Bayangan di Balik Jendela Marmer

1330 Words
Kereta kuda bangsawan berderak pelan di atas jalanan batu yang masih basah oleh embun pagi musim semi. Di sekeliling, pohon-pohon mulai mekar, aroma tanah hangat bercampur harum bunga liar menyelimuti udara. Vale duduk tegak di kursi kereta, Dia meremas tangan sendiri, jari-jari saling mengait sampai kulitnya memerah, gerakan kecil itu satu-satunya yang bisa menenangkan detak jantungnya yang tak karuan, matanya menatap pasar yang sibuk di kanan dan kirinya. Para pedagang mulai menata dagangan mereka di bawah sinar matahari pagi. Seorang wanita paruh baya menumpuk apel merah mengkilap di atas keranjang anyaman, kain sarung biru pudarnya berkibar lembut ketika angin sepoi menyapu. Di dekatnya, anak-anak berlarian dengan kantong kecil berisi kacang dan kue, tawa mereka terdengar riang, membaur dengan suara pedagang yang menawarkan dagangannya pada pejalan kaki. Para pria mengenakan jaket wol tipis dan topi datar, sementara wanita-wanita menggunakan shawl lembut berwarna pastel, sebagian membawa keranjang bambu berisi sayur-sayuran segar dan bahan makanan seperti ikan, buah serta roti. Seorang pedagang kain menjemur gulungan sutra halus di bawah sinar matahari, warnanya bersinar seperti permata di antara kerumunan. Namun semua itu hanyalah latar bagi pikiran Vale. Ia melamun, membayangkan ancaman sangsi dari kerajaan yang akan menggunakan kesempatan ini untuk mengambil keuntungan, jika kasus kapal The Selene tidak terselesaikan dia bisa saja Kehilangan gelarnya serta seluruh asetnya. Wajah Isolde muncul di pikirannya pertunangan yang diatur, tanpa cinta yang sesungguhnya. Tapi hatinya justru tertarik pada Evelina, yang selalu menimbulkan kegelisahan dan kehangatan yang Terasa seperti aliran air perlahan-lahan mengisi seluruh hidupnya. Kereta terus melaju, derap roda kuda menjadi irama yang mengiringi kebimbangan hatinya. Di tepi jalan, pedagang muda menata kain sutra hijau zamrud, warnanya bersinar di bawah sinar matahari musim semi. Vale teringat akan Evelina, dan senyum hangat ketika Gadis itu masih remaja. Kereta kuda bangsawan melaju pelan menembus jalan yang mengarah ke istana. Musim semi menebar harum bunga tulip dan mawar dari taman di kedua sisi, sementara sinar matahari pagi membuat marmer istana yang berkilau. Di depan gerbang utama, dua penjaga berdiri tegak, postur mereka kokoh namun anggun. Seragam mereka mencolok jaket biru gelap berlapis emas di epaulet, celana putih rapi, dan sepatu hitam mengilap. Topi tinggi berbentuk silinder dengan emblem kerajaan terpampang di depan menambahkan kesan resmi dan aristokrat. Ketika kereta mendekat, salah seorang penjaga mengangkat tangan kanan, telapak menghadap ke bawah, sambil berkata dengan nada tegas namun hormat “Selamat pagi, Tuan Vale. Selamat datang di Istana Kerajaan.” Vale membalas dengan anggukan ringan, mata masih menatap fasad istana yang menjulang. Kereta berhenti di halaman depan, di mana lantai marmer putih memantulkan sinar matahari pagi. Angin sepoi mengibaskan mantel Vale, dan aroma bunga serta tanah basah menyelinap ke dalam kereta, mencampur dengan ketegangan yang ia rasakan. Vale menatap para anggota parlemen yang duduk menghadapnya di aula pribadi istana. Ketua sidang, seorang bangsawan tua dengan janggut abu-abu rapi, membuka percakapan “Baron Vale, parlemen kembali menegaskan, kasus kapal The Selene menimbulkan risiko besar bagi keamanan kerajaan. Kami harus mengambil langkah tegas.” Seorang anggota parlemen lain, wanita muda berpakaian formal gelap dengan sorot mata tajam, menambahkan “Selain itu, isu senjata yang ditemukan di kapal Anda menunjukkan kemungkinan pelanggaran protokol kerajaan. Setengah aset Anda harus disita sebagai hukuman, demi menunjukkan ketegasan parlemen kepada publik.” Vale menegakkan tubuhnya, menatap mereka satu per satu. “Saya hadir untuk rakyat, bukan untuk melawan kerajaan. Saya memberikan makanan, obat-obatan, dan bantuan selama ini. Apakah itu harus dianggap sebagai kesalahan?” Sir Alaric, tangan kanannya, menyela dengan suara rendah namun tegas: “Tuan, ini jelas ada sabotase. Ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkan reputasi Anda, meski isu bahwa nama Tuan sudah dibersihkan sengaja disebarkan agar publik tidak membenci istana. Kerajaan sendiri tahu peran penting Tuan.” Seorang anggota parlemen lain, pria paruh baya berkumis tebal, menekankan “Bukan hanya soal bantuan. Ini tentang protokol dan hukum kerajaan. Tindakan tegas diperlukan agar tidak ada pihak yang mengambil kebebasan di atas hukum.” Vale tersenyum tipis melihat anggota parlemen dengan amarahnya memuncak. “Hukum? Apakah hukum juga menutup mata terhadap penderitaan rakyat?” Suara beliau meninggi. “Sepanjang hidupku aku hadir di tengah rakyat, dan ini balasannya?” Ketua sidang menghela napas panjang. “Baron Vale, kita memahami jasa Anda, namun kita juga bertanggung jawab pada parlemen dan keseimbangan kerajaan. Tidak ada pilihan lain selain menindak sesuai prosedur.” di iringi senyuman tipis Vale berdiri tegap, mata menyala, tubuhnya menegang menanggapi ultimatum parlemen. Kemarahan hampir meledak dari setiap kata yang tersimpan di dadanya. Sir Alaric, tangan kanannya, melangkah mendekat dan menaruh tangan di bahu Vale, menatapnya dengan mata tajam namun menenangkan. “Tuan… dengarkan aku,” suara Alaric rendah namun tegas. “Aku tahu kemarahanmu benar, dan aku mengerti ketidakadilan ini. Tapi sekarang bukan saatnya untuk melawan dengan emosi. Sebaiknya kita fokus menyelamatkan awak kapal dan kapten. Mereka yang bergantung padamu paling rentan saat ini.” Vale memijat pelipisnya dan membuang nafas panjang, pandangannya menurun sejenak ke lantai marmer. “Aku… aku tak bisa membiarkan mereka…” suaranya bergetar, suara kemarahan bercampur kecewa1. “Persis,” Alaric menyela lembut, “itulah kenapa kita harus bertindak cerdas, bukan terburu-buru. Jangan biarkan kemarahan membuatmu kehilangan kesempatan menyelamatkan mereka. Ingat, Tuan kerajaan tahu jasa dan peranmu. Kita bisa gunakan itu, sambil merencanakan langkah selanjutnya.” Vale menarik napas panjang, perlahan menenangkan diri. Sorot matanya tetap tajam, namun kepanikan dan kemarahan mulai mereda sedikit. Ia menyadari bahwa pertarungan ini bukan hanya soal dirinya, tapi juga tentang keselamatan para awak kapal yang berada di bawah namanya Sore itu, lampu matahari menembus jendela-jendela tinggi ruang parlemen, menyinari lantai kayu yang mengilap. Suasana serius masih terasa setelah diskusi panjang tentang kasus para awak kapal dan kapten mereka. Vale menghela napas, menatap dokumen yang masih tersisa di meja, sementara Alaric menutup catatan penting itu dengan hati-hati. “Sudah cukup untuk hari ini,” gumamnya pelan, dan tanpa menunggu jawaban, mereka melangkah keluar. Suara langkah mereka menyatu dengan derap kaki mengema di koridor. Di halaman parlemen, kereta kuda sudah menunggu. Hewan-hewan itu meringkik lembut, menendang di The Courtyard Clip...Clop...Clip...sepatu kuda berjalan di tempat, siap membawa mereka ke County Gaol di pinggiran kota. Mereka naik, dan roda kereta berderit pelan saat bergerak meninggalkan pusat kerajaan. Perjalanan sore itu membawa mereka melalui jalanan yang mulai sepi, cahaya matahari perlahan mulai terbenam, memantul di atap rumah-rumah tua dan trotoar batu. Angin sore membelai wajah, membawa aroma kayu bakar dan debu kota. Di dalam kereta, Vale menundukkan kepala, sementara Alaric menatap lurus ke depan, mata penuh waspada. Begitu mereka mendekati County Gaol, tembok tinggi dan gerbang besi muncul di kejauhan, menyatu dengan bayangan sore yang memanjang. Dari kejauhan, suara rantai dan jeritan samar terdengar Vale dan Sir Alaric menuruni jalan setapak yang berkelok menuju penjara County Goal. Bangunan tua itu tampak suram di bawah sinar musim semi yang hangat dinding batu hitamnya lembap, retak-retak, dan menempel lumut hijau kusam. Bau busuk langsung menyergap begitu mereka membuka pintu berat dari besi berkarat. Di dalam, suasana mencekam. Lantai penuh dengan lumpur, sisa air kotor, dan kotoran manusia yang belum dibersihkan. Bau ammonia dan roti basi bercampur menjadi aroma tajam yang menusuk hidung. Dinding-dinding lembap meneteskan air, meninggalkan bekas-gelap yang menghitam dan berjamur. Tiap sel hanyalah kotak sempit dari besi tua, pintu berderit saat digeser. Para awak kapal terlihat lelah dan kotor, kulit mereka penuh luka lebam, pakaian kotor dan basah oleh lembap. Beberapa terduduk di sudut, menahan rasa dingin, sementara yang lain terbaring di lantai berlumut, wajah mereka pucat, bibir pecah-pecah dan kering, mata cekung di tambah lingkaran gelap di bawah mata Vale menahan napas, dadanya sesak melihat kondisi para awak yang menderita. Sir Alaric berdiri di sampingnya tetap tenang, matanya melihat setiap awak kapal dan beralih ke arah penjaga yang berjaga di lorong sempit. “Sialan…” bentak Vale di iringi tendangan keras “Ini lebih buruk dari yang kubayangkan.” Alaric menepuk bahu Vale dengan lembut, menenangkan sekaligus mengingatkan “Sekarang bukan waktu untuk emosi Tuanku. Fokus kita menyelamatkan mereka, Tuan. Kita harus cepat sebelum situasi ini makin memburuk. Lihat kondisi mereka… mereka bisa mati jika terlalu lama di sini.”​.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD