15. Perasaan yang Berbeda

1896 Words
Elio duduk menyandar pada sofa dengan kepala yang tetap tegak. Matanya lurus menatap ke arah Sascha yang berbaring membelakanginya. Tubuh Sascha diam tak bergerak. Namun, kakinya tampak beberapa kali berganti posisi. Elio yakin, wanita itu belum sepenuhnya terlelap. Walau matanya berat dan mengantuk, tapi Elio tidak mungkin bisa tidur. Kepalanya sakit dan cukup pening. Bangun tiba-tiba ketika baru saja terlelap sebentar tentu membuatnya pusing. Terlebih lagi, tubuhnya sedang dalam keadaan kelelahan. Ini sudah dini hari menjelang pagi, tapi Sascha tetap saja membangunkan dan mengusirnya dari ranjang. Ingin marah, tapi tentu tak bisa. Elio bisa mengerti bagaimana cara Sascha menjaga komitmen hubungannya dengan Allan. Hanya saja, Elio tetap merasa heran. Cukup kolot kalau Sascha bersikeras tidak mau berada di tempat tidur yang sama, padahal Elio tak mungkin berani melakukan apa-apa. "Perfect," lirih Elio ketika dia menoleh ke arah jarum jam. Ini masih pukul tiga dini hari. Namun, Elio memutuskan untuk lebih baik tidak melanjutkan tidurnya. Walau kondisi kepalanya sedang tidak baik-baik saja, tapi Elio harus bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Ada misi yang harus dia selesaikan selama dia berada di mansion ini. Masih sambil menatap ke arah Sascha, Elio terus menelisik apakah wanita itu sudah benar-benar tidur. Cukup lama Elio menunggu, tapi akhirnya Sascha berhasil terlelap pada hitungan menit ke dua puluh satu. "Sha," panggil Elio dengan sengaja. Dia ingin memastikan kalau Sascha benar-benar sudah pergi ke alam mimpi. Setelah sekian detik Sascha tidak menjawab, Elio akhirnya bangkit. Dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur dan berhenti tepat di sisi ranjang. Niat hati, hanya untuk meyakinkan diri kalau Sascha tidak sedang membuka mata. Namun, Elio justru sedikit tenggelam dan memandang wanita itu terlalu lama. "Cantik," monolog Elio yang tanpa sengaja melengkungkan bibirnya. Kedua telapak tangan yang semula tersimpan rapi di saku celana, kini Elio keluarkan. Satu tangan menumpu badan yang mulai menunduk, sementara tangan yang satu terulur ke arah wajah Sascha. Melalui jemarinya, Elio menyisir lembut helai rambut Sascha yang terjuntai menutupi pipi. Sascha sempat bergerak setelah merasakan sentuhan di dahi hingga belakang telinga. Namun, wanita itu tetap tidak terbangun. Tubuh Sascha hanya berpindah posisi menjadi telentang. Sebenarnya, Elio betah-betah saja bertahan dalam situasi ini lebih lama. Namun, logikanya segera mengambil alih kesadarannya. Secepat mungkin, Elio harus mulai bekerja. Setelah sedikit membenarkan posisi selimut pada tubuh Sascha, Elio lantas menuju pintu keluar. Dia mengendap seperti penyusup. Hal seperti ini sudah sering Elio lakukan. Kalau boleh dibilang, Elio tergolong sangat lihai. Bahkan, langkah kakinya bisa diatur agar jangan sampai terdengar sama sekali. Mansion ini hanya terdiri dari dua lantai. Bentuknya memanjang dengan ukuran yang terbilang sangat amat besar. Elio masih buta dengan tiap ruang yang ada di tempat ini. Biar bagaimanapun, dia adalah agen rahasia pertama yang berhasil menginjakkan kaki disini. Tak ayal, segala sesuatu yang ada di bangunan ini adalah hal yang baru. Ketika pertama kali datang, Elio sudah mulai memindai satu persatu ruang. Walau bukan penghuni asli, Elio dapat memprediksi bahwa semua kamar ada di lantai dua. Sementara lantai satu, terdapat ruang besar semacam aula yang dikelilingi oleh ruang tamu, ruang meeting, ruang santai, ruang makan, dapur, dan akses menuju kamar tamu. Elio tidak yakin dimana Nick menyimpan semua berkas milik Peter. Namun, Elio akan memulai dengan menyusuri lantai bawah. Baginya, setiap ruang sama-sama memiliki kemungkinan. Penerangan di lantai bawah lebih minim dibandingkan lantai atas. Tak ada siapapun disini. Seluruh keluarga Schneider ada di lantai atas. Sedangkan para pengawal dan maid yang bekerja tinggal di paviliun belakang yang terpisah dari mansion utama. "Shitt!" lirih Elio ketika mendapati beberapa kamera cctv. Elio segera menganalisis seluas apa ruang lingkup yang tertangkap kamera. Sebisa mungkin, dia harus melewati area yang aman. Walau ini bukan hal yang sulit untuk seorang Elio, tapi adanya cctv membuat aksinya menjadi sedikit merepotkan. Tempat pertama yang Elio tuju adalah sebuah ruang meeting yang ukurannya tidak terlalu besar. Puluhan kursi tertata rapi mengitari sebuah meja yang berbentuk persegi. Ada sebuah lemari besar yang berada di belakang ruang. Ketika Elio coba buka, ternyata tak ada satu pun berkas yang berarti. Awalnya, Elio masih ingin mencoba mencarinya sekali lagi. Namun, otaknya menganalisa kalau kemungkinan besar, berkas yang penting tidak akan dibiarkan ada di ruang umum. Jadi, Elio harus berpikir lebih dalam untuk menemukan tempat yang lebih memungkinkan. Ketika Elio memindai pandangan, dia akhirnya menangkap sebuah celah seperti lorong kecil di belakang rak buku. Perlahan, dia lantas berjalan mendekat. Dan ternyata, ada sebuah akses menuju pintu berbahan kayu yang warna dan bentuknya sama persis seperti dinding di sekitarnya. Perasaannya mengatakan bahwa pasti ada sesuatu di dalam sana. Terlebih lagi, tempat ini letaknya cukup tersembunyi. Sialnya, ketika Elio mencoba membukanya, pintu itu terkunci. Lebih sialnya lagi, akses masuk pintu ini bukan berupa kunci atau kartu, melainkan sidik jari. Demi bisa membobol ruang ini, perlu usaha yang jauh lebih besar. Tidak akan semudah ketika Elio membuka pintu dengan tingkat pengamanan standar. Namun, bukan berarti Elio tidak bisa. Dia akan mencari cara, tapi Elio butuh trik dan waktu yang sedikit lebih panjang. Dan tentu saja, tidak bisa sekarang. Elio lantas beralih ke sisi yang lain. Dia belum menemukan petunjuk apapun, tapi setidaknya sudah ada satu tempat yang dinilai memiliki potensi. Sebenarnya, Elio berniat melanjutkan pencarian ke ruang lain. Namun, ketika dia keluar dari ruang meeting, Elio mendengar suara langkah pelan dari arah tangga. Di balik celah pintu, Elio dapat menangkap bayang tubuh seseorang. "Damn it!" lirih Elio yang mulai waspada. Ada beberapa strategi yang sudah Elio pelajari untuk kabur dari situasi genting seperti ini. Elio bisa dengan mudah keluar dari jendela tanpa sedikitpun meninggalkan jejak. Namun, ketika manik mata Elio menangkap wajah Sascha, lelaki itu lantas terkekeh pelan. Sedikit tegang, tapi lucu, tapi aneh, tapi juga miris. Elio seperti sedang melawan musuh dimana dia adalah istrinya sendiri. Sascha tampak sedang mencari keberadaannya. Wanita itu terlihat bingung dan juga sedikit panik. Ada seberkas rasa bersalah pada diri Elio, tapi sekuat hati, Elio tetap mencoba tegak pada pendiriannya untuk menyelesaikan misi ini. Maafin aku, Sha, batin Elio ketika melihat wajah polos Sascha yang masih terus mencari sambil menoleh ke kanan dan kiri. Begitu Sascha tampak berjalan menjauh, Elio lantas keluar dari pintu. Elio bisa memprediksi kalau istrinya itu akan mencarinya ke dapur hingga pintu ke arah taman belakang. Jadi, kesempatan ini akan Elio manfaatkan untuk segera kembali ke dalam kamar. Secepat yang Elio bisa, dia lantas melangkah naik. Hanya dalam hitungan detik, Elio sudah berhasil memijak lantai dua dan kembali ke kamarnya. "Finally," ucap Elio seorang diri. Sudah berhasil kabur dari Sascha, kini otak Elio sibuk memikirkan cara agar istrinya itu tidak curiga. Sebelum Sascha kembali ke kamar, Elio lantas menuju ke arah balkon. Setelahnya, dia kembali menutup pintu berbahan kaca itu. Tak lupa, Elio juga menyalakan sebatang rokok yang dia keluarkan dari saku celana. Satu menit, lima menit, sepuluh menit, Sascha belum juga kembali. Namun, Elio tetap berada di luar sana walau suhu udara hampir menginjak nol derajat. Tak sampai sepuluh detik setelah Elio menghabiskan rokok yang kedua, suara langkah kaki Sascha akhirnya terdengar. Well, ini adalah waktu yang tepat. Saatnya beraksi, batin Elio. Tepat setelah Sascha membuka pintu kamar, Elio juga dengan sengaja membuka pintu balkon. Elio masih sempat melihat wajah bingung Sascha sebelum akhirnya ekspresi wanita itu berubah terkejut. "El!" pekik Sascha. Sambil pura-pura ikut terkejut, Elio lantas sedikit memundurkan wajahnya. Matanya dia buat melebar, juga mulut yang setengah terbuka. "Sha, ngagetin aja." "Kamu yang ngagetin," balas Sascha seraya mengusap dadanya. Sascha tampak menilik ke arah pintu balkon. Dia terlihat seolah sedang bertanya-tanya, bagaimana bisa Elio keluar dari sana. Seingat Sascha, pintu itu masih terkunci sesaat sebelum Sascha keluar dari kamar. "Kamu dari mana?" tanya Sascha. "Balkon. Kamu dari mana?" Elio balas bertanya. Sebisa mungkin, Elio tidak ingin membuat Sascha mempertanyakan banyak hal. "Nyari kamu. Aku bangun tidur, tapi kamu nggak ada. Terus aku cari ke bawah juga nggak ada." "Aku di balkon dari tadi. Ngerokok. Aku nggak bisa tidur," balas Elio. "Aku tadi nggak liat kamu di balkon." "Emang kamu keluar balkon?" tanya Elio. "Enggak." Elio terkekeh. "Ya jelas aja nggak liat." "Tapi tadi kayaknya pintu balkon dikunci," bantah Sascha. Elio tersenyum simpul lalu mendekat ke arah Sascha. Dia harus segera mengalihkan pembicaraan. Entah dengan menciptakan obrolan lain, bertingkah acuh, pura-pura marah, atau justru menjerat Sascha dalam sebuah kemesraan. "Emang kenapa nyariin aku?" tanya Elio. "Kamu nggak ada di kamar, ya jelas aku cari." Elio tersenyum. Perlahan, dia mulai sedikit demi sedikit menepis jarak. "Ini aku udah disini. Sekarang kamu mau apa?" Sascha menahan napas sekaligus menahan kelopak mata agar tidak berkedip. Walau mukanya sedikit kusut, tapi Sascha akui kalau Elio tetap terlihat tampan. Pun dengan tatapan mata yang tak bisa diabaikan. Meski sedikit menyebalkan, tapi wajah Elio tetap indah untuk dipandang. "Kenapa nyari aku?" tanya Elio sekali lagi. "Nggak papa. Kalo sampe ada yang liat kamu di luar kan aneh." "Aneh kenapa?" "Ya aneh aja. Kita baru nikah, terus kamu keluyuran sendiri di luar kamar kan aneh," jawab Sascha. Elio melebarkan lagi lengkung bibirnya. Satu langkah kaki sudah cukup membuat kedua wajah mereka hampir saling menyentuh. "Emang harusnya kalo baru nikah tu ngapain?" tanya Elio dengan seringai menggoda. Kedua mata Sascha mengerjap cepat. Ah, sial! Dia gagal menyembunyikan ekspresi wajah yang terlanjur tampak salah tingkah. "Yuk, sini," ucap Elio. Jemarinya dengan cepat menggenggam pergelangan tangan Sascha dan menariknya. Tanpa sempat menolak, Sascha akhirnya berhasil dituntun hingga sampai ke tepi ranjang. "Eh eh, El," ucap Sascha. "Elio." Sascha berusaha melepas tangan Elio. Sayangnya, yang dia dapat selanjutnya adalah sesuatu yang diluar dugaan. Walau Elio mau melepaskan tangan, tapi dia kini justru menangkup wajah Sascha. Jantung Sascha berdetak dengan luar biasa cepat. Napasnya memburu. Pun dengan tubuh yang seketika kaku. Sascha hanya bisa mematung ketika jarak bibir mereka tak lebih dari dua senti. "El," lirih Sascha. Elio tersenyum. Entah mengapa, dia suka sekali dengan respon Sascha yang seperti ini. "Apa?" tanya Elio. "Kamu mau ngapain?" "Kamu maunya ngapain?" balas Elio balik bertanya. Sascha berdecih, tapi dia tak juga ada upaya melepaskan diri. "Aku pikir kamu nyariin aku buat bolehin aku tidur sama kamu," ucap Elio setengah berbisik. Tepat sekali. Sebenarnya memang iya, tapi Sascha sungkan mengakuinya. Alih-alih mengaku, Sascha justru menepis tangan Elio lalu beringsut ke arah tempat tidur. Sascha tak tahu bagaimana harus bersikap. Jadi, lebih baik dia pura-pura tak peduli. Kalau perlu, pura-pura tidur juga. "Sha," panggil Elio. "Apa?" "Aku nggak bisa tidur di sofa. Nggak cukup." "Ya udah." Sascha menjawab singkat. Namun, tubuhnya bergerak ke sisi kiri, seolah sedang memberi ruang untuk Elio berbaring. Elio ingin tertawa, tapi yang kini bisa dia lakukan hanya tersenyum tipis. Ya Tuhan. Bisa-bisanya ada wanita selucu ini. Tanpa merasa sungkan sedikit pun, Elio lantas berbaring di samping Sascha. Dia juga sengaja masuk ke dalam selimut yang sama. "Sha," panggil Elio pelan. Tidak ada jawaban, tapi Elio yakin kalau Sascha belum tidur. "Peluk boleh nggak, Sha? Dingin," lanjut Elio. Tak perlu menunggu satu detik, Sascha langsung berbalik. Matanya mendelik dengan tangan yang lantas menyambar sebuah bantal. Tepat setelah itu, Sascha langsung mengarahkan benda itu ke wajah Elio. Well, bukan peluk yang Elio dapatkan, melainkan sebuah hantaman ringan. "Tidur di kamar mandi aja sana," ucap Sascha. Elio sontak tertawa. Matanya sampai menyipit karena lelaki itu tergelak cukup lama. Jujur, ini adalah kali pertama Sascha melihat sisi Elio yang seperti ini. Ingin menyangkal, tapi Elio yang ini memanglah sangat manis. Entah harus mendeskripsikan dengan cara seperti apa, Sascha tak tahu. Yang jelas, wanita itu pada akhirnya menyadari bahwa ada perasaan yang berbeda di dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD