BAB 20 - KERINDUAN YANG MENDALAM

1691 Words
Sebulan pun berlalu, Tubuh Bagas Narendra terasa kaku di balik balutan beskap beludru hitam yang tebal. Kain mahal itu terasa mencekik, lebih dari sekadar pakaian, tetapi seperti rantai yang dipatrikan langsung ke tulang punggungnya. Laki-laki tampan itu duduk di kursi terhormat, di deretan bangsawan utama, di tengah upacara peresmian yayasan budaya yang diselenggarakan oleh keluarga sepupunya di ujung kota. Matahari siang menembus atap pendopo, membuat ruangan terasa panas dan pengap. Udara dipenuhi aroma kemenyan, melati, dan parfum Ningrat yang berat, campuran antara bau kemewahan dan formalitas yang kini terasa menjijikkan di hidung Bagas. Seorang orator tua sedang berbicara di mimbar, mengagungkan sejarah kasta mereka, memuji garis darah murni yang telah menjaga pusaka dan tradisi selama berabad-abad. Bagas mendengar kata-kata itu, tetapi tidak memahaminya. Kata-kata itu hanyalah gema kosong. “Mas Bagas sepertinya terlihat lelah,” bisik Raden Mas Aryo yang duduk di sebelahnya, seorang sepupu jauh yang selalu bangga dengan gelarnya. “Mungkin persiapan pernikahan dengan Raden Ajeng Lintang terlalu berat?” Bagas memaksa seulas senyum kaku. “Nggak, Mas. Hanya... udara hari ini terlalu berat untuk bernapas.” Aryo tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti gesekan sutra. “Itu namanya tanggung jawab, Mas. Udara kasta memang berat, tapi itulah yang membuat kita berbeda. Kita ditakdirkan untuk memimpin, untuk membawa beban ini.” “Beban,” batin Bagas resah sambil menatap langit-langit ukiran kayu yang megah yang berada di atasnya. Pria bangsawan itu merasakan mahkota yang dikenakannya kini terasa begitu berat sejak dia bertemu Gendis. Sesaat dipejamkan matanya, dan yang muncul di benaknya bukanlah Pusaka Daniswara, bukan juga wajah tegas Endah, atau senyum elegan Lintang, calon istrinya. Yang muncul adalah bayangan Gendis di dapur Ndalem, tangannya belepotan bumbu, rambutnya diikat longgar, wajahnya memancarkan kejujuran yang brutal. Di Ndalem Suryawinata, Gendis adalah Abdi Dalem, seseorang dengan kasta terendah, gadis itu hanya seorang juru rias yang bertugas membersihkan piring dan menyapu lantai. Namun, di mata Bagas, Gendis adalah satu-satunya manusia otentik yang pernah ditemuinya dan dia cintai. Bagas lalu membuka mata, dia tidak bisa lagi menahan sandiwara ini. Setiap detik yang dihabiskannya di sini, mendengarkan pujian kosong tentang darah biru, adalah pengkhianatan terhadap janji yang dia buat pada Gendis di ruang pusaka dan keintiman mereka berdua yang sekarang menjadi sebuah kebutuhan. “Maaf, Mas Aryo,” Bagas memotong pembicaraan Aryo tentang rencana pernikahan. “Saya harus segera kembali ke Ndalem Suryawinata. Ada urusan mendesak yang nggak bisa ditunda.” Aryo mengerutkan kening, pemuda itu merasa tersinggung. “Tapi, Mas Bagas, acara ini belum selesai. Kamu harus tinggal sampai sesi foto keluarga.” “Saya mohon maaf,” ujar Bagas sambil bangkit dan berdiri. Dia lalu membungkuk singkat dengan gerakan yang penuh penghormatan, tetapi niatnya jelas pergi dari tempat itu. “Nanti tolong beritahu Ibu saya, kalau saya mendadak kurang enak badan, saya harus pulang.” Bergegas Bagas berjalan cepat meninggalkan pendopo dengan langkah gontai. Namun, beribu tatapan puluhan Ningrat menusuk punggungnya, menilai dan menghakimi ketidakpatuhannya, tapi dia tidak peduli. Sesampainya di area parkir Bagas memerintahkan sopirnya untuk kembali ke Ndalem Suryawinata. “Cepat, antar saya pulang,” perintah Bagas, suaranya mendesak. Mobil mewah itu akhirnya melaju membelah keramaian kota. Selama perjalanan, Bagas terus menatap keluar jendela, di sana dia melihat kehidupan orang biasa, seperti pedagang, mahasiswa, pekerja. Kehidupan yang sederhana, tanpa beskap beludru yang menyesakkan. Bagas membayangkan Gendis ada di salah satu ruko kecil itu, membuka studio riasnya sendiri, bebas dari Gusti Endah, ibunya, bebas dari Karto dan juga darinya. “Aku sudah gila,” Bagas bergumam pada dirinya sendiri. “Aku lebih merindukan bau bawang di dapur, bukan bau melati di pendopo.” Saat mobil memasuki gerbang Ndalem Suryawinata, perasaan Bagas bercampur antara lega dan rasa takut. Ndalem Suryawinata adalah penjara, tetapi di Ndalem juga tempat Gendis berada. Saat itu Bagas tidak masuk melalui pintu utama, dia meminta sopir menurunkannya di paviliun belakang, sehingga bisa menyelinap tanpa harus bertemu anggota keluarga yang lain atau para abdi dalem. Pemuda itu menyusuri koridor-koridor sepi, kakinya terasa ringan karena tidak mengenakan sepatu formalnya, kemudian naik ke lantai dua, menuju ke galeri seni leluhur yang jarang dikunjungi yang berada di lantai dua. Dari sana, dia bisa melihat dengan jelas ke area dapur dan halaman belakang, tempat Abdi Dalem biasanya bekerja di sore hari. Bagas menyandarkan dirinya di pilar kayu, matanya mencari sosok yang sudah menjadi candunya yang selalu membuat dadanya berdebar kencang. Di sana dilihatnya Marni dan Siti sedang menjemur kain di area jemuran, juga ada Harjo yang sedang menyiram tanaman dan Gendis juga terlihat di sana. Tubuhnya yang sintal dan padat yang selalu membangkitkan gairahnya membuat Bagas terpesona, ditatapnya paras cantik abdi dalem itu yang kali ini selalu melayaninya di tempat tidur setiap kali dia membutuhkan. Mereka selalu melakukannya saat tengah malam di tempat yang berbeda, kadang di ruang perpustakaan, di kamar Bagas atau di kamar Gendis sendiri saat Bagas sudah tidak tahan untuk memberitahunya. Gendis saat itu sedang menyapu halaman dapur yang kotor, debu beterbangan di sekitarnya. Dia mengenakan kebaya Abdi Dalem yang usang, rambutnya disanggul asal-asalan. Wajahnya tampak lelah, tetapi ada ketegasan baru dalam gerak tubuhnya. Bagas menatap sang kekasih dari lantai dua, napasnya tertahan. Dilihatnya setiap helai rambut yang lepas dan juga setiap tetes keringat di pelipis Gendis. “Kamu adalah juru rias paling hebat di dunia, Gendis,” gumam Bagas, hatinya terasa sakit. “Kenapa kamu harus menyapu debu di sini? Kenapa aku membiarkanmu?” Bagas menyadari absurditas situasinya, dia baru saja meninggalkan upacara kebangsawanan yang bernilai jutaan rupiah, hanya untuk berdiri di balkon Ndalem Suryawinata, mengamati seorang gadis yang sedang menyapu yang kali ini selalu memenuhi kebutuhan batinnya. Gendis tampak berhenti menyapu, dia memungut beberapa helai daun kering yang jatuh dari pohon mangga. Bagas melihat Gendis mengusap perutnya secara sekilas, gerakan kecil, cepat, dan hampir tidak terlihat. Apa Gendis hamil? Bagas belum berani menanyakan kebenaran itu secara langsung, dia takut menghancurkan Gendis dengan kenyataan bahwa anak mereka akan terlahir sebagai anak haram yang dikutuk kasta. Bagas merasa sangat bersalah. Dia telah membahayakan Gendis dua kali yaitu dengan cinta terlarangnya, dan dengan anak yang mungkin sedang dikandung gadis itu. Ingin rasanya dia lari ke bawah, memeluk Gendis dan membawa gadis itu pergi dari debu dan kekejaman Ndalem. Tiba-tiba, Gendis menoleh, bukan ke arah Bagas, tetapi ke arah pintu dapur. Karto baru saja muncul, tongkatnya mengetuk lantai batu andesit. Karto berjalan mendekati Gendis, dan Bagas bisa melihat Karto berbicara dengannya, meskipun dia tidak bisa mendengar percakapan mereka. Postur Gendis tampak menegang sambil memegang sapunya erat-erat, seolah sapu itu adalah senjata. Bagas tahu, Karto sedang menginterogasi Gendis lagi, menguji batas kesabarannya, mencari celah dalam pertahanan Gendis. Pria itu mencengkeram pilar. Ingin rasanya dia turun, dia tidak bisa membiarkan Karto mengganggu Gendis. Saat Bagas hendak melangkah, Karto mengulurkan tongkatnya, dan dengan gerakan yang disengaja, pria tua itu menyentuh punggung Gendis. Bukan sentuhan kasar, tetapi sentuhan yang meremehkan, sentuhan yang mengingatkan Gendis akan posisinya. Gendis tersentak mundur, matanya memancarkan kemarahan yang Bagas kenali, kemarahan yang sama yang dirasakannya terhadap Ndalem Suryawinata. “Karto keterlaluan,” desis Bagas kesal. Bagas kembali menatap Karto, laki-laki itu tidak hanya mengganggu Gendis, tapi sedang mengawasinya. Karto adalah mata Ndalem Suryawinata yang memastikan gadis itu tidak pernah merasa nyaman di sana. Bagas mundur sedikit dari pilar dan memastikan tidak terlihat. Dia harus melindungi Gendis, tetapi tidak bisa melakukannya secara terbuka. Jika dia membela Gendis di depan Karto, maka hanya akan mengonfirmasi semua gosip dan kecurigaan. Bagas menarik napas dalam-dalam. Jika dia tidak bisa melindunginya secara fisik, dia harus melindunginya secara emosional. Pria ningrat itu harus mengirimkan pesan. Dicarinya sesuatu di saku beskap. Ada sebuah saputangan sutra putih bersih, yang diambilnya secara otomatis dari kamar pribadinya sebelum pergi ke acara tadi. Saputangan itu berinisial "B.N." dengan sulaman emas, saputangan itu adalah simbol kepemilikan Bagas. Bagas melihat ke arah bawah lagi. Karto baru saja meninggalkan Gendis dan kembali ke dapur, puas karena dia berhasil membuat gadis itu merasa tertekan. Gendis lalu kembali menyapu, tetapi gerakannya kini lambat dan penuh frustrasi. Bagas membuat keputusan cepat. Kasta ini memberinya gelar yang kosong, tetapi juga memberinya hak untuk membuang barang. Diambilnya saputangan sutra itu, dan membungkusnya di sekeliling sebuah batu kecil yang ditemukan di ambang jendela. Bagas lalu melempar batu itu sedekat mungkin dengan Gendis, tanpa membuat gadis itu melihat dirinya. Pria itu menunggu sampai Marni dan Siti sibuk mengobrol di ujung halaman. Dia mengunci tatapannya ke arah Gendis, yang kini sedang membersihkan tempat sampah di dekat dinding. Dengan hati-hati, Bagas mengayunkan tangannya dan melempar bungkusan kecil itu ke arah Gendis. Bungkusan itu terbang melengkung, mendarat dengan bunyi pluk yang pelan, tepat di samping kaki gadis itu, di antara tumpukan daun kering. Sesaat Gendis membeku lalu menoleh ke sekeliling, mencari tahu dari mana benda itu berasal. Dia melihat ke atas, ke atap, lalu ke kebun belakang, tetapi tidak melihat apa-apa. Diambilnya bungkusan itu dengan hati-hati, lalu membuka lilitan saputangan dan membiarkan batu itu jatuh. Gendis mengenali saputangan yang berinisial “B.N.” dengan sulaman benang emas di ujung kain, saputangan itu milik Bagas, kekasih ningratnya. Gadis itu menatap saputangan tersebut lalu menyentuh tekstur kainnya yang lembut dan berbau “Suryawinata Essence” parfum yang khas yang hanya dipakai oleh Bagas. Parfum yang kini selalu menyelimuti tubuhnya saat mereka bersatu. Gendis merindukan sentuhan parfum itu, sebuah pengakuan rahasia dan janji kalau dia tidak dilupakan. Gendis mencium kain saputangan itu sesaat lalu melipatnya segera dengan cepat dan menyembunyikannya di balik kain kemben yang tertutup kebaya, tepat di tempat dia menyembunyikan perutnya. Gadis itu belum yakin apa dia benar-benar hamil atau tidak, tapi gejalanya sudah dia rasakan beberapa kali. Gendis lalu menoleh ke arah jendela di lantai dua, ke arah tempat Bagas berdiri. Meskipun pria bangsawan itu bersembunyi di balik bayangan pilar, tapi dia bisa melihatnya saat Bagas mengintip sedikit di balik pilar. Mata mereka bertemu sejenak di udara yang memisahkan mereka. Bagas tidak tersenyum, tapi hanya mengangguk kecil, anggukan yang dipenuhi janji dan permintaan maaf yang mendalam. Gendis, yang biasanya akan menunduk karena ketakutan, kali ini membalas tatapan Bagas, tatapannya tidak lagi penuh ketakutan, tetapi penuh tekad. Dia juga mengangguk sekali, anggukan yang menegaskan kalau dia telah menerima pesan sang kekasih. Bagas merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa lalu berbalik dan kembali ke Ndalem Suryawinata hanya untuk melihat bahwa dia masih memiliki tempat di hati Gendis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD