03. Menantu Keluarga pradana

1686 Words
Ella menundukkan kepala dalam-dalam sebagai bentuk penyesalannya. Tak ada kata yang mampu terucap dari mulutnya kecuali kata, "Maaf ..." Kartika Pradana, mama Ardi memandangi menantunya dengan pandangan kesal dan kecewa. Tidak mengira bahwa putranya nyaris meregang nyawa pada masa bulan madu yang seharusnya berakhir bahagia. "Bukannya kamu seorang dokter? Bagaimana bisa kamu bisa membiarkan Ardi sampai ..." Omelan Kartika terhenti karena dipotong oleh seorang pemuda dengan wajah yang mirip dengan Ardi. Dia adalah Linggar, adik bungsu Ardi. "Ma, jangan begitu. Mbak Ella juga sama sedihnya atas kejadian ini." "Linggar benar, Ma. Kejadian ini murni sebuah kecelakaan tak terduga." Seorang pria dengan wajah teduh ikut membela Ella. Dia adalah Mahes, suami dari Laras, adik perempuan Ardi. Kartika tidak menjawab teguran dari kedua putranya. Harga dirinya sebagai nyonya besar Pradana terlalu tinggi untuk mengakui kesalahannya. "Gimana keadaan mas Ardi, mbak?" Mahes menanyai Ella untuk mengalihkan pembicaraan. Mahes juga seorang dokter, sehingga dia tertarik menanyakan keadaan Ardi secara medis kepada Ella. "Anakfilaktik syok?" Lanjutnya bertanya. "Iya, tapi udah stabil sekarang," Ella menjawab kepada Mahes. "Hasil tes alergi Mas Ardi waktu general check up terakhir agak mengkhawatirkan. Tapi aku gak ngira kalau sampai kejadian seperti ini." "Ma? Mama ..." Suara Ardi yang masih lemah terdengar menyapa mamanya. Membuat semua yang hadir berhenti berbicara, dan beranjak untuk mendekat ke ranjang Ardi. Kartika tidak berbicara atau berkomentar saat menghambur mendekat ke arah Ardi. Beliau memeriksa keadaan putranya itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dengan tatapan khawatir. "Dasar anak nakal, Mama nyaris jantungan waktu dapat kabar kamu syok karena alergi." Ujar Kartika sambil membelai lembut puncak kepala Ardi. Wanita paruh baya itu menitikkan air mata di kedua sudut matanya. Tidak tega melihat keadaan putra sulungnya begitu lemah. Padahal baru beberapa hari lalu putranya ini menikah dan berbahagia, namun sekarang malah terbaring di ranjang pesakitan. "Aku gak pa-pa kok, Ma." Jawab Ardi berusaha tersenyum menenangkan mamanya. Dia merasa bersalah karena membuat seluruh keluarga, terutama mamanya sangat khawatir. Bahkan sampai jauh-jauh menyusul ke Bali untuk menjenguknya. "Kamu gak pa-pa dari mananya? Liat tampangmu itu lemes dan pucet banget kayak mayat." Kartika tidak mau kalah. Ucapan yang membuat Ardi tidak sanggup membantah lagi. "Mahes kamu hubungin pihak Rumah Sakit pastikan kalau Ardi akan mendapat perawatan yang terbaik disini. Linggar sama Bambang kalian ke hotel, minta kompensasi sama mereka. Bisa-bisanya mereka bikin putraku sampai menderita seperti ini." Kartika memberikan perintah saking geramnya. "Udahlah, Ma ... Gak ada yang salah dalam musibah ini." Mahes masih berusaha untuk mengingatkan mertuanya. "Aku yang salah, Ma." Ardi menyetujui ucapan Mahes. Karena memang dirinya yang bersalah karena asal minum jus tanpa bertanya kandungan di dalamnya. "Heemm sebenarnya saya yang salah ... Saya yang lupa memberitahukan pihak hotel tentang kelengkeng." Bambang, sekretaris pribadi Ardi yang mengakui kesalahannya. Dia tidak tega melihat keadaan atasannya yang memprihatinkan. Semua mata langsung tertuju pada pria itu. Memberikan pandangan menusuk setajam belati yang membuat nyalinya mengkerut. Namun tidak ada berkomentar atau menyalahkan Bambang lebih jauh lagi. Karena sang sekretaris pribadi itu memang sering membuat kesalahan. "Anggap saja lagi apes." Mahes membuat kesimpulan dan semua yang hadir ikut menganggukkan kepala sebagai persetujuan. "Tapi gimana kronologi kejadiannya?" Kartika tetap meminta penjelasan kepada Ella. Nyali Ella semakin menciut saat menyadari semua pandangan mata terarah kepadanya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menceritakan segala yang terjadi. Mulai dari kejadian di hotel setelah Ardi meminum jusnya. Sampai proses evakuasi serta observasi di UGD sampai Ardi dinyatakan stabil dan dipindahkan ke ruangan. Kartika, Linggar dan Mahes kompak tertegun mendengar cerita Ella yang terdengar sangat mengerikan. Mereka bersyukur ada Ella di dekat Ardi yang sigap memberikan pertolongan emergency. Tak terbayangkan gimana jadinya jika tidak ada Ella saat itu. "Untung ada Mbak Ella, kalau nggak udah dicoret namamu sama malaikat, Mas." Linggar berkomentar iseng. "Benar sekali, kita sudah seharusnya berterima kasih kepada Mbak Ella." Mahes mendukung ucapan Linggar. Ella hanya tersipu mendengar pujian dari kedua adik iparnya. Kartika terdiam untuk beberapa saat, seperti sedang berpikir dan menimbang sesuatu. Beliau juga mengamati Ella dengan seksama sebelum akhirnya mendekat dan memeluk erat tubuh menantunya itu. "Makasih ya, Ella. Kamu yang telah menyelamatkan Ardi ... Mama minta maaf karena tadi sempat menyalahkan kamu." Ella tertegun untuk sesaat sebelum akhirnya membalas pelukan dari mama mertuanya."Sama-sama, Ma. Memang sudah seharusnya, karena Mas Ardi adalah suamiku." "Mama takut sekali tadi. Mama gak bisa bayangin kalau Ardi sampai kenapa-napa." Ella akhirnya mengerti maksud kemarahan dari mertuanya tadi. Ternyata bukan kemarahan karena tidak suka kepadanya sebagai menantu dan istri Ardi. Melainkan karena rasa khawatir seorang ibu akan keadaan putranya yang sekarat dan sedang meregang nyawa. "Keadaan mas Ardi udah stabil kok Ma, dia pasti akan cepat sembuh." Ella berusaha menenangkan Kartika. "Mama bener-bener terimakasih, karena kamu ada untuk Ardi. Ga salah deh Ardi dapetin kamu." Kartika percaya bahwa dapat menitipkan dan mempercayakan Ardi kepada Ella sebagai istrinya. "Terima kasih, Ma." Ella membalas ucapan Kartika dengan sangat terharu dan bahagia. Merasa bahagia karena Kartika menyatakan penerimaan atas dirinya sebagai istri Ardi sekaligus menantu Pradana. "Aku pasti akan bisa menjadi istri Mas Ardi serta menantu keluarga Pradana yang baik." Ella bertekad dalam hatinya. *** Sehari setelah menginap di Karma Kandara Internasional Hospital, Ardi memutuskan untuk keluar dari rumah sakit secara paksa. Meski tubuhnya masih sangat lemah, dia ingin melanjutkan proses penyembuhan di rumah saja. Bed rest total di Pradana Mansion dengan Ella, dokter pribadi yang pasti akan setia merawatnya. Setelah tiba di kediaman Pradana, sehari kemudian dihabiskan Ardi hanya dengan berbaring di ranjang. Karena Ella benar-benar melarang Ardi untuk turun dari ranjangnya kecuali untuk urusan mendesak, seperti keperluan toilet. Ella melarang pula Ardi memegang ponsel dan tabnya. Pagi ini, Ardi terbangun dengan kondisi tubuhnya yang jauh lebih sehat daripada sebelumnya. Sudah tidak terlalu lemas dan sudah bisa dipakai untuk sedikit beraktivitas normal. "Ella? Honey?" Panggil Ardi celingukan memandangi seluruh isi kamar. Dia tidak mendapati Ella di ranjang ketika terbangun dari tidurnya. Perlahan Ardi bangkit dari ranjang, berjalan pelan ke walk in closet dan mencuci mukanya di wastafel. Untuk sedikit memberikan kesegaran dan mengembalikan kesadaran. Kemudian dia mengambil ponsel dan tabnya dari meja kerja. Membawanya kembali ke ranjang dan duduk selonjoran di sana, berniat untuk memeriksa apa saja yang ada di sana. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, dan masuklah Ella dengan senampan menu sarapan pagi di kedua tangannya. Ella keheranan melihat Ardi yang sudah bangun tidur, bahkan lebih jauh sang suami sudah sambil memegang ponsel dan tab di tangannya. "Hubby, kamu sudah bangun?" tanya Ella menghampiri Ardi. Dia merasa tidak senang karena suaminya sudah memegang dan mengamati ponsel dengan sangat serius. "Pagi Honey," Ardi menyapa Ella sambil tetap fokus melihat layar ponsel di hadapannya. Banyak sekali pesan dan missed call di sana. Memang sejak dirinya dilarikan ke UGD tiga hari lalu sampai hari ini, ponsel itu belum pernah dia sentuh sama sekali. "Mas Ardi, sarapan yuk. Taruh dulu ponselnya." Ella mengambil ponsel di tangan Ardi. Sebagai gantinya Ella menyodorkan senampan sarapan ke pangkuan suaminya. “Susah banget sih kamu ini dibilangin, Mas! Padahal masih sakit, tetap saja pekerjaan nomer satu." Ella menggerutu kesal. "Oke," Ardi pasrah menuruti perintah dari sang dokter pribadi. Tak ingin perkara ini berbuntut panjang jika permintaan Ella tidak dituruti. Ardi merasa lama-lama ucapan Mahes, adik iparnya ada benarnya juga. 'Semanis-manisnya pacarmu, pasti dia akan berubah menjadi radio rusak kalau sudah menjadi istrimu.' Dan ternyata beneran terjadi kepada dirinya sendiri. Ella juga berubah menjadi sangat cerewet setelah mereka menikah. Apalagi kalau menyangkut masalah kesehatan seperti ini. Mungkin karena profesi sang istri sebagai seorang dokter. "Aku sudah sembuh, Honey. Gak perlu makan bubur lagi. Nasi rawon atau soto kayaknya jauh lebih enak." Ardi sudah bosan dengan menu makanan rutinnya setiap hari, bubur hati ayam plus sayur bayam. Eneg banget rasanya, mendingan nasi rawon atau soto ayam yang rasanya lebih enak. "Sehat dari mananya? Mukamu itu masih pucat, dan badanmu juga masih kelihatan lemes begitu? Tensi darahmu pasti juga belum naik, masih pusing kan? Ngaku aja jangan bohong!" Ella balik mengomeli Ardi. Ella ingat betul hasil pemeriksaan Ardi kemarin malam sebelum tidur, tensi darah Ardi saja masih 80/60 mmHg. Jauh dari angka normal, tidak mungkin sekarang bisa tiba-tiba normal. Impossible kalau mengingat tekanan darah Ardi yang cenderung rendah bahkan dalam keadaan normalnya. "Iya, iya Bu dokter galak." Ardi pasrah saja, menurut untuk mulai memakan buburnya pelan-pelan. Karena tidak bernafsu dan eneg. Ella memperhatikan saja Ardi yang sedang memakan buburnya dengan seksama. Dia dapat melihat bahwa sang suami tidak bernafsu untuk makan. "Gimana mau cepet sembuh kamu, Mas? Kalau makannya susah begini?" Ella membatin dalam hati. "Hubby, sini deh aku suapin. Biar cepet habis." Ella akhirnya mengambil inisiatif untuk duduk di tepi ranjang. Dia mengambil mangkuk bubur dari nampan di pangkuan Ardi. "Ayo Aaaaaa," Ella mulai menyodorkan satu sendok bubur. Ardi menurut saja kali ini tanpa memprotes. Takut membangunkan si Singa Betina yang sedang tidur kalau dirinya menolak. Karena bisa membuat sang istri ngambek. Sebagai pebisnis ulung Ardi telah menghitung dengan cermat untung dan rugi dari situasi yang sedang dia hadapi. Dia akan menderita kerugian dua kali lipat kalau Ella sampai ngambek. Mendapat omelan panjang kali lebar dan parahnya tidak akan dapat jatah yang enak-enak dari istrinya itu. Padahal Ardi sudah tiga harian tidak naik ranjang lagi gara-gara masuk rumah sakit, ditambah kondisi tubuhnya yang masih lemah selama penyembuhan. Si Boy kan udah kangen sama sarangnya, El! "Ayo abisin." Ella memaksa Ardi untuk menghabiskan buburnya, setelah lebih dari separuh porsi dihabiskan. "Aku habisin, tapi nanti kamu kasih reward yah," Ardi sedikit merajuk membuat penawaran. "Gak usah aneh-aneh, ayo cepetan abisin biar lekas sembuh. Biar cepet seger dan bisa beraktivitas normal lagi." Ella meneruskan kegiatannya menyuapi Ardi. "Reward-nya apa dulu biar semakin semangat?" Ardi menagih kesanggupan Ella untuk memberi hadiah. "Gak ada! Biarin aja kalau kamu gak mau makan, biar lemes dan gak sembuh-sembuh." jawab Ella tetap tak tergoyahkan. "Masa kamu gak kasian sama suamimu yang ganteng ini, El? Masa aku harus tiduran bahkan makan di atas kasur terus-terusan?" Ardi sudah memasang muka memelas untuk merayu sang istri. "Iya-iya, nanti aku kasih reward." Ella akhirnya hanya bisa mendengus pasrah menyanggupi permintaan sang suami. Meski dalam hati dia penasaran juga dengan reward apa yang kira-kira akan Ardi minta. Si sultan manja ini pasti permintaannya tidak akan jauh-jauh dari hal nakal kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD