Dua tahun sebelumnya.
Apa yang diinginkan semua wanita saat ini telah dimiliki oleh Karina Shan Daru. Usia muda, cantik, pintar, berkelas, anggun dan juga kepercayaan diri yang sangat tinggi. Bahkan wanita sekelas Miss universe saja bisa kalah saing dengan kecantikan Karina. Terlebih lagi terlahir sebagai satu-satunya anak dari keluarga kaya raya dengan bisnis yang sedang berkembang di dalam hingga keluar negeri. Tapi hal itu tak membuat Karina menjadi wanita yang tinggi hati.
Sejak kecil, ibunya telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam dirinya. Bagaimana cara memperlakukan orang yang statusnya jauh di bawah mereka. Salah satu kegiatan rutin yang kerap diadakan ibunya adalah mengunjungi beberapa panti asuhan dan rumah singgah. Keluarga Daru sendiri memiliki yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan dan hal itu pula lah yang membuat Karina menjadi wanita yang rendah hati mengikuti jejak ibunya.
Seperti bulan-bulan sebelumnya ketika Karina mengunjungi salah satu panti asuhan di luar pengawasan yayasan ibunya. Saat itu Karina pergi bersama sahabatnya, satu-satunya teman yang dipercaya oleh keluarga Daru setelah melewati proses panjang tentunya. Wanita muda itu sungguh tak sabar karena panti asuhan ini adalah kandidat panti asuhan yang ingin dia beri bantuan setiap bulan. Oleh sebab itu, Karina harus memastikan jika beberapa oknum yang berada di sana adalah orang yang jujur.
Sama seperti beberapa kunjungan sebelumnya, Karina selalu melihat seorang pria muda yang selalu berkunjung ke sana. Bukan sekali dua kali mata hazel Karina menangkap sosok pria itu. Awalnya Karina berpikir pria itu adalah salah satu petugas di panti asuhan itu. Sepertinya dugaan Karina meleset.
Sebagai seorang wanita normal, hati Karina merasa bergetar ketika memandangi wajah pria itu. Jujur saja, Karina tak pernah merasakan getaran tak wajar ini sebelumnya. Karina belum pernah jatuh cinta sebelumnya.
Dan nilai plus yang dia kantongi untuk pria itu adalah pria itu ternyata salah satu pria yang berhati lembut dan dermawan. Jadi pria tersebut sedikit banyak telah mencuri hati Karina yang memang belum pernah di jamah oleh para pria.
Bukannya hendak berkata sombong tapi hingga usianya menginjak dua puluh empat tahun, dia belum pernah merasakan aroma manisnya percintaan. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk mengejar cita-cita agar kelak dia bisa membantu perusahaan ayahnya. Sehingga urusan percintaan, Karina tak begitu mengambil pusing.
"Ciee yang diam-diam curi-curi pandang?" Suara Meliana menggoda Karina karena tertangkap basah tengah mengamati seorang pria. "Gak mau samperin?!" Lagi-lagi Meliana memberi masukan sambil menepuk-nepuk pundak kanan Karina pelan.
Karina yang ketahuan langsung kelabakan dan berusaha menetralkan raut wajahnya seperti semula. Tapi sayangnya sisa-sisa jejak rona merah itu masih tergambar jelas di sana. Hal itu pun tertangkap jelas di indera penglihatan Meliana.
"Gak, siapa yang curi-curi pandang?" Sanggah Karina sambil membuang muka. "Mana tau dia udah punya pacar," sambung Karina dengan suara pelan.
Meliana hanya geleng-geleng kepala. Lagian kalaupun toh si pria itu udah punya pacar masih ada kemungkinan untuk putus. Menurut Meliana, sebelum janur kuning melengkung masih bisa di tikung.
Meliana menyikut pinggang Karina pelan sambil memberi kode ke arah si pria itu. "Seorang Daru takut?!" Sungguh Meliala penasaran dengan Karina.
Jujur saja jika Meliana sangat iri dengan segala kesempurnaan yang dimiliki Karina dari berbagai aspek. Tapi Meliana paham ketika dia dekat dengan Karina dan kekurangan wanita itu adalah tak pernah merasakan getar-getar dan aroma manisnya dari cinta. Entah itu cinta monyet atau sekedar pdkt. Ketika Meliana tahu hal itu, dia hanya bisa menertawakan kebodohannya karena rasa iri nya saat itu. Karina tetaplah seorang manusia yang masih memiliki kekurangan.
"Gak," jawab Karina cepat dan dia takut ketahuan oleh sahabatnya itu. "Kenapa kita bahas dia sih." Karina berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Meliana hanya tertawa kecil. "Ini nih kalau keseringan berteman dengan angka-angka," sindir Meliana sambil tertawa. "Udah jelas kamu tuh suka banget sama tuh cowok tapi tetap aja ngeles," terang Meliana karena walaupun dia tak sehebat Karina tapi untuk pengalaman percintaan, Meliana lumayan jago.
Karina bersedekap sambil menatap pria itu sebentar lalu menggelengkan kepalanya. Rasanya mustahil dia bisa suka dengan seorang pria yang bahkan tak pernah berinteraksi dengan nya. Jangankan berinteraksi, sekedar mengetahui namanya saja Karina tak tahu sama sekali.
Karina menghela nafas. "intinya ketika lihat wajahnya, hati ini ngerasa adem," bisik Karina pelan. "Bisa jadi dia udah punya pacar dan aku gak mau ngerusak hubungan orang."
Meliana mengerutkan keningnya ketika mendengar hipotesa Karina. "Mau di bantu gak?" Tawar Meliana karena dia merasa jika karina masih terus begini, bisa-bisa sahabatnya itu tak akan pernah menemukan pasangan.
Karina menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini gak dulu deh," tolak Karina dan membuat Meliana sedikit cemberut.
"Baiklah baiklah nyonya Karina," ucap Meliana sedikit lesu.
***
Alina baru saja keluar dari ruangan ibu pengurus panti asuhan tempat di mana dia tumbuh besar di sana. Wajah wanita itu tampak ceria setelah bertemu dengan sosok wanita yang telah dia anggap sebagai ibunya sendiri.
"Ibu cemas kamu malah ngekos," ujar ibu panti sambil memandang wajah Alina khawatir. "Kenapa gak tinggal di sini saja."
Alina menggenggam tangan wanita tua itu sambil tersenyum hangat. "Alina ingin belajar mandiri ibu, lagian Alina tinggal gak jauh dari tempat kerja. Kamar Alina di sini bisa di pakai sama adek-adek," jawab Alina dengan lembut. "ibu gak usah cemas, bos nya Alina orang yang baik bu."
Walaupun di bilang begitu tetap saja terselip rasa cemas. Apalagi Alina tak pernah pergi jauh sebelumnya dari panti asuhan. Apakah udah tiba saatnya dia melepaskan Alina? Ketika teman-temannya yang lain telah di adopsi oleh keluarga baru, hanya Alina yang masih tinggal di panti hingga beranjak dewasa.
"Ibu, izinin Alina yaa." Alina membujuk ibu panti karena dia ingin belajar mandiri. "Alina janji bakalan sering ke sini. Bawain adek-adek jajan yang banyak," janji Alina karena dia tahu bagaimana rasanya saat-saat dimana mereka sulit untuk makan. Sebagai anak tertua di sini, Alina mempunyai kewajiban membantu adek-adek nya di sini.
"Kedatangan kamu udah cukup bagi kami, Alina."
Hati Alina terenyuh. Dari dulu ibu memang seperti itu. Alina langsung merengkuh tubuh wanita tua itu dengan cukup erat. "Alina janji ibu, Alina akan bahagiakan ibu dan juga adek-adek. Alina janji bakalan bantu rumah kita."
Ibu panti menepuk-nepuk pundak Alina dengan rasa sayang. "Iya, ibu percaya." Alina dapat mendengar suara ibu panti yang sedikit bergetar. "Ibu doakan semoga kamu sehat-sehat selalu."
Alina mengurau pelukan mereka dan menatap wajah ibu panti dengan senyum sedih. "Alina pamit dulu ya, Bu." Alina pun mencium punggung tangan ibu panti.
"Hati-hati kerjanya."
Alina mengangguk lalu dengan langkah yang mantap dia pun beranjak ke tempatnya yang baru. Iya, dia akan pergi ke tempat Adam. Tempat dimana masa depannya telah terbentang.