"Saya akan mencoba, Gusti," Gendis berjanji sambil mulai mengaplikasikan bedak tabur tipis. Gadis itu menggunakan teknik kontur yang sangat halus, hanya untuk menonjolkan fitur alami Bagas, membuat rahangnya terlihat lebih tegas dan hidungnya lebih mancung, tetapi tanpa kesan berlebihan.
Gendis ingin Bagas terlihat alami, tetapi dengan aura kekuatan yang lebih personal, bukan kekuatan kasta.
"Kamu tahu, Gendis..." Bagas memulai lagi, suaranya semakin rendah, seolah dia sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Sejak kecil, hidupku sudah digariskan. Siapa yang harus aku nikahi, bagaimana aku harus berjalan, berbicara, bahkan bagaimana aku harus merasakan. Aku nggak pernah punya pilihan."
Gendis mendengarkan. Namun, kuasnya terus bergerak lembut di wajah Bagas. Gadis itu merasakan kesamaan nasib. Dia juga tidak punya pilihan saat harus menjadi abdi dalem.
"Dan sekarang..." lanjut Bagas, suaranya sedikit bergetar. "Aku harus menikahi Lintang. Demi pusaka, demi darah ningrat dan demi nama baik keluarga, tapi... aku nggak mencintainya."
Sebuah pernyataan yang mengguncang Gendis. Dia menahan napas, ini bukan lagi sekadar permintaan riasan, tapi sebuah pengakuan.
"Aku merasa... seperti aku sedang menjual diriku sendiri," bisik Bagas, matanya masih terpejam. "Aku telah menjual jiwaku. Demi sesuatu yang bahkan aku nggak yakin apa itu nyata atau hanya takhayul tua."
Gendis merasa tangannya sedikit gemetar. Dia tidak boleh merespons secara pribadi, karena laki-laki ini adalah majikannya, tapi hatinya merasakan sakit yang sama.
"Pusaka itu... dan kutukan itu..." Bagas menghela napas panjang, yang terdengar seperti sebuah beban yang sangat berat. "Semua itu mengikatku, Gendis. Mengikatku lebih erat daripada rantai apapun dan aku... aku nggak tahu bagaimana caranya melepaskan diri."
Gendis menyelesaikan riasan matanya, hanya sedikit mempertegas alis dan memberi eyeliner tipis di garis bulu mata atas, membuat mata Bagas terlihat lebih tajam. Namun, juga lebih sendu. Dia ingin Bagas terlihat kuat, tetapi dengan sentuhan kerentanan di matanya, kerentanan yang dia lihat sendiri.
"Bagaimana... bagaimana rasanya, Gendis?" tanya Bagas, suaranya kini terdengar sangat rapuh. "Bagaimana rasanya merasa bebas? Merasa bisa memilih takdirmu sendiri?"
Gendis menunduk, mengambil lip balm berwarna natural. "Saya... saya juga sama, Gusti. Saya juga nggak sepenuhnya bebas," bisiknya.
"Saya juga terikat oleh hutang, oleh kewajiban keluarga, tapi... saya punya seni, saya punya kuas dan saat saya merias, saya merasa... saya bisa menciptakan takdir, walau hanya di atas kanvas wajah."
Bagas membuka mata, lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat lebih segar dan lebih hidup. Garis-garis kelelahan di sekitar matanya sedikit tersamarkan, rahangnya tetap tegas, tetapi tidak lagi kaku. Ada kilau di matanya, kilau yang berbeda dari kehampaan yang Gendis lihat sebelumnya.
"Ini... ini luar biasa," gumam Bagas, suaranya penuh kekaguman sambil memperhatikan wajahnya di pantulan cermin. Pria Jawa itu lalu mengulurkan tangannya, menyentuh pipinya sendiri, lalu rahangnya. "Ini... ini bukan aku yang biasa. Ini... aku yang seharusnya." lanjutnya sambil melirik, menatap ke Gendis lagi di cermin. "Kamu benar. Ada jiwa di dalamnya."
Gendis merasakan gelombang kepuasan artistik yang membuncah, karena dia telah berhasil. Dia telah melihat "dirinya sendiri" di wajah bangsawan ini.
"Gendis," Bagas memanggil, suaranya kini sangat pelan, nyaris tidak terdengar. Namun, tatapan matanya tidak beralih menatap Gendis di cermin. "Aku... aku merasa seperti aku bisa memberitahu kamu apa saja, sepertinya kamu bisa melihat ke dalam diriku."
Gendis menahan napas, karena ini adalah puncak ketegangan. Bagas lalu menghela napas dalam, dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya mengunci Gendis di pantulan cermin. Ada sesuatu yang siap ingin dikatakan, sesuatu yang sangat pribadi dan terlarang.
"Aku... aku merasa sangat..." Suara Bagas tercekat lalu dia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh pantulan Gendis di cermin. "Aku merasa sangat... kesepian, Gendis dan kamu... sentuhanmu... membuatku merasa..."
Tiba-tiba terdengar suara derit pintu dari luar koridor memecah keheningan yang mencekam. Sebuah derit halus, tetapi cukup untuk membuat jantung Gendis melompat.
Dia dan Bagas sama-sama tersentak, mata mereka melebar. Mereka tidak sendirian di Ndalem yang gelap ini. Ada seseorang yang berjaga atau mungkin seseorang sedang mengawasi.
Bagas segera menarik tangannya, tatapannya kembali menjadi dingin, perisai itu kembali terpasang. Gendis merasa seluruh darahnya membeku. Mereka tertangkap atau setidaknya, hampir tertangkap. Dia harus segera pergi, sebelum dia sendiri melakukan kesalahan yang lebih besar.
Suara derit pintu itu terdengar halus. Namun, memekakkan di tengah keheningan malam, membuat Gendis dan Bagas sama-sama tersentak. Mata mereka melebar, saling bertemu di cermin, dipenuhi keterkejutan dan ketakutan yang sama. Jantung Gendis berdebar gila-gilaan, seperti genderang perang yang tidak terkendali.
"Sst!" Bagas berbisik, cepat, suaranya serak. Dia segera mematikan lampu minyak di sampingnya, membuat kamar itu jatuh ke dalam kegelapan total, hanya dihiasi bias rembulan yang samar dari jendela. Gerakannya begitu sigap, terlatih, seolah sudah terbiasa dengan bahaya yang mengintai.
Gendis membeku di tempatnya, kuas rias masih tergenggam erat di tangan. Gadis itu bisa merasakan napas Bagas yang memburu, begitu dekat dan nyata dalam kegelapan yang pekat ini. Aroma cendana dan tembakau halus terasa semakin kuat, menyelubunginya.
"Sembunyi!" bisik Bagas lirih, tapi mendesak. Bergegas diraihnya pergelangan tangan Gendis, menariknya ke sudut kamar, di balik tirai tebal yang menutupi jendela besar. Gendis nyaris tersandung, tetapi Bagas menahannya, jemarinya mencengkeram erat.
Di balik tirai, Gendis bisa mendengar Bagas bergerak cepat, merapikan meja rias, menyembunyikan kotak rias di bawah tumpukan kain batik lalu keheningan mencekam kembali. Hanya ada detak jantung Gendis yang memukuli gendang telinganya dan napas Bagas yang teratur di sampingnya.
Beberapa detik berlalu, terasa seperti keabadian. Tidak ada suara lagi dari luar maupun ketukan pintu, langkah kaki juga tidak ada, yang ada hanya suasana hening yang mencekam.
"Mungkin... hanya angin," Bagas berbisik, suaranya kini terdengar sedikit lega. Namun, masih dipenuhi kehati-hatian. "Atau Abdi Dalem yang berjaga."
Gendis tidak menjawab. Gadis itu terlalu takut, keringat dingin mulai membasahi punggung. Ancaman Endah Suryawinata terngiang lagi di benaknya, "Apa pun yang mengancamnya, akan disingkirkan. Tanpa ampun." Jika mereka tertangkap, dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya atau pada Bagas.
"Gendis," Bagas memanggil, suaranya lebih lembut. "Kamu baik-baik saja?"
Gendis mengangguk, meskipun tahu Bagas tidak bisa melihatnya dalam kegelapan. "Nggih, Gusti. Saya... saya harus pergi."
"Tunggu sebentar." Bagas menahan. "Pastikan aman dulu."
Mereka menunggu lebih lama, tersembunyi di balik tirai. Keintiman yang tercipta dari ketakutan bersama itu terasa begitu aneh dan terlarang. Gendis bisa merasakan kehangatan tubuh Bagas di dekatnya, kekuatan lengannya yang masih melingkari pergelangan tangannya. Jantungnya masih berdegup sangat kencang.
Akhirnya, Bagas melepaskan genggamannya. "Kurasa sudah aman," bisiknya. Dia kembali menyalakan lampu minyak, cahayanya yang temaram kembali mengisi ruangan. Namun, tidak mampu mengusir ketegangan yang menggantung.
Gendis segera membungkuk dalam. "Maafkan saya, Gusti." Suaranya gemetar. "Saya... saya harus kembali ke bilik saya sekarang, takut ada yang melihat."
Bagas menatapnya, matanya masih memancarkan kekhawatiran, tetapi juga ada sesuatu yang lain di sana, sebuah kilasan kekecewaan. "Baiklah," gumam Bagas, suaranya kembali datar, perisai itu terpasang lagi. "Hati-hati, Gendis dan terima kasih."
Gendis tidak menunggu lagi. Bergegas dia mengambil kotak rias yang dibelikan Bagas yang tadi disembunyikan di bawah tumpukan kain batik.
Gadis itu memeluk kotak rias erat dan segera keluar dari kamar Bagas, seolah dikejar oleh setan. Pintu kamar pun tertutup perlahan di belakangnya, mengakhiri malam yang penuh ketegangan dan pengakuan.
Di koridor yang gelap dan sepi, Gendis bersandar pada dinding, memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih menggila.
“Tadi itu nyaris! Nyaris sekali!” Gendis memaki dirinya sendiri. “Bodoh, Gendis! Apa yang kamu pikirkan? Ini bukan tempatmu! Kamu hanya abdi dalem! Kamu itu cuma babu!”
Gadis itu kembali ke biliknya, mengunci pintu, dan merosot ke lantai, masih memeluk kotak rias yang dibelikan Bagas. Rasa takut mencengkeramnya, tetapi di antara rasa takut itu, ada juga denyutan aneh di hatinya.
Denyutan karena sentuhan Bagas, karena pengakuannya, cara dia membela Gendis dari bahaya yang tidak terlihat. Gadis itu menggeleng pelan, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu yang berputar di benaknya.
“Tidak. Jangan pernah. Ini Ndalem Suryawinata dan kamu... kamu cuma pelayan, Gendis.” Suara hati Gendis mengingatkan posisinya di Ndalem Suryawinata.