Matahari sore meneteskan cahaya terakhirnya di langit, Vale menarik mantel, melangkah cepat keluar dari County Goal, diikuti Sir Alaric. Kedua pria itu menyusuri jalanan berbatu, lorong-lorong kota Haversham yang mulai sepi.
“Kantor pos masih buka?” Nafasnya terputus mencoba mengatur nafas perlahan
“Seharusnya sampai senja, tapi kita harus cepat,” jawab Alaric, matanya menatap setiap toko yang masih menyalakan lampu.
Mereka berlari menuruni jalan sempit, melewati gerbang toko-toko yang hampir tutup, kaki menghentak batu, napas seperti deru mesin saling berpacu dengan waktu. Aroma roti hangat dan kayu bakar tercium ketika melewati toko roti, cukup menggiurkan di perut mereka yang mulai terasa lapar tapi tidak ada yang bisa mengalihkan fokus mereka.
Akhirnya, di sudut jalan, sebuah kantor pos dengan lampu kuning redup terlihat masih menyala. Vale mendorong pintu kayu, lonceng kecil berdenting Cling... suara membuat penjaga melihat ke pintu
Vale dan Alaric mendekati meja "kami ingin mengirim telegram ke London, segera,” berusaha mengatur nafas yang tak beraturan.
“Ya… sangat penting,” tambah Alaric, matanya menatap sekeliling dengan tatapan sinis.
Mr. Marsh, pegawai pos paruh baya, menatap mereka tajam. “Telegram dihitung per kata. Ada berapa kata?”
“Sekitar… 19 kata,” jawab Vale menggosok dagunya dengan jari jempol dan telunjuk sambil melirik ke atas seperti sedang mengira-ngira.
Mr. Marsh mengeluarkan pena dan kertas.
“Oke… biaya untuk 9 kata pertama itu 6 penny. Kata tambahan 10 kata × 1 penny = 10 penny. Jarak Haversham ke London = 25 mil, dikurangi radius gratis 3 mil = 22 mil × 6 penny = 132 penny. Total: 6 + 10 + 132 = 148 penny. Dalam shilling… 12 shilling 4 penny.” melihat Vale dan Alaric bergantian
Alaric meraba kantong celana, wajahnya pucat. “12 shilling 4 penny… tapi… uangnya ada di kuda!” tersenyum dengan bibir tersunging lalu bergetar di ujung
Vale menghembuskan nafas panjang “Kuda… tertinggal di County Goal…” mengeleng kepala di sertai memijat kening, Telingga dan wajah Vale memerah berusaha menutupi rasa malu yang menjalar ke seluruh tubuh
Mr. Marsh menepuk meja keras. “Apa-apaan ini?! Kalian datang dari County Goal? Apa kalian kriminal yang baru bebas!” berjalan menuju Vale dan Alaric
Vale mencoba tersenyum ramah. “Tun..tunggu saya adalah bangsawan, nama saya Julian Roderick Vale" Menepuk d**a dengan bangga
Alaric mengangkat bahu. “Benar saya bisa menjamin identitas Tuanku.”
Mr. Marsh mendorong mereka perlahan ke pintu. “Keluar! Dasarr penipu keparatt berani sekali kalian menyamar sebagai orang paling dermawan di kerajaan Britania, Dasarr penipu busukk, jika kau adalah My Lord Julian Roderick Vale maka aku adalah kaisar Britania!!!” Hentakan kaki dan dorongkan kasar membuat Vale dan Alaric terdorong sampai keluar pintu
Sejenak mereka berdua saling memandang dan memutuskan untuk kembali saat kaki memijak tempat mereka datang, Kuda menghilang dengan semua perbekalan dan kantong uang
Mereka berdua menatap langit malam
Vale menghela napas. “Alaric simpan aib memalukan ini sampai kau meninggal” frustasi merasakan lapar dan dingin di desa terpencil
Alaric tersenyum kecut. “Tentu Tuanku, Harga diri saya terlalu terluka menjadi gelandangan dalam sehari.” duduk di tangga mengambar roti dengan jari telunjuk di atas pasir hiks...hiks...hiks...sedikit terisak " Tuanku, apakah kita akan menjadi b***k" wajal Alaric seperti anak berusia 4 tahun yang merengek pada orang tua
Vale "Astaga...Alaric berhentilah" berusaha melepaskan pelukan Alaric di pingangnya, ke 2 tanganya menjsuhkan wajah Alaric yang menempel pada pingang Vale
Suara serak perempuan tua itu terdengar lebih jelas ketika mereka mendekat. “Hei… kalian pengemis dan gelandangan, ya?” tanyanya, menatap pakaian mereka yang mewah tampak seperti bangsawan jauh dari kesan kumuh atau lusuh. “Atau kalian korban perampokan?” perempuan tua itu mendekat dengan tongkat usang, wajah keriputnya sedikit terlihat di bawah cahaya bulan
Vale dan Alaric saling bertukar pandang, kemudian perempuan itu menggelengkan kepala pelan. “Ah, tak apa. Kalau kalian tak punya tempat bermalam,” lanjutnya, suaranya sedikit lebih lembut, “ada penampungan di dekat peternakan ayam. Kalian bisa menginap di sana. Jangan sampai tidur di jalanan, itu sanggat berbahya.”
Tanpa menunggu jawaban lebih lama, Vale dan Alaric mengangguk cepat. Perempuan itu tersenyum tipis dan menunjuk ke arah timur, ke jalan setapak yang berdebu. “Ikuti jalan ini, kalian akan sampai di sebuah rumah kayu dengan papan berlambang . Cepatlah sebelum gelap.”
Dengan langkah cepat, mereka mulai berjalan mengikuti arahan perempuan tua itu
Dan terlihat Bangunan itu berdiri sunyi di ujung jalan berbatu, kokoh di antara kabut senja. Dinding-dinding batu abu-abu tuanya tampak dingin, namun dari jendela berbingkai kayu gelap memancar cahaya hangat yang terasa lembut.
Di depan halaman, sebuah tiang besi tinggi berdiri tegak, menopang bendera kain besar yang berkibar sedikit tertiup angin malam.
Kainnya tebal, berwarna hitam keabu-abuan dengan tepian warna biru safir, dan di tengahnya terlukis lambang keluarga bangsawan yaitu seekor burung gagak bermahkota perak bertengger di atas perisai hitam, sayapnya terbentang setengah, seperti menjaga sesuatu yang tak terlihat.
Di bawah lambang itu, huruf di sulam dengan warna perak
Fortitudo in Silentio yang memiliki arti Kekuatan dalam keheningan. Dan di bawah tiang, papan sederhana bertuliskan Penampungan milik My Lord Vale, Tempat bagi yang Tak Memiliki tempat berteduh
Dengan wajah bingung baik Vale dan Alaric saling berpandangan berjalan memasuki rumah penampungan
Vale menatap bendera besar yang bergoyang lembut di luar jendela. Kilatan cahaya dari lampu minyak membuat mahkota perak di atas burung gagak tampak hidup sesaat, seolah mengawasinya. Dadanya berdebar bagai gelombang ombak tanpa alasan yang jelas.
Ia tahu lambang itu. Ia menghabiskan masa kecilnya melihat ukiran serupa di ruang makan keluarga, di lilin-lilin peringatan, bahkan di cincin segel yang kini disembunyikannya di saku dalam mantelnya.
Burung gagak bermahkota di atas perisai hitam. Fortitudo in Silentio.
Moto yang selalu diucapkan ayahnya sebelum rapat keluarga, sebuah kalimat yang menjadi dasar kehormatan dan kutukan nama besar bangsawan Vale.
Namun bagaimana mungkin lambang keluarganya bisa berkibar di atas sebuah rumah penampungan terpencil seperti ini?
Tempat kumuh tapi terpelihara dengan baik, jauh dari kemewahan Bathshire dan pengaruh bangsawan mana pun.
Ia menatap sekeliling dengan lebih saksama.
Di dinding dekat perapian tergantung lambang yang sama disulam di sehelai kain tua, mungkin telah ada di sana bertahun-tahun. Di bawahnya tertera tulisan yang mulai memudar “Fortitudo in Silentio.”
Alaric yang duduk di seberang menatapnya heran.
“Ada apa Tuanku?” bisiknya.
Vale tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap sup yang sudah mulai mendingin.
Tangannya gemetar halus ketika memecahkan roti, dan suaranya rendah ketika akhirnya berbicara
“Tempat ini… memakai lambang keluargaku.”
Alaric mengerutkan kening. “ Bagaimana mungkin Tuanku, Apakah ini rencana musuh Tuanku?”
Vale menggeleng perlahan. “Tidak. Seharusnya tidak.”
Tatapannya kembali pada bendera di luar, yang berkibar di tengah hujan tipis.
“Keadaan ini terlalu mencurigakan, Sebaiknya kita tak memakan apapun.” Vale meletakan kembali roti di tanganya padahal aroma sup sayur membuatnya kelaparan
Vale dan Alaric merasakan keheningan meski di sekitarnya terdengar suara sendok makan dan denting gelas di meja-meja lain.
Lalu, entah kenapa, rumah penampungan terasa aneh, kini malah terasa sangat mencurigakan.