5. Lima

1066 Words
Rei masih mengikuti langkah Saba setibanya mereka di apartemen. Dilihat dari siapa yang memimpin sekarang, seolah-olah Saba-lah pemilik apartemen yang sesungguhnya. Rei menggaruk kepala frustrasi. Kadang dia hilang akal menghadapi sepupunya yang satu itu, tapi dia juga tidak bisa mengabaikannya. Bukan karena Rei terpaksa, tapi karena Rei memang benar-benar peduli. Menatap Saba yang duduk di sofa apartemennya, Rei menarik dan menghembuskan napasnya panjang. “Lo nggak berniat tinggal di sini sama gue, kan?” Pandangan Saba naik, menatap sepupunya yang masih berdiri. “Kenapa? Nggak boleh?” Rei menggeleng, melipir dari hadapan pemuda itu dan berjalan menuju kitchen island yang berada tak jauh dari ruang tengah itu. Apartemen Rei memang bukan apartemen yang besar, tapi juga bukan apartemen kecil. Di apartemen itu sebenarnya ada 3 kamar, yang mana satu kamar sudah ditempati Rei dan satu kamar lainnya juga sudah di tempati Saba sesekali jika sepupunya itu menginap, sementara satu lainnya tidak terpakai dan lebih seperti sebuah Gudang saja. Rei mengambil gelas, menuangkan air mineral di kedua gelas yang sudah di letakkan di atas kitchen island dan membawa kedua gelas yang sudah terisi itu kembali ke ruang tengah. “Bukan nggak boleh, lebih tepatnya jangan.” “Kenapa?” Pertanyaan itu lagi, yang selalu tidak habis Saba tanyakan. “Nanti Oma khawatir kalau lo ikut-ikutan ngungsi.” Mengungsi yang Rei maksud jelas karena Rei sebelumnya juga tinggal bersama Oma, sebelum akhirnya pria itu memutuskan untuk keluar dari rumah dan memilih tinggal di apartemen yang Oma berikan padanya. Alasannya sih karena Rei ingin mandiri, tapi alasan yang benar lebih tepatnya karena Rei tidak ingin menganggu waktu Oma dan Saba yang mungkin ingin dihabiskan bersama-sama. Meski samar, Rei bisa melihat Saba menarik napas berat, menatap kosong objek di hadapannya. “Gue di sini sampe Kak Arya balik lagi ke Wina.” Tentu saja Rei tahu, cukup hafal dengan alasan sepupunya itu. Hanya saja… “Lo mau terus-terusan ngehindarin dia? Sampai kapan?” Rei tahu ini topik yang paling dihindari Saba, tapi entah kenapa tidak membuatnya jera untuk menanyakan kembali lagi dan lagi saat situasi yang sama mereka hadapi, seperti saat ini. “Lebih baik lo pulang, bilang sama Oma kalau gue nginep di rumah temen beberapa hari.” Bukannya menjawab, setelah hening cukup panjang, kalimat itu yang malah keluar dari mulut Saba. Benar saja, dari kalimat Saba jelas sekali pemuda itu tidak ingin membahasnya lebih jauh. Dan di saat seperti ini, Rei tidak bisa memaksa mengoreknya. Rei menghela napas, tidak ingin memaksa atau mendesak anak itu. “Ya udah gue pulang. Sebelum gue pergi, mau gue pesenin sesuatu dulu buat lo makan?” “Gue bisa ngurus diri gue sendiri, Rei.” Rei mengangguk setuju. Dia tahu itu, hanya saja Rei selalu merasa was-was atau khawatir Saba akan melupakan kewajibannya untuk mengisi perut. Kebiasaan buruk yang tanpa sadar sering Saba lakukan jika kepalanya terlalu banyak berpikir. Tidak—sebenarnya Rei khawatir dengan apa pun yang menyangkut sepupunya, apa pun yang terjadi dan berkaitan dengan Saba. “Oke, gue balik nih?” “Hem.” Rei benar-benar pergi, setelah meneguk minumnya dan berpesan pada Saba untuk mencucinya. Tidak apalah kali ini Rei mengalah, karena Rei juga tahu Saba pasti membutuhkan ruang untuk menenangkan hati dan pikirannya. *** “Jadi, Andra mau nikah?” Sepasang mata Nigi membesar mendengar nama itu keluar dari bibir Noel, padahal dia tidak menyebutkan nama seorang pun dalam semua rangkaian ceritanya. “Kok lo tahu? Gue kan nggak nyebutin siapa orangnya.” “Gue udah bilang berkali-kali kalau gue tahu perasaan lo, Dek. Lo aja yang nggak percaya.” Jawab Noel santai. Nigi mendengus, menghela napas panjang menjatuhkan diri di ranjang. Sepasang matanya merawang ke langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Kalau Noel sudah tahu siapa sosok yang membuatnya begini, lantas kenapa bertanya? Kenapa… ada hal-hal yang seharusnya tidak Noel lakukan? “Terus kenapa lo adem ayem aja waktu Mami anggap gue nggak pernah naksir cowok? Diem aja nggak pernah jadi perisai gue atau berusaha belain gue di depan Mami. Kalau memang sebenernya lo udah tahu, bukannya seharusnya lo belain? Jelasin? Atau apa pun lah itu biar Mami nggak nuduh atau pikir gue yang macem-macem.” Lanjut Nigi setelah jeda. Tiba-tiba teringat hal itu dan ingin meluruskan apa yang ada di kepalanya, apa yang membuatnya bertanya-tanya. “Lo kan nggak tahu aja gue udah pernah ngomong apa aja sama Mami, Gi.” “Hah?” Noel menatap adiknya yang berbaring, sementara dirinya saat ini asik duduk di kusen jendela kamar Nigi yang terbuka. Sesekali pandangannya liar keluar sana, seolah mencari sesuatu atau entah mungkin seseorang. “Karena sikap diem lo bikin gue tahu kalo lo mau nyimpen perasaan itu sendiri. Itu juga yang bikin gue nggak mau maksa lo buat cerita. Kalau lo klarifikasi sama Mami dan bilang yang sebenernya, Mami pasti bakal interogasi lo dan minta satu nama buat yakinin beliau. Sayangnya, orang yang lo suka ini mantan tetangga kita yang Mami tahu, dan lo nggak suka kalau Mami tahu hal itu. Sebut asal nama pun lo nggak bisa, kan? Karena lo nggak mau bohong.” Tepat. Seluruh ucapan Noel itu tepat sekali. Nigi terdiam, memejamkan mata, meraba perasaannya yang semakin gamang. Perkataan Noel memang mengingatkannya tentang rasa yang dipendamnya beberapa tahun ini, persis seperti ucapan Noel, bahwa Nigi memang sengaja ingin menyimpannya seorang diri. Lantas sekarang apa yang harus dirinya lakukan? “Move on. Nggak ada gunanya ngutuk garis takdir yang dari awal memang bukan buat lo. Terkadang, orang yang susah move on itu bukan berarti nggak bisa, tapi karena nggak mau. Mereka terlalu manja untuk tetap terpaku sama masa lalu, sementara waktu tetap berjalan tanpa peduli dia akan seperti apa setelah masalah perasaan itu. Padahal bisa jadi lebih baik kalau bisa lewatin semua masalah perasaan itu, diam di tempat kalau belum rela, atau bahkan malah jadi lebih buruk kalau memang merasa orang nggak tepat itu satu-satunya harapan dia. Setiap orang selalu punya pilihan mau jadi yang mana.” Nasehat Noel panjang. Nigi terkekeh masih dengan mata terpejam, tanpa dia sadari Noel sudah berdiri di sisi ranjangnya, memperhatikan wajah kembarannya itu lamat-lamat. Pemuda itu tersenyum tipis, merendahkan tubuhnya, menunduk hingga mencapai puncak kepala Nigi, mengusap kepala gadis itu lembut. “Selalu ada besok untuk memulai hal yang lebih baik, Dek. Tapi sebaiknya berhenti toleransi untuk hal yang menjadikan sesuatu itu jauh lebih buruk. Sweet dream, Sister.” Bisik Noel disertai tepukan ringan di dahi Nigi, membawa gadis itu tenggelam memasuki alam bawah sadarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD