Fallen masih berpura-pura tidak sadarkan diri saat Bian membantunya keluar dari mobil kemudian menggendongnya. Ini bukan hunian yang biasanya? — benak gadis itu bertanya-tanya karena setahunya hunian apartemen Bian bukan di sini.
"Kita mau kemana?" Fallen menggumam seraya mendongak ke atas untuk menatap pria yang tengah menggendongnya tersebut.
"Apartemenku." jawab Bian tanpa repot-repot menatap balik.
Kening Fallen mengerut bingung, "Setahuku bukan di sini?"
"Apartemen yang lama sudah aku jual." pria itu kembali menjawab, masih dengan suara yang sama, dingin dan penuh acuh tak acuh.
Fallen terdiam, dia tidak mau berdebat dengan Bian, tidak mau merusak momen seperti ini. Saat sampai di hunian— entah nomor berapa karena Fallen tidak sempat memperhatikan— Bian langsung menurunkannya di sofa.
"Waw, hunian yang bagus, lebih bagus dan lebih luas dari yang kemarin." puji gadis itu seraya mengamati arsitektur hunian baru milik Bian.
Bian menyeringai, "Tentu saja."
"Berapa?"
"Apanya?" balas Bian berpura-pura tidak mengerti kemana arah pembicaraan saat ini.
"Uang yang sudah kau keluarkan untuk hunian elit ini!"
Bian tidak lekas menjawab, pria itu justru berjalan ke arah pantry untuk mengambil sesuatu.
Fallen mengubah posisi yang sebelumnya berbaring menjadi duduk. Dia melipat kedua kakinya untuk ia peluk di depan d**a. Kedua matanya kembali bergerilya, memperhatikan detail hunian ini. Kalau hunian milik Bian yang dulu memang tidak sebesar ini, hunian yang sebelumnya hanya memiliki satu ruang kamar dan satu ruang tamu yang posisinya tergabung dengan kitchen.
Sedangkan hunian yang baru ini jauh lebih luas dengan dua kamar utama, satu ruang yang bertulisan Work Space dan living room yang sangat luas dan pantry yang terpisah.
"Minum ini."
Fallen tersentak karena Bian yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya dengan segelas air berwarna aneh. Entah langkah kaki pria itu yang memang tidak bersuara atau karena dirinya yang terlalu fokus melamun, yang jelas Fallen benar-benar merasa kaget.
"Apa itu?" tanya Fallen, ekspresinya jijik melihat cairan di dalam gelas tersebut.
Bian mendengkus, "Ramuan pereda pengar."
Pereda pengar? Fallen menahan napas saat bau dari minuman itu menusuk hidungnya. Baunya seperti tumbuhan obat-obatan. Well, baunya saja sudah tidak enak, apalagi rasanya kan?
Fallen lekas menggeleng sambil menutup mulutnya. "Aku tidak mau." gumamnya kemudian.
"Kau harus minum—"
"Aku tidak mabuk!" akhirnya Fallen menyerukan kebenaran yang coba ia tutupi sebelumnya.
Bian mengerutkan keningnya, "Apa?"
Oh, sial!
Fallen menundukkan wajahnya karena ia tidak mau melihat wajah Bian yang mungkin sekarang sedang memasang wajah jengkel dan marah padanya.
"Kau berbohong?" tebak Bian, suaranya bahkan terdengar lebih dingin dari sebelumnya.
Fallen mengerucutkan bibirnya, "Aku minta maaf." ucapnya, kepalanya masih menunduk dalam. "Aku hanya ... kau sama sekali tidak ada kabar dan tidak menjawab telpon maupun pesanku selama seminggu ini. Aku sangat kesal dan memikirkan ide tentang mabuk di kelab mungkin bisa membawamu padaku."
Bian, pria itu meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja kemudian ia menghempaskan dirinya ke sofa.
Fallen melirik pria itu dari sudut mata. Bian, dia tengah menyandarkan punggung dan kepalanya pada kepala sofa dengan satu tangan yang menutupi matanya, menghalau sinar lampu agar tidak menusuk retinanya yang sewarna dengan langit malam miliknya.
"Jangan ulangi lagi." ucap pria itu, "kau membuatku khawatir, kau tidak akan tahu apa yang bisa saja terjadi di sana kalau seandainya aku telat atau bahkan tidak datang menjemputmu."
Fallen tidak bisa untuk tidak menyunggingkan senyumnya saat mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir pria yang dicintainya itu.
"Aku tidak tahu kalau kau peduli padaku." gumam Fallen.
Bian menghela napas, kepala yang semula menengadah ke atas dan tertutupi lengan saat ini tengah menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kau tidak akan bisa mengukur kepedulian seseorang dengan teropong kecilmu, gadis kecil." ujar Bian.
Gadis kecil?
Fallen mengerucutkan bibirnya karena Bian menganggapnya seorang gadis kecil padahal usianya akan menginjak 22 tahun dibulan depan.
"Aku bukan gadis kecil!" protes Fallen.
Bian menaikkan satu alisnya, "Oh, ya? Kalau kau bukan gadis kecil, maka kau tidak akan bersikap kekanakan seperti tadi."
"Itu karena kau yang sok sibuk!"
Bian tidak melepaskan tatapannya, "Jangan mendebatku dan jangan pernah datang lagi ke tempat itu, mengerti?"
Fallen yang ingin menyemburkan kekesalannya jadi tidak berkutik saat mendengar ucapan yang syarat akan ancaman tersebut.
Kenapa pria ini begitu tidak bisa terbaca sih? — umpat Fallen.
Glup!
Sial, kenapa mataku harus melihat bibir itu juga? — Fallen kembali mengumpat pada dirinya yang tergoda dengan bibir tipis berwarna merah muda pria itu. Setahunya, Bian bukanlah perokok, jadi tidak aneh kalau dia memiliki bibir yang tidak berwarna gelap.
Selama dua bulan menjadi kekasih pria itu, tidak sekalipun mereka melakukan kontak fisik selain berpegangan tangan dan berpelukan, itu pun yang selalu memulai adalah dirinya bukan pria itu.
Dan saat melihat bibir yang sedikit terbuka itu ... entah bagaimana bisa Fallen jadi ingin menciumnya, atau sekedar ingin merasakan bagaimana lembutnya bibir itu walau hanya dua detik.
"Aku akan mengantarmu pulang." Bian tiba-tiba saja berbicara, pria itu hendak bangkit dari posisi duduknya sebelum Fallen kembali menarik tangannya, membuat pria itu kembali terduduk di tempat sebelumnya.
Fallen segera berpindah ke pangkuan Bian, "Aku tidak ingin pulang." bisiknya lirih sambil memberanikan diri menatap iris pekat si pria.
Tatapan tajam penuh awas itu ... Fallen merasa kalau Bian seperti sedang mengawasi seorang musuh, bukan tatapan yang sedang mendamba kekasihnya.
"Kau tidak bisa tidur di sini."
Fallen menahan nafasnya, kedua tangannya bergerak gugup menuju kerah kemeja Bian kemudian meremasnya cukup kuat. "Kenapa tidak boleh? Di sini ada kamar lain yang bisa aku tempati kan?" ujarnya seraya melirik dua pintu kamar yang bersisian.
"Tidak, kau tetap akan pulang karena kedua orang tuamu pasti khawatir karena anak gadisnya belum pulang."
Fallen menggeleng. "Tidak, mereka tidak akan mengkhawatirkanku!" seru gadis itu, "Papa bahkan sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah, dia lebih peduli dengan pekerjaannya. Sedangkan Mama, dia tidak akan pulang sebelum jam sepuluh malam, Mama sedang berkumpul dengan teman arisannya."
Bian terdiam, dia kembali mengistirahatkan kepalanya di kepala sofa. Iris kelamnya kembali menerawang jauh, menatap langit-langit yang nampak begitu membosankan.
"Bi, biarkan aku tidur di sini untuk malam ini saja plis." rengek Fallen kembali.