinya dibantu.
"Ayo kita ke rumah sakit. Tuan tolong bawa dia ya," ucap Olla kepada pria tua untuk membawa pria yang perutnya ditusuk.
"Baik, Nona." Pria tua tersebut dengan beberapa pria lain mengangkat si pria ke taksi dan segera Olla naik ke taksi.
Pria tersebut menatap Olla dan dia tersenyum sebelum akhirnya dia tidak sadarkan diri. Sesampainya di rumah sakit, Olla teriak memanggil suster.
"Suster, suster. Tolong," teriak Olla yang keluar dari taksi.
Suster yang mendengar teriakkan Olla menghampiri Olla.
"Tolong, ada yang terluka. Dia ditusuk, tolong ya," ucap Olla ke suster.
"Baik, tunggu sebentar." Suster segera masuk ke ruang IGD untuk membawa banker.
Beberapa suster juga ikut membantu. Akhirnya, pria tersebut dibawa masuk. Olla tidak lupa membayar taksi.
"Anda keluarganya?" tanya suster ke Olla.
"Tidak. Saya tidak sengaja bertemu dia. Anda bisa lihat di dompetnya sepertinya ada," jawab Olla.
"Baiklah, terima kasih," ucap Suster yang segera pergi meninggalkan Olla.
Olla pun pergi dari rumah sakit karena dirinya sudah terlalu malam untuk kembali ke rumah. Olla kembali menunggu taksi untuk mengantarkan dia pulang.
Saat dirinya sudah menemukan taksi bergegas Olla naik. "Aku harap tidak ada yang menanyaiku kenapa aku pulang telat."
Olla sebenarnya berharap ada yang khawatir tapi seperti itu hanya harapan palsu saja. Dan dia yakin tidak ada yang peduli. Termasuk Brian.
Sesampainya di rumah Olla masuk ke rumah dan berjalan masuk ke arah pintu.
"Kakak, baru pulang? Dari mana?" tanya Gia menyambut Olla.
"Dari makam terus bertemu teman," jawab Olla dengan sopan.
"Ya sudah, kakak mandi terus makan ya," ujar Gia dengan ramah.
Olla menganggukkan kepala dan langsung naik ke lantai atas. Sesampainya di lantai atas, Olla membuka pintu kamar terlihat Brian sedang mengobati dirinya.
"Baru pulang?" tanya Brian tanpa diduga Brian bertanya. Apakah itu tandanya khawatir?
"Iya. Maaf," jawab Olla singkat.
Olla ingin menawarkan bantuan tapi melihat wajah Brian datar dan dingin seperti gunung es Everest Olla mengurungkan niatnya.
Olla memilih pergi ke kamar mandi. Brian melihat Olla pergi dan mengabaikan dia hanya bisa menahan amarahnya. Entah kenapa dirinya tidak suka diabaikan oleh Olla.
"Dia kenapa? Apa dia diluar sana adu kekuatan. Aneh sekali dia itu," gumam Olla yang membersihkan diri.
Selesai membersihkan diri, Olla langsung keluar dan terlihat Brian belum selesai. Dengan keberanian yang ada dan tidak peduli ditolak Olla mendekati Brian.
"Biar aku bantu," ucap Olla mengambil kain kasa dan mengusap luka di bibir dan pipi Brian.
Brian menatap lekat Olla yang wajahnya natural tanpa make up Olla sangat cantik. Brian berdehem karena mencoba untuk menepis kekagumannya.
"Sudah selesai," jawab Olla.
Olla merapikan semuanya dan keluar dari kamar. Olla bersikap lebih tenang dan tidak lagi memakai hati dan perasaan. Lebih mengutamakan logika agar tidak sakit terlalu dalam.
"Kakak, kamu tadi kemana saja?" tanya Gia yang menemani Olla makan.
"Tadi, dari makam ketemu teman dan kami berbincang kecil sekaligus menemani teman bekerja," jawab Olla.
"Oh, seru tidak teman-temanmu? Kalau seru ajak ke sini ya. Nanti kita bisa bergosip bersama," ujarnya lagi.
Olla menatap Gia adik iparnya. Gia tiba-tiba ingin temannya datang ke sini. Bukannya di sini ada aturannya.
"Yakin?" tanya Olla.
"Iya, yakin. Kakak tenang saja. Kalau si batu itu marah aku hadapi dia. Sekarang, kakak makan sabtu ini aku tunggu teman kakak datang. Ok," jawab Gia lagi.
"Baiklah. Nanti aku beritahukan," balas Olla.
Olla makan dengan lahap setelah itu dirinya naik je lantai atas. Dan saat pintu terbuka Brian sedang video call dan sangat mesra.
"Tunggu sebentar," jawab Brian mengakhiri panggilan karena dirinya masuk.
"Olla, kamu tidur di kamar sebelah saja," ucap Brian sontak saja membuat Olla terdiam dan hatinya merasa semakin sakit.
Olla menatap Brian dan tersenyum. "Baiklah."
Olla tidak banyak protes dia memilih pergi tanpa kata.
"Olla, tunggu." Brian kembali memanggil Olla.
Olla berhenti di ambang pintu menunggu apa yang akan Brian katakan.
"Apa kamu marah aku berkata seperti itu?" tanya Brian lagi.