BAB 8 - MENJAGA JARAK

1464 Words
Keesokan hari, Gendis berusaha keras untuk bertindak normal. Dia menjalankan tugas-tugasnya dengan lebih cekatan, diam dan menghindari kontak mata dengan siapapun yang ditemuinya. Gadis itu berharap bisa menghapus ingatan tentang insiden semalam dari benak semua orang, terutama dari benak Bagas. Namun, harapan itu sia-sia. Siang itu, saat Gendis sedang membersihkan area pendopo tengah, mengelap tiang-tiang ukiran yang megah, sebuah suara mengagetkannya. "Gendis…." Suara itu tidak formal, tidak dingin seperti suara Gusti Endah, tetapi juga tidak sepenuhnya ramah seperti suara Yu Painah. Itu adalah suara Raden Mas Bagas Narendra. Gendis tersentak hingga menjatuhkan kain lapnya. Gadis itu segera membungkuk dalam. "Nggih, Gusti?" Bagas berdiri tidak jauh di belakangnya, mengenakan busana santai dari kain lurik, tetapi auranya tetap memancarkan kebangsawanan. Pemuda tidak tampak marah, tetapi tatapannya intens, menyelidik. "Kamu... nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya sedikit rendah, seolah sedang bertanya tentang sesuatu yang lebih dari sekadar "tidak apa-apa". Gendis bingung. "Nggih, Gusti. Saya baik-baik saja." Gadis itu masih menunduk, membungkuk di depan Bagas. Bagas mengangguk pelan, lalu melangkah lebih dekat. "Aku khawatir setelah semalam. Itu... nyaris." Gendis menelan ludah. "Nggih, Gusti. Syukurlah kita nggak ketahuan." Dia berusaha keras menjaga suaranya tetap formal, profesional sambil menjaga jarak "Aku nggak bermaksud menakutimu," lanjut Bagas sambil memperhatikan Gendis yang tampak ketakutan, "tapi, setelah itu... aku berpikir. Bagaimana kalau ada yang lihat?" Gendis merasakan pipinya memanas. "Saya akan lebih berhati-hati lagi, Gusti. Saya nggak akan mengulangi kesalahan itu." "Kesalahan?" Bagas mengangkat alisnya. "Merias itu kesalahan buat kamu?" Gendis terdiam, dia tidak bisa bicara "tidak" tanpa terdengar kurang ajar, tetapi juga tidak bisa mengatakan "ya" tanpa mengkhianati dirinya sendiri. "Itu... itu melanggar aturan Ndalem, Gusti dan saya hanya pelayan, saya harus tahu posisi saya di Ndalem ini." "Hanya pelayan?" Bagas mengulangi, nada suaranya sedikit sinis. Laki-laki itu melangkah mendekat lagi, membuat Gendis merasa terpojok di antara tiang pendopo. "Semalam, kamu itu bukan hanya pelayan, tapi kamu... kamu itu seniman." "Gusti..." Gendis mengangkat pandangannya sedikit, melihat tatapan Bagas yang dalam. "Saya mohon, Gusti. Jangan bicarakan itu di sini. Ini nggak pantas." Bagas mengabaikan peringatannya. "Kenapa nggak pantas? Apa karena kamu abdi dalem, kamu nggak boleh punya kebanggaan? Nggak boleh punya jiwa?" "Bukan begitu, Gusti," Gendis berbisik, panik sambil melirik ke sekeliling, takut ada yang melihat mereka berbicara terlalu intim. "Saya punya tugas saya dan tugas saya adalah melayani, bukan... bukan menjadi seniman untuk Gusti." "Apa bedanya?" Bagas menukas, suaranya sedikit meninggi, ada nada frustasi di sana. "Kamu bilang merias itu jiwamu, nafasmu, tapi kamu rela menyembunyikannya, hanya karena status?" "Itu... itu memang aturannya, Gusti," Gendis bersikeras. "Saya nggak bisa melawan dan Gusti juga nggak seharusnya mempertanyakannya." Bagas menghela napas panjang, tatapannya menyapu ke sekeliling pendopo, seolah melihat tembok-tembok tak kasat mata yang mengelilinginya. "Aturan," gumamnya, penuh kepahitan. "Selalu ada aturan, aturan kasta, aturan hidup. Aku sudah muak dengan aturan." Gendis merasa hatinya terenyuh, tetapi dia mati-matian menahan diri. “Jangan, Gendis. Jangan terlibat.” Hati kecilnya berbisik. "Kamu tahu, Gendis," Bagas melanjutkan, kini suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan pengakuan, "aku melihat diriku di dirimu. Aku merasa terjebak, tercekik. Hanya saja, kamu punya jalan keluar, kamu punya seni, sementara aku... aku nggak punya apa-apa." "Gusti punya segalanya," Gendis membalas, suaranya nyaris tidak terdengar. "Gusti ini pewaris. Gusti punya nama besar, sementara saya... saya hanya rakyat biasa." Bagas menatapnya, ada kerentanan yang mendalam di mata laki-laki itu. "Dan apa gunanya semua itu, kalau aku nggak bisa menjadi diriku sendiri? Kalau aku harus menikahi orang yang nggak aku cintai? Kalau aku harus hidup sebagai boneka?" Gendis terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ingin rasanya menghibur Bagas, tetapi jarak kasta mereka terlalu besar dan hal itu tidak pantas dia lakukan. "Gendis, apa... apa kamu bisa merias lagi malam ini?" tanya Bagas, tatapannya memohon. "Sesi fotonya ditunda besok, jadi aku butuh... sentuhanmu lagi. Aku butuh merasa seperti aku bisa memilih." Gendis menggeleng, panik. "Tidak, Gusti. Itu terlalu berbahaya. Setelah semalam... saya nggak bisa." "Aku akan menjamin keamananmu," Bagas bersikeras. "Nggak akan ada yang tahu. Aku janji." "Nggak, Gusti," Gendis menjawab, suaranya terdengar lebih tegas. "Saya nggak bisa, Gusti. Saya nggak boleh. Tugas saya di sini adalah membersihkan, memasak, mencuci, bukan... bukan menjadi juru rias pribadi Gusti." Bagas menatapnya lama, ekspresi kecewa melintas di wajahnya. "Kamu menolakku?" "Saya hanya menolak melanggar aturan, Gusti," Gendis meralat, membungkuk lagi. "Saya mohon pengertian Gusti." Bagas menghela napas, panjang. "Baiklah," gumamnya, suaranya kembali datar, dingin. Perisai itu benar-benar kembali terpasang. "Kalau begitu, kembali saja pada tugasmu." Laki-laki itu segera berbalik, meninggalkan Gendis sendirian di pendopo. Gendis merasakan napasnya tertahan. Dia telah menolak seorang bangsawan. Rasa takut kembali menyelimutinya, tetapi juga ada sedikit kebanggaan. Dia telah menjaga jarak, menjaga batas. “Ini yang terbaik, Gendis,” batinnya lega. “Ini satu-satunya jalan untuk selamat di Ndalem ini.” Namun, moment itu bukan akhir dari Bagas yang mencari Gendis. Beberapa hari kemudian, intensitas itu kembali terasa. Gendis sering mendapati Bagas di area-area yang tidak biasa pria itu kunjungi, seperti di dapur saat dia sedang membantu Yu Painah, atau di kebun belakang saat dia sedang memetik bunga melati. Bagas memang tidak selalu bicara padanya, kadang hanya lewat, melempar pandangan sekilas yang penuh pertanyaan, seolah ingin memastikan Gendis baik-baik saja, atau seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan. Hingga suatu sore, Gendis ditugaskan membersihkan paviliun samping, sebuah bangunan kecil yang jarang digunakan yang terletak di ujung taman. Udara di sana begitu sepi, hanya ada suara angin yang berdesir melalui daun-daun bambu. Gendis sedang menyapu lantai keramik yang dingin ketika dia mendengar langkah kaki mendekat. Jantungnya langsung berdebar. Gadis itu sudah hafal dengan irama langkah itu. "Gendis," Bagas memanggil, suaranya rendah. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu, menatap Gendis tajam. Gendis segera membungkuk. "Nggih, Gusti. Ada yang bisa saya bantu?" Bagas melangkah masuk, berhenti di dekatnya. "Aku hanya... ingin bicara." "Saya sedang bertugas, Gusti," Gendis mencoba menghindar. "Paviliun ini harus bersih sebelum malam." "Ini akan cepat," Bagas bersikeras sambil terus menatap Gendis, matanya mencari sesuatu. "Kamu... kenapa kamu selalu menghindariku, Gendis?" Gendis menelan ludah. "Saya nggak menghindar, Gusti. Saya hanya... menjaga jarak. Itu sudah seharusnya." "Seharusnya?" Bagas mencibir. "Siapa yang membuat aturan itu? Ibuku? Para leluhurku?" Dia menghela napas. "Apa kamu nggak lelah dengan semua aturan ini? Aku lelah, sangat lelah." Ada nada keputusasaan yang begitu nyata dalam suara Bagas, membuat Gendis merasa sedikit goyah. "Saya... saya hanya ingin selamat di sini, Gusti," Gendis berbisik. "Saya nggak punya kemewahan untuk lelah, saya harus patuh." Bagas mendekat satu langkah lagi. "Tapi kalau kepatuhan itu membuatmu kehilangan dirimu sendiri? Kehilangan 'jiwamu'? Bagaimana?" Gendis menunduk, matanya menatap sapu di tangannya. "Lebih baik kehilangan jiwa, daripada kehilangan nyawa, Gusti." "Apa kamu benar-benar berpikir begitu?" tanya Bagas heran, suaranya kini terdengar sangat dekat. "Atau kamu hanya menakuti dirimu sendiri?" Gendis tidak menjawab. Gadis itu bisa merasakan aura Bagas yang begitu kuat, dekat dan mengintimidasi sekaligus memikat. Dia harus pergi sekarang. "Saya mohon izin, Gusti," ujar Gendis sambil mencoba melangkah mundur, "saya harus melanjutkan tugas saya." "Tunggu!" Bagas segera meraih lengannya, lembut, tetapi cukup kuat untuk menghentikan gadis itu. "Aku hanya ingin tahu. Apa... apa yang kamu rasakan saat kamu merias? Apa yang kamu lihat di wajahku tempo hari?" Gendis menatap tangannya yang dipegang Bagas, sentuhan itu kembali memercikkan listrik. Ini bahaya yang nyata. Dia mengangkat kepalanya, menatap Bagas. "Saya... saya melihat seorang pria yang terbebani, Gusti dan saya mencoba... mencoba membuat Gusti terlihat seperti Gusti bisa bernapas lagi." Bagas mengangguk pelan, tatapannya melembut. "Kamu berhasil, Gendis. Malam itu… waktu kamu merias, aku merasa sedikit bebas, terasa sedikit... seperti diriku sendiri." Dia menghela napas. "Aku ingin merasakan itu lagi. Aku... aku ingin lebih banyak dari itu." Gendis merasakan darahnya berdesir. Dia harus menarik diri sekarang. "Saya nggak bisa, Gusti." "Kenapa nggak bisa?" tanya Bagas, suaranya memohon. "Apa kamu nggak mau membantuku? Apa kamu nggak mau merasa hidup lagi melalui senimu?" Pada saat itu, dari kejauhan, di antara rerimbunan pohon beringin tua yang menutupi bagian belakang paviliun, Gendis melihat sebuah bayangan bergerak. Sosok seorang pria, mengenakan seragam Abdi Dalem berwarna gelap, tampak melintas cepat. Jantung Gendis mencelos. Itu pasti Lik Karto, salah satu Abdi Dalem senior yang terkenal sebagai mata-mata Gusti Endah Suryawinata. Gadis itu segera menarik tangannya dari genggaman Bagas, seolah Bagas baru saja menyentuh bara api. "Gusti, saya mohon!" bisiknya, suaranya penuh kepanikan. "Jangan lakukan ini! Ada yang melihat kita!" Bagas mengerutkan kening. "Siapa?" Gendis tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa menatap mata Bagas yang kebingungan, lalu melirik ke arah rerimbunan pohon di mana dia melihat bayangan Karto yang menghilang. Gendis yakin kalau Lik Karto pasti melihat Bagas memegang tangannya, melihat mereka berbicara terlalu dekat. Bahaya sudah ada di depan mata. "Saya harus pergi, Gusti!" Gendis berbalik, berlari keluar dari paviliun, meninggalkan Bagas yang masih berdiri di sana, bingung, dengan tangannya yang menggantung di udara. Gadis itu berlari sekencang-kencangnya, melewati rerimbunan pohon beringin, hatinya dipenuhi ketakutan yang mencekik. Lik Karto pasti sudah melihat dan itu berarti, Gusti Endah Suryawinata pasti akan segera tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD