6. Bertemu Ivy

2111 Words
Kecupan ringan mendarat tepat di atas dahi lebih dari tiga kali. Tak cukup dengan itu, Nick juga ikut mengeratkan peluk seraya mengusap helai rambut. Menenangkan dan mendamaikan. Nick tidak mengulangi pertanyaan tentang apa yang terjadi pada Jenna hingga membuat wanita itu tersedu. Dia tahu bahwa pada situasi seperti ini, Jenna tak akan menjawab. Nick lebih memilih untuk membiarkan tangisnya berhenti dengan sendirinya seraya mengucapkan berbagai ungkapan bahwa dia akan selalu ada bersama Jenna. Tak butuh waktu lama hingga tangis Jenna mereda. Dia membiarkan jemari hangat milik Nick menyeka sisa basah di kedua ujung mata. Lelaki satu ini terkadang memang bisa semanis ini. Jenna bahkan tak bisa tidak memujinya dalam hati. Seberkas senyum muncul tipis di bibir Jenna. Dia sedikit terlena dengan perhatian kecil dari Nick namun dampaknya besar untuk dirinya. Namun, tak lebih dari lima detik, akal sehat Jenna kembali. Matanya mengerjap beberapa kali lalu buru-buru melepaskan diri dari rengkuhan tangan Nick. "Aku tunggu di mobil," ucap Jenna seraya berbalik dan setengah berlari ke arah tempat parkir. "Seenggaknya kamu bisa say goodbye dulu sama keluarga kamu." "Nein!" pekik Jenna yang sudah semakin menjauh dari tempat dimana Nick berdiri. Hanya sekitar sepuluh menit, tepat setelah menyelesaikan acara makan bersama, Nick segera membawa seluruh anggota keluarganya untuk kembali bertolak ke ibukota. Tentu semua orang bertanya-tanya tentang Jenna yang tidak memunculkan batang hidungnya. Namun, Nick berhasil meredam bisik-bisik ungkapan tidak suka dengan jawaban bahwa Jenna sedang sakit kepala dan memilih tidur di mobil mereka. "Masak iya, cuma gara-gara sakit kepala aja nggak mau pamit sama orang tua yang disini. Udah ilang dia sopan santunnya," celetuk salah seorang anggota keluarga dari pihak ayah Jenna "Saya yang nyuruh. Apa ini berarti saya nggak sopan?" "Ah, bisa aja bercandanya. Nggak perlu dibelain gitu, Nick. Ini pasti kemauan dia sendiri. Jenna emang suka gitu. Sifatnya nggak baik. Dia juga manja dari kecil," seloroh salah seorang yang lain. "Kalo saya udah bilang A, berarti A. Nggak ada B apalagi C," pungkas Nick. Walaupun tidak puas dengan jawaban Nick, namun tak ada satupun yang mau mendebat. Apalagi raut wajah Nick sudah berubah lebih dingin. Di saat seperti ini, Nick terlihat lebih mirip seperti saat ia sedang bicara dengan bawahannya. Meski masih berusaha saling bersikap baik, namun di antara keluarga Jenna dan keluarga Nick sudah tak lagi sehangat saat kali pertama mereka saling menyapa. Terutama Nick. Dia bahkan menolak tersenyum saat harus menyalami satu per satu sederet kerabat ayah dan ibu calon istrinya. Nick sejak dulu berprinsip untuk tidak mau repot-repot berpura-pura baik. Walau dia pandai menutupi ekspresi tak suka, namun aura dinginnya tetap saja menyeruak. Nick sudah cukup muak dengan sikap mereka yang secara terang-terangan menyebut Jenna dengan berbagai kalimat merendahkan. Itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi oleh keluarganya sendiri. "Jenna adalah salah satu wanita terbaik yang pernah kami temui. Kami sangat bersyukur bisa membawa dia menjadi salah satu anggota keluarga kami. Dan kami yakin, mendiang orang tua Jenna juga sama bersyukurnya," ungkap John yang menjadi kalimat terakhir sebelum mereka angkat kaki dari rumah itu. Keluarga Nick sebenarnya baru mengenal Jenna dan tidak tahu banyak soal dirinya. Namun ungkapan John sepertinya memang sangat dibutuhkan disaat seperti ini. Selain untuk menjaga nama baik Schneider agar tidak terkesan seolah Nick salah memilih pasangan, ucapan final dari John juga cukup ampuh menyumpal mulut Asep dan semua koloninya. Terbukti mereka tak bisa membalas barang hanya satu kata. Begitu Nick masuk ke dalam mobil, hal yang pertama kali Jenna tanyakan adalah tentang ucapan buruk apa yang Nick dengar. Jenna seolah sudah yakin bahwa keluarganya pasti membicarakan hal yang tidak baik tentangnya. Jika dilihat dari perangainya, mereka memang tidak terlihat sungkan menjelekkan Jenna kepada keluarga calon mempelai pria. "Nggak ngomong apa-apa. Kenapa?" balas Nick. "Beneran?" "Iya. Lagian nggak perlu dikasih tahu juga aku udah tahu banyak soal jeleknya kamu. Kamu ngeyel, makannya banyak, suka lupa cuci tangan kalau mau makan, banyak pokoknya," gurau Nick. Jenna hanya berdecih, namun tak urung suasana hatinya membaik juga dengan jawaban Nick yang terkesan mengejek tapi cukup bisa menghibur. "So? Ada masalah apa? Kamu bisa cerita sama aku kalo kamu mau," ucap Nick begitu mobil mereka melaju. Jenna hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menatap nanar ke arah jalanan. Selain memang tidak ingin menceritakan apa yang baru saja terjadi, dia juga memang enggan mengingat-ingat kejadian menyesakkan yang sialnya dilakukan oleh sepupunya sendiri. Melihat Jenna tak merespon pertanyaan darinya, Nick tidak lagi berniat melayangkan pertanyaan kedua. Bagi Nick, Jenna akan bicara dengan sendirinya jika memang ia ingin. "Hp aku mana? Kembaliin," pinta Jenna tiba-tiba. "Buat apa?" "Sejak kapan kamu punya hak buat usik privasi aku? Aku mau apa aja bebas dong," balas Jenna. "Mulai nyebelin lagi. Nggak inget barusan peluk-peluk aku sambil nangis?" "Apaan sih. Orang nggak sengaja." "Iya deh. Nggak sengaja peluk sampai lama banget, sampai nggak denger dipanggil-panggil sama Opa." Jenna terlonjak kaget. Wajahnya yang semula dibuang ke arah jendela mobil kini beralih mendekat ke wajah Nick. "Beneran tadi ada Opa?" Nick tersenyum simpul. "Oh Mein Gott. Harga diri aku terjun bebas ketahuan meluk orang kayak kamu," jawab Jenna. Mobil yang semula melaju dengan kecepatan sedang seketika berhenti tiba-tiba. Nick menoleh ke arah Jenna dengan mata yang memicing pertanda sebuah ketersinggungan yang bercampur kekesalan. "Orang kayak aku?!" pekik Nick kencang yang hanya dibalas tawa Jenna yang tak kalah kencang. *** Setelah melakukan janji temu dengan Ivy saat masih dalam perjalanan tadi, Jenna kembali menelponnya untuk memberi kabar bahwa ia sudah sampai di cafe yang mereka maksud. Nick memutuskan untuk meninggalkan Jenna bersama sahabatnya itu dan memilih kembali ke rumah keluarga besar Schneider. "Nanti aku jemput," ucap Nick. Jenna mengangguk. "Danke." Setelah turun dari mobil, Jenna kembali berbalik. "Nick, emang nggak masalah kalau aku nggak ikut ngumpul?" "Ya masalah. Makanya nanti aku jemput terus kita langsung nyusul kesana." "Nggak papa telat?" tanya Jenna ragu. "It's ok. Take your time." Tepat setelah mobil Nick melaju, di saat itu juga ia melihat Ivy keluar dari sebuah taxi berwarna biru. Dia melambai sambil setengah berlari kemudian segera memeluk kencang disusul dengan melayangkan beberapa cubitan di pipi. "Aku liat kamu turun dari mobil cowok. Your man?" tanya Ivy dengan mata memicing. Jenna tidak menjawab. Dia memilih menarik pelan pergelangan tangan sahabatnya sambil melangkahkan kaki memasuki cafe bergaya eropa. Disini cukup ramai. Jenna akhirnya memilih kursi paling ujung yang posisinya paling jauh dengan kerumunan. "Kamu ngilang, nggak ada kabar, dan kayaknya ada banyak hal yang harus kamu ceritain," cerocos Ivy tidak sabaran. Setelah selesai memesan dua cangkir cokelat dan beberapa makanan ringan, Jenna memulai ceritanya. Semua dimulai sejak ia kembali bertemu dengan Nick di pesta pernikahan temannya. Sebuah pertemuan yang menjadi awal dimana Jenna terjerat dalam sebuah perjanjian pernikahan. "Nick? Nickolas Schneider? Jenna, are you crazy?" ucap Ivy seraya membelalakkan matanya. "Aku harap kamu nggak serius, Jenna." "Nein, aku serius," tegas Jenna. "Oh Mein Gott. Kok bisa dia disini?" Jenna lantas menjelaskan bahwa Nick juga merupakan pemimpin cabang perusahaan Schneider yang ada di Indonesia. Ayahnya menikahi wanita Indonesia, sehingga status kewarganegaraannya berubah menjadi WNI. Namun tahun ini, beliau melepas masa kepemimpinan dan melimpahkannya kepada Nick. Kebetulan pekan ini Nick sedang menyelesaikan tugas disini, dan kebetulan lagi, kemarin Nick juga mendatangi pesta pernikahan temannya, yaitu si mempelai laki-laki. "Itu bukan kebetulan. Itu namanya takdir," ucap Ivy. "Dosaku terlalu banyak kayaknya. Sampai-sampai Tuhan menghukum dengan ngasih takdir ketemu dia, dan jadi istri dia. Oh Mein Gott. Aku harus nikah sama orang asing." "Kalian udah kenal tiga tahun lebih, Jenna. Dia bukan orang asing lagi," kilah Ivy. "Tapi ini beda lagi. Dia Nick. Cowok yang —," Jenna menggantung ucapannya seraya mengedikkan bahu membayangkan kebersamaan mereka di Jerman yang terasa seperti di neraka. "Ivy, please. Can you imagine?" "I can. He's so hot." Jenna sontak melemparkan sebuah tisu yang sudah digulung membentuk bola dan berhasil mendarat tepat di dahi Ivy. "Aku serius. Kamu tahu sendiri, dia itu cowok aneh. Kadang baik, kadang jahat, kadang psycho, kadang penyayang. Tapi yang jelas, lebih banyak jeleknya daripada baiknya," papar Jenna. "Terus kenapa kamu iya-in aja waktu dia ngajak nikah?" Setelahnya, Jenna kembali bercerita tentang tiap detail kejadian. Upaya kabur dan usaha untuk menolak perjanjian pernikahan sudah Jenna lakukan. Namun sialnya, semua tetap berujung pada keharusan Jenna untuk menjadi istri pura-pura Nick. Saat langit mulai menggelap, cahaya di mata Jenna juga ikut gelap ketika pada akhirnya ia bercerita tentang pertemuan keluarga beberapa jam yang lalu. Jenna pikir, menjadi istri Nick adalah hal paling buruk yang terjadi selama ia hidup. Namun, memiliki keluarga yang ternyata tidak ada di pihaknya, rasanya jauh lebih buruk. Menyakitkan, menyesakkan, dan entahlah. Jenna bahkan tidak dapat menemukan kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini. Ivy sedikit banyak tahu tentang hubungan renggang antara Jenna dan keluarganya yang terjadi setelah kedua orang tuanya meninggal. Tapi, dia tidak pernah menyangka bahwa ternyata semua separah ini. Dalam hati, Ivy sempat membatin, ternyata antagonis yang sebenarnya benar-benar nyata ada. Dan sayangnya, mereka memiliki ikatan darah yang dekat. "Dari situ aku kayak yang udah pasrah aja, Vy. Mungkin emang lebih baik aku ikut Nick daripada aku disini dan terus bergesekan sama mereka," keluh Jenna. "Kok kamu ngomongnya seolah-olah kamu nggak punya siapa-siapa selain Nick. Aku kamu angggep apa?" "Bukan gitu. Kamu tahu, kamu selalu nomor satu. Tapi buat sekarang, kayaknya aku emang harus sama Nick. Toh, ada untungnya juga. Kemungkinan nanti aku bakal jadi warga negara Jerman. Setelah cerai, aku bakal tetep tinggal disana, dan kerja disana. Karir disana bakal lebih baik, aku yakin," ucap Jenna panjang lebar. "Aku nggak tahu harus sedih apa seneng. Kamu udah ngomongin perceraian bahkan sebelum pernikahan kamu berlangsung," lirih Ivy. Jenna menarik bibirnya ke samping. Sebuah senyum getir tercetak seolah sedang mengejek dirinya sendiri. "Aku juga udah nggak tahu gimana perasaan aku sekarang. Yang jelas berantakan." Ivy mengusap lembut kedua punggung tangan Jenna. Berusaha memberi kekuatan walau entah upayanya akan berdampak atau tidak. Di kasus ini, Ivy akui ia tidak bisa berbuat banyak. Selain terus mendukung dan selalu ada saat Jenna membutuhkannya, tidak ada lagi yang bisa Ivy lakukan. Ivy memutuskan untuk memilih topik yang ringan pada pembicaraan mereka selanjutnya. Ia bercerita tentang rencananya yang juga akan kembali bekerja di Jerman. Setidaknya, hari ini ada satu berita baik. Dengan keberadaan Ivy di negara yang sama, Jenna pasti tidak akan merasa sendiri. Dan benar saja. Jenna bisa sedikit tersenyum dan bahkan tertawa menanggapi berbagai rencana akhir pekan konyol yang akan mereka habiskan bersama. Walau sepertinya nanti mereka sudah tidak dapat tinggal di unit apartemen yang sama, namun menghabiskan hari bersama pasti akan sangat menyenangkan. Berburu tiket bioskop yang memiliki diskon popcorn, atau antri berjam-jam demi dua buah es krim gratis saat promo soft opening. Bercengkrama dengan Ivy tidak pernah tidak menyenangkan. Bahkan saat situasi terburuk seperti ini pun Jenna masih bisa tertawa. "Bodyguard kamu dateng," bisik Ivy saat melihat seorang lelaki tinggi semampai mendekat ke arah mereka. Jenna berbalik dan langsung mendapati Nick tengah tersenyum ke arahnya. "Hai, lama nggak ketemu," sapa Nick kepada Ivy. Ivy menanggapi dengan baik. Ini memang bukan pertama kali mereka bertatap muka. Saat berada di Jerman, Ivy pernah bertemu dengan Nick sekitar empat atau lima kali. "Belum selesai?" tanya Nick kepada Jenna. "Udah, tapi aku habisin ini dulu," jawab Jenna seraya menunjuk makanan dan minuman yang ada di atas meja. "Minta, aku haus," ucap Nick saat Jenna sedang menyesap minumannya. "Nggak. Jijik. Pesen sendiri," kilah Jenna. "Sharing gelas jijik, tapi kalo ciuman kok nggak jijik?" Jenna membulatkan matanya bersamaan dengan suara Ivy yang terbatuk karena tersedak. Sedangkan Nick bersikap acuh dan memilih memakan kentang goreng yang hanya tersisa sedikit. Suasana berubah semakin canggung. Apalagi saat dengan sengaja Nick menyodorkan sebuah kentang tepat di depan mulut Jenna. "Mau?" "Enggak. Kenyang." "Kenyang apa malu karena diliat Ivy?" Jenna tidak bisa menahan untuk tidak memutar bola matanya. Sepertinya ia harus pergi sekarang juga sebelum ulah Nick semakin menjadi. "Vy, I have to go. Kita ketemu lagi ya. Secepatnya," ucap Jenna. "Ok. Kabarin aja," jawab Ivy yang dibalas dengan isyarat ibu jari dari Jenna. Setelah ikut mengucap salam perpisahan kepada Ivy, Nick segera beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan bersisian dengan Jenna, meraih tangan kanannya, kemudian menggenggamnya erat. Ivy masih bisa melihat upaya Jenna melepas paksa genggaman tangan Nick. Kurang dari tiga detik, kedua tangan mereka pun terurai. Namun, Ivy harus tersenyum geli saat melihat tangan Nick berpindah untuk meraih pinggang Jenna. Tak kuat menahan tawa, Ivy segera tergelak begitu sosok keduanya hilang dari pandangan mata. Dengan cepat, ia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu yang segera ia kirim kepada Jenna saat itu juga. Ivy: Jenna, aku nggak khawatir tentang bagaimana kamu melewati pernikahan ini selama satu tahun. Aku yakin kamu pasti bisa. Tapi aku khawatir kamu gagal menjaga hati. Kayaknya sulit bagi kamu buat nggak jatuh cinta sama dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD