SATU

2513 Words
Gemma berusaha tidak terpengaruh dengan bunyi high heels beradu dengan lantai marmer yang terdengar dari luar ruangan. Ia tidak ingin kehilangan fokus. Tapi sepertinya pemilik sepatu itu sedang tergesa-gesa menuju ruang meeting tempat ia tengah mempresentasikan kinerja perusahaan di semester satu yang ditanggapi dengan raut wajah tidak senang dari jajaran board of direction. Semester satu tidak memuaskan dan itu semua adalah tanggungjawab Gemma selaku pemimpin cabang. "Tolong dijelaskan Gem, kenapa portofolio kredit tempatmu hanya segini? Demi Tuhan ini hanya 70% dari target proporsional. Biasanya kamu outstanding." Pemimpin Divisi Bisnis mencecar. "Pak, itu terjadi karena..." Penjelasan Gemma terhenti karena pintu ruang meeting terbuka dan sesosok gadis memakai dress merah selutut berbalut blazer hitam muncul. "Gemma Zaydan Maramis." Gadis berusia di pertengahan dua puluhan itu menatap langsung ke arah Gemma dan membuat pemuda itu menjadi sedikit linglung. "Semoga kau masih ingat siapa aku." Gemma melirik ke belakang gadis tersebut dan mendapati satpam kantor yang biasa dia sapa dengan Bang Ijul tergopoh-gopoh menghampiri gadis berbaju merah. Ia heran kenapa Bang Ijul tidak menahan gadis ini dan malah membiarkannya masuk hingga ruang meeting. "Dan kau adalah...." Kalimat Gemma menggantung. Matanya memindai wajah oval kuning langsat milik gadis tersebut, berusaha mengenali. “Ada apa ini, Gem?” Pemimpin Divisi Bisnis tampak tidak senang dengan interupsi yang terjadi di pertengahan meeting. Gadis berbaju merah tidak menanggapi. Sebagai gantinya tangannya merogoh tas jinjing hitam dan secepat kilat mengeluarkan sebuah pistol dari sana lalu serta merta mengarahkannya ke wajah Gemma. Gemma dan seisi ruang meeting terkejut. Bang Ijul tertahan di ambang pintu. “Jangan coba-coba lapor polisi atau aku tidak akan segan-segan menghabisi nyawamu!” Gadis itu menggertak. Gemma memberikan isyarat kepada Bang Ijul untuk diam di tempat dan tidak melakukan prosedur keamanan apapun. “Kau siapa?” tanya Gemma. Ia bisa melihat raut wajah Adi, Pemimpin Divisi Bisnis, pucat pasi. Terbersit rasa puas di hati Gemma. Itu pelajaran untuk setiap hawa intimidasi yang telah ia ciptakan sepanjang meeting pagi ini. “Carissa Kalalo.” Gadis itu menjawab dengan tetap mengarahkan ujung pistol ke wajah Gemma. “Semoga otakmu bisa mengingatku dengan baik.” “Ah!” Gemma merasa familiar dengan nama yang disebutkan gadis tersebut. Ya, benar tidak salah lagi. Itu adalah nama gadis gila yang sebulan ini menerornya. “Jadi kau! Mau apa kau sebenarnya? Mau merampok bank? Brankasnya di bawah.” “Kau tahu benar apa yang aku inginkan, Gemma!” “Kau gila!” seru Gemma. Ia memperhatikan dengan saksama wajah gadis berbaju merah itu. Gadis seperti dia tidak mungkin bisa menarik pelatuk pistol dan meledakkan timah panas di wajah Gemma. Tapi, masih menjadi misteri bagi Gemma kenapa gadis ini terus menghantui hidupnya sejak bulan lalu dengan telepon dan pesan yang tidak masuk akal. “Aku tidak mungkin mengabulkan permintaanmu. Tidak saat ini. Tidak untuk kapan pun!” “Aku datang kemari bukan untuk berkompromi, Gem!” “Nonsense!” Carissa tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi, “Marry me or you die suffering!” Ruang meeting yang berisi setidaknya sepuluh orang itu mendadak hening. Gemma merasakan wajahnya memanas dan ia berani jamin wajah itu pun juga memerah seperti kepiting rebus akibat perkataan Carissa. Ia malu setengah mati. “Gemma, tolong masalah pribadi jangan kamu bawa ke kantor!” Suara Adi. Carissa mengerling tajam ke arah lelaki berperut buncit itu sambil berseru, “Aku hanya ada urusan dengan Gemma. Kalau kalian tidak ada kepentingan sebaiknya keluar!” Jajaran pemimpin perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa perbankan itu pun tanpa ragu beranjak dari kursi masing-masing dan berjalan ke luar ruangan. Carissa mengarahkan ujung pistol ke arah peserta meeting. Saat Adi keluar paling terakhir dan membiarkan pintu ruang meeting menutup di belakangnya, Gemma mendapatkan momentum untuk merebut pistol dari tangan Carissa. Carissa spontan menghindar dan menjadi tidak seimbang di atas high heels sepuluh sentimeternya sehingga ia limbung ke lantai. Saat Carissa mencoba bangkit berdiri Gemma telah menguncinya di dinding. Lengan kanan Gemma menekan d**a Carissa sedangkan tangan kirinya mencengkram pergelangan tangan Carissa yang menggenggam pistol. Tangan kiri Carissa bebas namun ia tidak bisa melawan tenaga Gemma. Carissa telah memakai sepatu dengan heels sepuluh sentimeter namun tinggi Gemma tetap jauh melampaui tinggi badannya. “Lepaskan aku!” Carissa berontak. “Harusnya itu kata-kataku,” ujar Gemma. Matanya memandang lurus ke mata Carissa. Jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter membuat Carissa bisa mencium aroma pasta gigi pemuda itu. Carissa telah memikirkan rencana ini dengan matang. Ia tahu sejak awal Gemma bukan pemuda yang mudah ditaklukkan. Sejak sebulan memata-matai Gemma, ia tahu pemuda itu tidak akan melunak dengan segala rayuannya. Wajahnya sama sekali tidak ramah. Wajah itu sempurna dengan rahang tegas dan mata yang tajamnya mampu menembus ulu hati siapapun yang dipandang. Gemma tampan dengan postur tubuh yang proporsional. Carissa mengakui itu dengan kesadaran penuh. Dan wajah tampan itu kini hanya berjarak tidak kurang dari sejengkal dengan wajah Carissa membuat gadis itu susah mengendalikan nafasnya. “Sebenarnya apa maumu?” Gemma bertanya tanpa melepaskan Carissa. “Kau bertanya terus seperti orang bodoh! Nikahi aku atau…” “Atau apa?” “Atau hari ini adalah hari terakhirmu!” seru Carissa. Ujung pistol masih mengarah ke wajah Gemma. “Kalau begitu bunuh saja aku!” Gemma menantang. Ia masih mencekal pergelangan tangan Carissa. “Ayo tembak aku!” Carissa terkejut. Ia tahu Gemma tidak akan gentar sedikit pun dengan aksinya ini, namun ia sama sekali tidak memperhitungkan reaksi Gemma. Benarkah pemuda ini lebih memilih mati daripada menikahinya? Maka Carissa menarik pelatuk dengan telunjuknya. Gemma memejamkan mata dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya tanpa berniat menghindar. Ia yakin Carissa tidak akan sanggup menembaknya. Itu juga kalau pistol yang dibawanya adalah pistol sungguhan. Carissa menatap wajah Gemma yang tengah memejamkan mata. Ia menjadi sedikit lega. Dengan sorot mata tajam yang sedari tadi memandangnya, Carissa merasa sangat terintimidasi. “Kenapa kau belum menembak? Hah?!” Gemma menggertak. Ia telah membuka matanya kembali. “Tolonglah, nikahi aku. Aku janji pernikahan ini tidak akan berlangsung lama.” Carissa memelas. Ia menarik pelatuk pistol dan dari ujungnya keluar air yang menyemprot ke wajah Gemma. “Kau tahu benar ini hanya pistol mainan, kan?” Gemma melepaskan genggamannnya dan merenggangkan jarak tubuhnya dengan Carissa. Ia tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan gadis di hadapannya itu. Ia tidak pernah mengenal Carissa sebelumnya hingga gadis itu meneleponnya sebulan yang lalu dan meminta dinikahi. Awalnya ia berpikir itu hanyalah telepon iseng, untuk kemudian mendapati telepon itu semakin intens dan kini gadis itu pun muncul di hadapannya. *** Tiga puluh hari yang lalu. Carissa memandang macbook-nya dengan enggan. Ia tengah mengerjakan proyek rumah minimalis yang ramah lingkungan namun ia sama sekali telah kehilangan minat. Isi surat wasiat Opa Roni yang paling berkontribusi membuat pikirannya terganggu sepanjang hari ini. “Kamu kenapa sih, Ris?” Lena, sahabat baik sekaligus rekan kerjanya bertanya. “Masih kepikiran isi surat wasiat Opa, ya?” “Menurut ngana?” balas Carissa. “Ya, sudah! Tinggal dituruti saja wasiatnya. Susah amat!” Carissa memandang sahabatnya itu dengan tatapan tidak percaya. Firma arsitektur tempatnya dan Lena bekerja lengang karena sedang jam makan siang. Hanya beberapa pegawai administrasi yang masih terlihat di meja masing-masing. “Dituruti bagaimana, Len? Opa suruh aku nikah. N-I-K-A-H. It is okay kalau calonnya suka-suka aku, lah ini calonnya sudah ditentukan pula. Gemma Zaydan Maramis. Who the f*ck is he? I have no clue siapa dia, Len! Aku sudah berusaha mencari kerabat Opa yang punya marga Maramis tapi tidak ada. Ada beberapa rekan kerjanya punya marga Maramis tapi mereka tidak kenal siapa Gemma ini.” “Hahaha. Tenang Carissa. Tarik napas dulu.” Lena mencoba menenangkan sahabatnya. “Kenapa kamu ketawa, Len?” “Aku menertawakan nasib yang sedang menimpamu ini.” Seminggu yang lalu adalah adalah hari ke empat puluh kematian Opa Roni, satu-satunya keluarga yang Carissa miliki setelah kedua orang tua dan kakak laki-lakinya meninggal dalam sebuah musibah yang terjadi dua puluh tahun lalu. Oma Veronica menyusul wafat lima belas tahun kemudian. Saat itu usia Carissa masih lima tahun dan telah menjadi yatim piatu. Ayah Carissa adalah anak satu-satunya, sehingga ketika orang tua Carissa wafat, Opa Roni dan Oma Veronica mengambil alih seluruh tanggungjawab merawat dan membesarkannya. Mereka memperlakukan Carissa seperti anak kandung dan bukan cucu. Opa Roni telah menjadi ayah, saudara dan sahabat baginya. Ia sangat terpukul dengan kematian Opa Roni. Namun penyakit jantung yang telah menahun mendiami tubuh Opa Roni membuat Carissa ikhlas. Setiap kali melihat penyakit jantung Opa Roni kambuh, Carissa seperti merasakan kesakitannya juga. Ia bisa melihat dengan jelas di mata tua itu bahwa sebenarnya Opa Roni sudah sangat lelah, namun seolah masih bertahan karena tidak ingin membiarkan Carissa tinggal seorang diri. “Opa, Risa sudah dewasa. Opa bisa beristirahat dengan tenang kapan saja tanpa harus pusing memikirkan Risa. Risa tidak akan sedih. Malah Risa sedih kalau Opa seperti ini.” Kali terakhir penyakit jantung Opa kambuh membuatnya mengalami strok dan harus dirawat di rumah sakit dengan bantuan alat pernapasan selama seminggu. Sehari setelah Carissa menggenggam tangan Opa dan menyatakan bahwa ia ikhlas jika Opa pergi, Opa Roni meninggal dunia. Carissa berkabung selama empat puluh hari. Di awal-awal kepergian Opa, ia jarang makan membuat Lena cemas. “Daripada kamu sibuk mencari siapa kerabat Opa yang kira-kira mengenal laki-laki bernama Gemma ini, kenapa kamu tidak cari tau sendiri siapa Gemma?” Lena menjeda lamunan Carissa. “Caranya?” “Ya, ampun. Cantik-cantik otaknya nggak dipake!” Lena meraih macbook Carissa, “Kita cari dia di facebook.” “Aku nggak yakin.” “Tidak ada salahnya mencoba.” Carissa membiarkan Lena mengambil alih macbook miliknya dan mulai browsing sana-sini. Carissa kembali melamun. Ia tidak habis pikir dengan isi surat wasiat Opa yang dibacakan oleh Bernard, pengacara Opa, minggu lalu. Dalam wasiat tertulis bahwa seluruh harta kekayaan dan usaha milik Opa diwariskan kepada Carissa dan calon suaminya yang bernama Gemma Zaydan Maramis. Anak dari Haris Rasyid Maramis, cucu dari Maxi Maramis. Jika Carissa tidak menikahi Gemma, maka ia hanya akan mendapatkan sebuah rumah tipe 50 di perumahan Ringroad Jaya Permai. Sedangkan harta kekayaan lainnya akan disumbangkan ke badan amal dan pengelolaannya diserahkan kepada badan amal. Pernikahan itu harus dilangsungkan selama paling lambat enam puluh hari sejak surat wasiat dibacakan dan enam bulan kemudian Carissa dan Gemma bisa membagi harta warisan Opa sesuai dengan kesepakatan bersama. Carissa tidak mengerti kenapa Opa menunjukkan ketidaksukaannya pada Abian, kekasih Carissa yang sudah dipacarinya selama setahun belakangan ini dan malah menyuruhnya menikahi pemuda lain dalam surat wasiat yang dia buat. “Kamu tidak serius dengan laki-laki itu, kan?” Carissa masih ingat hari di mana ia membawa Abian ke rumah dan memperkenalkannya kepada Opa. “Namanya Abian, Opa. Dia teman kerjaku di kantor.” “Kamu tidak serius dengan dia kan?” “Risa serius dengan Abi. Risa menyayanginya.” “Kamu tidak serius dengan dia.” “Opa tau apa?” “Opa tau! Opa yang membesarkan kamu. Kamu masih terlalu muda untuk serius dengan laki-laki. Kamu tidak berniat menikah dengan dia kan?” “Opa, Risa sudah dua puluh lima tahun. Apa salahnya memikirkan menikah. Abian berasal dari keluarga baik-baik. Opa akan suka dengan keluarganya kalau kenal nanti. Keluarganya….” “Kamu tidak akan menikahinya!” Opa Roni menyela. “Opa tidak akan merestui sampai kapan pun.” Awalnya Carissa berpikir mungkin Opa masih belum yakin dengan Abian dan merasa Carissa masih seorang gadis belia yang belum pantas memikirkan pernikahan, namun hingga kematiannya Opa belum juga memberi restu, lalu kemudian muncul surat wasiat dengan ultimatum pernikahan, menjadikan Carissa yakin jika sikap menolak Opa bukan karena Abian, tapi karena Opa ingin menjodohkan Carissa dengan lelaki pilihannya. Rasanya ia mau mati setiap kali memikirkan konsep perjodohan pada zaman di mana wisata ke bulan adalah hal yang lazim. “Bagaimana jika orang bernama Gemma ini adalah duda tua beranak lima yang Opa jodohkan karena Opa punya hutang padanya?” gumam Carissa. “Tidak mungkin!” bantah Lena yakin.  Carissa terkejut dengan seruan sahabatnya itu. “Do you find something?” “He is damn hot! Lihat sini, Ris.” Carissa memandang layar macbook yang tengah menampilkan akun f******k seorang pria. “Gemma Maramis.” Lena menunjukan nama akun f******k itu. “See? He is hot, right? Aku percaya Opa tidak akan salah pilih cucu mantu.” Hal berikutnya yang terjadi adalah Carissa membuka-buka foto profil Gemma. “Cepat add sss calon suami kamu!” “Kamu yakin ini Gemma yang dimaksud dalam surat wasiat Opa?” “Hanya dia Gemma yang paling mungkin. Lihat, dia juga tinggal di Manado. Tidak mungkin kan Opa jodohin kamu dengan laki-laki yang tinggal di Zimbabwe.” “Aku belum yakin, Lena.” “Ya, ampun. Sini coba.” Lena kembali mengambil alih macbook. “Nah, kebetulan dia mutual friend nih sama Jennifer.” “Jennifer who?” “Teman SMA ku. Sebentar, aku telpon Jennifer dulu. Jaman sekarang, tidak ada yang tidak bisa dicari. Apalagi Manado ini kecil.” Lena memijit nomor pada ponselnya. “Halo Jen. Apa kabar? Aku baik. Aku mau tanya. Kamu kenal Gemma Zaydan Maramis? Hah? Teman sekantormu? Di bank? Oh, tidak ada apa-apa sih. Iya, cakep ya. Heheh. Hah? Mau tunangan? Kapan? Bulan depan?” Carissa berbisik, “Tanyakan siapa nama bapak dan kakeknya.” “Nama bapaknya si Gemma ini siapa ya? Hahhaha. Tidak. Aku mau tawarkan jasa desain interiorku. Siapa tau dia atau bapaknya minat. Hahaha. Oke, kasih kabar secepatnya ya, Jen. Bye.” “Apa katanya?” Carissa memburu. “Jenni akan cari tau nama bapaknya si Gemma. Dan Gemma akan tunangan sebulan lagi. Seluruh kantornya sudah tau.” “Semoga nama bapaknya Haris.” “Hello, Carissa, kenapa kamu malah memusingkan siapa nama bapaknya? Harusnya kamu pusing tuh dia sudah mau tunangan.” “Tidak ada urusan denganku dia mau tunangan atau tidak.” “Hei! Tentu saja ini juga menjadi urusanmu. Kalau dia sudah tunangan, maka dapat dipastikan dia tidak akan mau menikahimu.” “Tanpa embel-embel bertunangan pun dia juga belum tentu mau menikah denganku. Aku pun belum tentu mau menikah dengan dia!” “Are you sure? Lalu membiarkan seluruh harta dan usaha Opamu disumbangkan ke badan amal? Are you sure?” Opa Roni meninggalkan beberapa rumah dan mobil mewah serta beberapa usaha. Perumahan Ringroad Jaya Permai adalah miliknya. Itu belum termasuk usaha perdagangan hasil bumi dan produksi meuble jepara yang pengelolaannya di handle oleh orang kepercayaan Opa, Koh Ahong, karena Carissa lebih memilih bekerja di firma arsitektur daripada mempelajari bisnis Opa. Jika hanya untuk dirinya sendiri ia sama sekali tidak membutuhkan sepeser pun dari harta kekayaan Opa. Gajinya di firma arsitektur sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kebutuhannya. Ia juga bukan tipikal gadis yang senang mengoleksi tas atau sepatu barnded, bukan pula seorang gadget freak yang selalu merasa butuh membeli gadget ter-update. Ia membutuhkan sebagian harta Opa untuk hal yang lebih besar daripada sekadar barang-barang branded. Semoga siapapun lelaki bernama Gemma itu bisa memahami. “Halo Jenni, bagaimana? Nama bapaknya Haris Maramis?! Oh, oke. You are the best, Jenni. Bye.” Lena menutup sambungan ponsel dan berbicara pada Carissa, “He is Gemma Zaydan Maramis for real.” []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD