Prolog
Nyonya Seith.
Siapapun yang mengenalku sebagai ‘nama itu’ tentu akan memiliki satu scenario di kepala mereka tentang kehidupan rumah tangga maha sempurna yang begitu diimpikan oleh para perempuan.
Aku bisa memaklumi itu.
Menikah dengan seorang konglomerat teratas di negeri ini tentu saja akan membangun imajinasi semacam itu. Apalagi jika ternyata pria kaya yang dimaksud memiliki paras tampan dan citra positif. Terlalu sempurna, tanpa celah sama sekali.
Dan ‘beruntungnya’, akulah dari sekian banyak perempuan sempurna di luar sana yang tanpa disangka berdiri di samping pria sempurna itu. Menjadi isterinya.
Mungkin terlampau banyak caci maki dan umpatan yang kuterima saat aku berjalan di sampingnya sembari mengenakan gaun putih bergaya sederhana yang harganya tidak sederhana itu. Barangkali, beberapa pasang mata yang memandang kami dengan binar-binar bahagia dan senyum lepas kala itu tak benar-benar mendoakan rumah tangga kami.
Ah aku keliru.
Mungkin mereka mendoakan, tetapi bukan doa yang baik.
Mungkin mereka mendoakan, tetapi merapalkan pinta atas rumah tangga mengerikan yang harus aku jalani.
Dan sialnya doa itu terkabulkan.
Aku benar-benar menjalani rumah tangga mengerikan yang tak pernah kukira sama sekali. Aku menjalani hidup sebagai Nyonya Seith yang terhormat, namun tak ada satu pun di luar sana yang mengetahui bahwa gelar bergengsi yang kuterima tersebut sama sekali tak memiliki arti apa-apa.
Setidaknya, di hadapannya. Suamiku.
Sepasang mata sekelam malamnya yang kini sedang menatapku nyalang itu tak pernah sekalipun memandangku dengan penuh cinta, semenjak hari pertama kami menikah.
Ia membenciku.
Sepenuhnya membenciku.
Tapi sialnya, aku tidak pernah bisa sepenuhnya membencinya.
~~~