Chapter 12

2510 Words
    Setelah Subuh, Aditya sudah kembali ke kamarnya dan tidur bersama Aira yang masih terlelap. Sementara itu, para wanita sedang membereskan sisa-sisa pesta kemarin.     "Ayah, aku minta maaf," ujar Aira dengan lirih sambil setengah sadar ketika Aditya tidur di sampingnya.     "Diam kau! Sana, tidur lagi! Awas kalau kau meminta yang aneh-aneh lagi!" ancam Aditya.     Aira mengangguk pelan, kemudian memejamkan matanya kembali. Tak hanya itu, ia melingkarkan tangan kecilnya ke perut Aditya, membuat lelaki itu tersentak dan dengan segera ia coba melepaskan pelukan putrinya. Namun pelukan putrinya tidak mau lepas, justru putrinya semakin mengeratkan pelukannya. Ia pun pasrah. Lagi pula matanya terlalu mengatuk. Ia pun membiarkan Aira tidur sambil memeluknya.     Dua jam kemudian Aditya pun bangun. Namun, Aira masih terlelap dengan posisi yang sama—memeluk dirinya.     "Aku ingin bertemu Ayah. Ayah jangan pergi. Hiks ... hiks ...," gumam Aira sambil menangis dalam tidur.     Aditya melirik putrinya, diusapnya air mata yang keluar dari mata putrinya. Sesekali ia mengelus dan memainkan rambut panjang putrinya sambil tersenyum. Sampai pada akhirnya ia mencium puncak kepala putrinya. "Ayah di sini, Sayang," ujarnya tak kalah lirih seraya memeluk tubuh Aira dan kembali tidur. Entah perasaan apa yang membuatnya seperti ada luka yang tiba-tiba menggores hatinya ketika mendengar Aira meracau namanya.     Nina yang kembali ke kamar, karena ia ingin membangunkan Aira dan ayahnya untuk sarapan, hanya mampu bersembunyi di balik tembok saat melihat apa yang dilakukan Aditya. Ini pemandangan langka. Di mana Aditya tidur sambil memeluk Aira dengan senyum yang terukir di bibir pangeran es itu.     Sebentar lagi, ayahmu akan berada di sisimu seutuhnya. Sabar, Sayang. Sebentar lagi. Ibu janji, ucap Nina dalam hati ketika melihat ayah dan anak itu. Tangannya terulur pada door knop agar pintu kembali tertutup.     Wanita itu menyeret kedua kaki jenjangnya menuruni setiap anak tangga, kemudian ia pergi ke ruang makan. Di sana, tentu saja anggota keluarga yang lain sudah siap untuk sarapan.     "Ke mana Aditya dan Aira? Apa mereka tidak ikut makan?" tanya ibu Aditya.     "Mereka masih tidur. Aku tidak berani membangunkannya. Mereka terlihat sangat lelap sekali," jawab Nina.     "Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kau makan dulu," ajak ibu Aditya. Nina pun hanya mengangguk seraya menghempaskan bokongnya di kursi miliknya.     ***     Siang harinya, Aira sudah kembali lagi ke rumahnya di Bandung. Meski sebelumnya orangtua Aditya menyarankan untuk menginap semalam lagi, namun Aditya melarangnya. Padahal Aira sendiri masih merindukan sepupu-sepupunya yang jarang sekali ia temui. Paling hanya saat Lebaran atau acara-acara tertentu saja.     "Rumah ini belum dibersihkan, cepat kau bersihkan. Aku tidak mau punya rumah yang kotor," ujar Aditya pada wanita itu. Padahal mereka baru saja sampai. Kasarnya, rasa lelah masih menyelimuti mereka semua.     "Aira bantu, ya, Bu," ujar Aira menawarkan diri.     "Tidak usah, nanti malah kau memperlambat kerja ibumu ini. Lebih baik kau main saja denganku di taman," larang Aditya sekaligus mengajak Aira bermain.     Seketika wajah Aira berbinar cerah ketika diajak ayahnya bermain. Ah ... rasanya sekali lagi ia merasakan pelangi setelah hujan. Bahkan hari ini pelangi datang untuk yang kedua kalinya. Pertama, Aditya memeluknya saat tidur dan kedua mengajaknya bermain.     Nina bergeming. Lagi-lagi ia merasa bingung dengan sikap Aditya. Namun, ia takut akan sikap pria itu. Aditya adalah seorang penjilat dan bisa memanipulasi apa pun.     "Aira temani Ibu di rumah saja ya," bujuk Nina. Bukan apa-apa, tapi ia takut Aditya bersikap yang aneh-aneh.     "Kenapa kau melarangnya? Dia putriku. Lagi pula kami jarang menghabiskan waktu bersama," tanya Aditya.     "Iya, Ibu. Boleh, ya?" pinta Aira penuh harap.     Wanita itu diam. Ia bingung harus mengizinkan Aira bermain dengan Aditya atau tidak. Namun, melihat wajah malaikat kecilnya yang penuh harap, ia mau tidak mau harus setuju. Ia hanya bisa berpikir positif, mungkin pria itu merasa bersalah karena telah mengabaikan putrinya di rumah sakit.     "Baiklah. Tapi, kau jangan terlalu kecapekan. Kau masih belum sembuh benar," ujar Nina sambil mengangguk. Tidak ada salahnya juga ia mengizinkan Aira bermain, toh masih di sekitar rumah.     "Asyik ... ayo Ayah kita bermain!" ajak Aira sambil menarik tangan ayahnya ke luar.     "Kerja yang benar. Awas kalau sampai aku menemukan noda sekecil apa pun," ancam Aditya sebelum ia benar-benar keluar. Dan Nina hanya bisa mengangguk pasrah.     ***     Aira dan ayahnya mulai mengitari taman seluas dua hektar itu. Aditya sendiri merasa kagum, karena area rumahnya bisa seindah dan seterawat ini.     "Bagus, ‘kan?" celetuk Aira ketika memandangi ayahnya yang sedang mencium bunga-bunga di tamannya. "Itu Ibu yang buat," tambahnya.     Aditya hanya tersenyum menanggapi ucapan Aira. Baru kali ini ia melihat rumahnya itu dengan jelas, karena biasanya ia selalu datang setiap sebulan sekali di malam hari dan sudah pergi lagi di pagi harinya. Ia tidak menyangka, di tamannya ada sekomplek ladang bunga matahari, mawar, lavender, melati, aster, dan juga hortensia. Seingatnya dulu tidak ada ladang bunga seperti ini, hanya beberapa pot bunga yang berada di sekitar rumahnya.     Aditya menghentikan kekagumannya. Ia mulai mengajak Aira bermain kejar-kejaran. Kali ini dirinyalah yang menjadi kucingnya.     "Berhenti, Aira!" panggil Aditya dengan napas yang tersengal-sengal. Baru saja mereka bermain sekitar sepuluh menit, tapi ia sudah lelah. "Kita ganti saja permainannya," tawarnya.     "Main apa, Ayah? Apakah kita mau main masak-masakan, boneka, atau berenang?" tanya Aira. Namun, ia berpikir lagi. "Salah-salah, Aira tidak boleh berenang nanti lukanya basah," ralatnya.     "Itu semua mainan anak perempuan. Aku tidak mau melakukannya," sahut Aditya.     "Lalu, kita mau main apa? Apa kita mewarnai saja, ya? Ayah yang ajarkan Aira supaya bisa menggambar dan mewarnai yang bagus, tidak seperti gambar kemarin." Aira berkata seraya mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya, nampak berpikir.     "Aku tidak mau," sanggah Aditya. "Kita main petak umpet saja, bagaimana? Aku yang bersembunyi lalu kau yang mencariku." Aditya memberi saran.     "Boleh. Kalau begitu aku akan mulai menghitungnya sampai seratus," sahut Aira. Ia kemudian berdiri di depan batang pohon pinus, menenggelamkan wajahnya di atas tangan yang menjadi bantalannya lalu berhitung.     Aira kecil memang sudah menampakkan kecerdasannya sejak usianya dua tahun. Saat ini, gadis kecil itu bahkan sudah bisa membaca dan menulis. Padahal ibunya tidak menyekolahkannya atau mengajarkan teknik calistung pada umumnya, karena mengajarkan calistung di usia dini dapat merusak sel-sel di otak. Aira hanya bermain sambil belajar dengan beberapa alat permainan edukasi atau benda di sekitarnya, membaca perkata lalu mengingat apa yang ada di buku dongengnya atau dengan gambar-gambar (bukan per huruf atau per suku kata). Teknik membaca dengan cara melihat, mendengarkan, menirukan, lalu mengingat seperti ini bahkan efektif untuk bayi. Namun, otak Aira yang melebihi rata-rata anak seusianya membuat gadis kecil itu tak hanya bisa membaca, bahkan bisa menjumlahkan angka sampai ratusan. Ia juga sudah fasih berbahasa asing.     Aditya pun mulai bersembunyi, sementara itu Aira tengah fokus menghitung. Setelah beberapa menit gadis kecil itu berkeliling, akhirnya dia menemukan ayahnya yang bersembunyi di balik semak-semak. Melihat ayahnya yang tertangkap membuat dirinya tersenyum kegirangan.     "Ya ... ketahuan," ujar Aditya dengan tampang sedih. Sementara Aira hanya tersenyum menahan tawa melihat ekspresi ayahnya. "Seharusnya tadi aku bersembunyi di gudang saja. Pasti kau kesulitan menemukanku. Ya sudah, sekarang giliranmu yang bersembunyi dan aku yang berhitung. Sembunyi yang benar, ya," ujarnya sambil berdiri lalu pergi ke arah pohon tadi, mengikuti apa yang tadi putrinya lakukan.     Setelah Aditya mulai berhitung. Aira langsung berlari ke sana kemari. Ia mulai berpikir untuk bersembunyi di bawah ladang bunga mawar, tapi ia urungkan. Ia tidak ingin duri-duri mawar itu menyakiti tubuhnya. Ia juga tidak mungkin bersembunyi di semak-semak seperti yang ayahnya lakukan. Aira kecil mulai berpikir ini sangat sulit, karena biasanya ia bermain petak umpet di rumah. Kalau di rumah, pasti banyak tempat untuk bisa bersembunyi.     Aira mendengar hitungan ayahnya yang sudah menunjukkan angka lima puluh, sampai kemudian ia berlari menjauhi taman, dilihatnya ada pintu yang terbuka. Seketika ia berlari ke arah pintu yang terbuka itu dan langsung menutupnya. Kini ia berada dalam sebuah gudang yang menyatu dengan ruang bawah tanah yang berada di pojok dari area taman rumahnya.     Aira menunggu ayahnya mencarinya sambil tersenyum. Sesekali ia mendengar suara ayahnya yang sedang mencoba mencarinya. Namun terasa lama sekali ayahnya itu menemukannya. Sampai suatu ada seekor kecoa yang mendekati kakinya.     "Aaa ...!" teriak Aira yang langsung loncat menghindari kecoa. Ia pun berlari ke arah pintu. Tak peduli, kalau ia kalah yang penting ia bisa keluar dari gudang itu. Namun, tunggu ... pintu itu terkunci. Seketika Aira berteriak dan memanggil-manggil ayahnya, berharap ayahnya datang dan membuka gudang itu. Namun semua itu sia-sia.     Habis sudah suara Aira dipakai berteriak. Ibunya pun pasti tidak bisa mendengarnya, karena gudang itu sangat jauh dari rumah. Gadis kecil itu mulai menjatuhkan butiran bening dari pelupuk matanya, kemudian ia menunduk. Untung kecoa itu sudah pergi entah ke mana. Ia merutuki kecerobohannya sendiri, karena bersembunyi di gudang itu. Yang ia inginkan saat ini hanya keluar dari gudang tak cukup cahaya itu.     ***     Dua setengah jam sudah Aira terkurung dalam gudang itu dan tak ada satu pun yang mencarinya. Ke mana ayah dan ibunya, pikir gadis kecil itu.     Di sisi lain, Nina tersenyum kecil karena pekerjaannya akhirnya beres juga. Kini ia tinggal mengajak Aditya dan Aira makan siang. Ah sebenarnya ini sudah lewat dari makan siang.     "Sebenarnya Aira main di mana? Dia belum makan," tanya Nina kepada Aditya yang sedang asyik membaca buku sambil menikmati makanan ringan. Tadi pria itu bilang Aira memutuskan main sendiri di taman.     "Kau cari saja sendiri," jawab Aditya ketus.     Geram bercampur khawatir, Nina memilih segera mencari Aira. Taman belakang rumah, kolam renang, ladang bunga, halaman depan rumah dan sekitarnya sudah ia susuti, tetapi Aira tetap tidak ada. Akhirnya ia pun memutuskan kembali ke dalam rumah dan bertanya pada Aditya kembali.     "Di mana terakhir kali kalian bermain? Aku tidak menemukan Aira di manapun. Dia belum makan siang dan minum obat. Apa jangan-jangan dia diculik?" tanya Nina penuh kekhawatiran.     "Di tamanlah. Kau saja yang tidak mencarinya dengan benar. Lagi pula, tidak ada yang bisa masuk ke rumah ini. Jangan berpikiran yang macam-macam," jawab Aditya dengan santai. Dalam hati lelaki itu ingin tertawa puas ketika ia meninggalkan Aira yang sedang berteriak minta tolong.     Nina mengepalkan kedua tangan dan gemas melihat tingkah Aditya yang mengacuhkannya. Ia pun mendekati Aditya, lalu ditariknya buku yang sedang dibaca lelaki itu.     "Berani-beraninya kau!" geram Aditya sambil menarik kembali bukunya. "Apa kau lupa statusmu, huh?!"     "Katakan di mana Aira?" cecar Nina. "Kau sembunyikan di mana anakmu?!" tambahnya dengan nada yang mulai naik pintam. Setelah itu, ia mengatur deru napasnya. Aditya benar-benar telah menyulut amarahnya. Kalau saja ia tidak menyayangi Aira, ia takkan mau bertahan dalam skandal yang diciptakan Aditya di depan keluarga pria itu. Ya, pria itu mengatakan kalau ia dan Aditya telah kawin lari dan menghasilkan Aira. Benar-benar manipulator b******n.     "Sudah kukatakan dia ada di taman. Kau cari saja lagi dengan benar," jawab Aditya dengan nada sama kerasnya.     "Jangan bohong! Cepat katakan. Aku tahu kau melakukan sesuatu padanya. Awas saja, aku akan mengatakan hal ini kepada kedua orangtuamu," ancam Nina. Ia memegang rahasia pria itu, karena itulah ia bisa seberani ini.     "Apa kau lupa posisiku?" tanya Aditya marah.     "Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kalau posisi Aira lebih tinggi dibanding dirimu. Iya, ‘kan?" tukas Nina.     Dahi Aditya tampak berkerut. "Maksudnya?"     "Kau hanya bersikap baik kepada Aira di depan keluargamu, karena Aira adalah pemegang hak waris keluargamu yang seharusnya jatuh kepadamu. Aku tidak sengaja mendengar perkataan ayahmu di ruang makan kemarin," jawab Nina tanpa aling-aling.     "Diam kau!" teriak Aditya. Tangannya sudah melayang di udara dan mengarah pipi Nina yang terhalamg niqob. Dalam hitungan detik pasti sudah mendarat di pipi mulus itu, tetapi ia tahan.     "Silakan jika kau mau menamparku. Itu akan menambah nilai plus kelakuan jahatmu selama ini. Aku akan mengatakan semua kepalsuanmu kepada kedua orangtuamu," ancam Nina dengan lantang.     "Silakan saja. Tapi, apa kau yakin mereka akan percaya dengan perkataanmu? Aku akan menyuruh Aira untuk mengatakan hal-hal baik tentangku. Keluargaku pasti akan mempercayainya, karena ucapan anak kecil itu lebih dapat dipercaya," ujar Aditya tak mau kalah.     "Coba saja. Aku yakin Aira tidak akan mengikuti perintahmu. Dia pasti lebih memilihku. Percayalah, Aditya Akyas yang terhormat. Sekarang kau tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Aku akan mengatakannya pada keluargamu dan kau akan diusir tanpa uang sepeser pun," balas Nina sambil menyeringai di balik niqob.     "Aku tidak peduli dengan kekayaan keluargaku. Aku punya kekayaanku sendiri. Aku punya saham di mana-mana." Aditya memamerkan diri.     "Benarkah? Aku ragu akan hal itu. Apa kau lupa, sebesar apa pun saham yang kautanam, ayahmu pasti akan menghancurkan tempat di mana kau menanam saham? Kau akan hidup miskin," timpal Nina. Dia sudah tidak kuat selama ini Aditya memperlakukan Aira seenaknya, bahkan kali ini pria itu sudah keterlaluan.     "Kau sangat menyebalkan. Aku akan membunuhmu dan juga setan kecil itu. Aku tidak peduli dengan kemiskinan dan harus masuk penjara sekalipun," geram Aditya.     "Kalau kau tidak peduli, mengapa kau tidak melakukan rencana kotormu ini sejak dulu? Nyatanya sampai saat ini kau berlutut di bawah orangtuamu," sanggah Nina dengan telak. "Ayo katakan di mana Aira?"     "Aku tidak akan memberitahukannya," kukuh Aditya.     "Baiklah, aku akan menelpon ibumu sekarang juga. Dan oh, tunggu dulu ... pasti sakit jantung ayahmu akan kumat, kalau mendengar putranya itu perhitungan dengan biaya rumah sakit cucunya, mengabaikan cucunya yang sedang sakit bahkan hampir mati, karena demam tinggi meracau nama ayahnya, dan aku tahu kau mengabaikannya, karena kau sedang asyik dengan seorang wanita. Bukan begitu?" Nina semakin berani, kemudian berjalan untuk mengambil handphone-nya. Jujur saja, ia sudah lelah menjadi sosok yang patuh kepada semua perintah Aditya.     "Wanita mana yang kau bicarakan?" tanya Aditya sambil mencekal tangan Nina. Tak membiarkan wanita itu pergi.     "Beritamu dengan Caitlyn Rossi sudah tersebar di internet dan cepat atau lambat keluargamu akan mengetahui kalau selama ini Aditya-nya belum berubah. Masih suka bermain bersama wanita," jawab wanita itu dengan lantang sambil melepaskan cekalan Aditya.     "Cukup!" teriak Aditya sambil hendak melayangkan tangannya sekali lagi, tetapi tangan itu hanya menggantung di udara.     "Mana keberanianmu, Aditya? Kau dari tadi tidak benar-benar menamparku. Ucapanku memang benar kalau kau tidak bisa hidup tanpa Aira, karena ia adalah sumber uangmu selama ini." Nina berdecih sinis.     Aditya tidak bicara lagi. Namun, sebelah tangannya menarik paksa Nina ke luar rumah, menyeret ke tempat di mana Aira bersembunyi.     Dibukanya gudang itu oleh Aditya dan terlihatlah Aira yang sedang tidur. Pantas saja ketika wanita itu memanggil Aira, tapi gadis kecil itu tidak menyahutnya.     "Bangun, Sayang," ujar Nina sambil menepuk-nepuk pipi Aira dengan lembut.     "Ibu." Aira melenguh sambil membuka matanya, lalu ia memeluk ibunya itu. "Aira takut. Kenapa Ayah lama sekali menemukanku?" tanyanya lirih.     "Kau bersembunyi dengan sangat baik. Ayahmu sangat kesulitan sekali mencarimu sampai-sampai ia meminta bantuan Ibu," jawab Nina dengan berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan kebenaran yang bisa menyakiti hati gadis kecilnya itu. "Ya sudah, sekarang kita makan. Kau pasti lapar," ajaknya sambil menyentuh hidung putrinya. Aira pun tersenyum dan mengikuti ayah ibunya ke luar.     Sesampainya mereka di rumah, mereka langsung menuju ruang makan yang satu ruangan dengan dapur. Nina sudah memenuhi piring Aira, kini ia tinggal memenuhi piring Aditya. Sementara itu, Aditya hanya diam memendam amarah dari tadi. Tiba-tiba, piring Aditya yang baru saja dipegang Nina terjatuh ke meja saat wanita itu hendak menaruh nasi di atasnya hingga menimbulkan bunyi nyaring. Untung saja piring itu tidak pecah.     "Maaf," cicit Nina, lalu ia menaruh nasi dan segala lauk pauknya di atas piring Aditya. Sementara itu, pria itu masih bergeming.     "Ibu mau ke mana?" tanya Aira ketika wanita itu sudah selesai menyiapkan makanan untuk Aditya. "Kenapa ibu tidak makan?" tambahnya.     "Ibu mau ke kamar. Kau makan saja dengan ayahmu, Ibu tidak lapar. Ibu mau istirahat," jawab Nina. Pandangannya kemudian jatuh pada netra Aditya. "Jaga putrimu, Adit dan setelah itu berikan obatnya atau kau tahu akibatnya," ancamnya.       Ini adalah saat Nina berkuasa. Tak akan ia biarkan si b******n itu semena-mena. Dengan pandangan mengabur, ia menarik kaki menuju ke kamar dan mengunci diri untuk wanita yang lama.     "Dasar wanita sialan. Enak saja dia bilang mau tidur dan membiarkan aku terjebak dengan setan kecil ini," gerutu Aditya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD