bc

HEAVEN IN YOUR EYES

book_age16+
12
FOLLOW
1K
READ
second chance
independent
drama
campus
small town
friends
like
intro-logo
Blurb

Fatih Anwar Ramadhan (Rama) seorang mahasiswa yang sangat membenci ibunya karena berprofesi sebagai seorang kupu-kupu malam. Sedangkan Lasmini, ibu kandung Rama yang seorang janda, menjalankan profesi itu agar Rama bisa sekolah dan kuliah. Rama menyembunyikan pekerjaan ibunya dari semua orang dan tidak mau menggunakan uang kiriman ibunya. Dia juga tak mau pulang ke kampung halamannya, meski Lasmini sangat merindukannya.

chap-preview
Free preview
1. Aku Tidak Pulang
“Oke, pekan depan kamu ambil data lagi.”  Begitu perkataan Pak Hadi, dosen pembimbing skripsiku, sekaligus menutup pertemuan kami sore itu. Hampir saja aku membeku, setelah dua jam aku duduk terdiam di ruangan dingin ini, menunggu Pak Hadi mengoreksi pekerjaanku selama sebulan terakhir.  “Baik, Pak. Pekan depan saya akan ambil data kembali.”  “Terima kasih, Pak. saya izin pamit dulu.” Aku memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan. Setelah bersalaman, aku segera keluar sambil membawa setumpuk kertas yang sudah penuh dengan coretan tinta merah.  Gagal lagi, gagal lagi, batinku. Untuk keempat kalinya data yang aku ambil salah. Pekan depan akan menjadi percobaan yang kelima, dan semoga menjadi yang terakhir. Langkah kakiku cepat menuju masjid kampus untuk melaksanakan sholat ashar. Matahari sudah mulai tenggelam, langit semakin menunjukkan warna jingga. Ding. Seketika ada notifikasi pesan masuk. Andi : Posisi dimana bro? Sudah kuduga, pasti Andi yang mengirim pesan. Setiap sore pasti kami selalu bertemu di kampus, entah untuk sesuatu yang penting atau tidak. Rama : Otw masjid, kenapa? Andi : Sudah makan belum? Ini aku lagi sendirian di kantin. Rama : Oke, setengah jam aku sampai. Sepertinya Andi akan bertanya tentang human trafficking lagi. Dia selalu kepo tentang penyelundupan manusia sejak aku magang di LSM Nirwana, lembaga yang menyelidiki dan mengusut kegiatan penyelundupan manusia di Surabaya.  Sudah dua bulan aku magang di tempat tersebut. Lumayan untuk menambah penghasilan. Selain itu, judul skripsiku juga berhubungan dengan apa yang dikerjakan LSM tersebut. So, no problem, pikirku. Langkahku terhenti di serambi masjid. Lantainya bersih, tampak beberapa orang sedang duduk santai, biasanya menunggu hingga waktu maghrib. Masjid kampus ini cukup besar, muat hingga seribu orang jamaah. Kondisinya selalu ramai sepanjang waktu, terutama oleh mahasiswa yang bergantian sholat di jam pergantian kuliah. Fasilitasnya juga lengkap, termasuk tempat wudhu yang jumlahnya banyak.  “Hai, Ram.”  Suara seseorang memanggil dari belakang. Lelaki berbadan besar dengan kaos polo datang mendekat.  “Budi! Sejak kapan kau dibelakangku?” Aku balik menyapa, ternyata dia Budi, teman dekat satu jurusan. Badan besarnya selalu menjadi ciri khas. Orang akan pasti tahu itu Budi walau melihat dari puluhan meter jauhnya. “Sejak tadi, woy! Sejak kau keluar dari gedung rektorat.” “Oh iya? Maafin Bud,” jawabku sambil tertawa kecil. “Sudah sholat ashar? Ayo jamaah.” Budi menggeleng, kemudian mengangguk. Kami berdua menuju tempat wudhu di sebelah utara masjid. Tempatnya rindang dipenuhi dengan pepohonan. Air yang mengalir juga terasa segar, apalagi ketika membasahi wajahku yang sudah berdebu dan berminyak setelah menjalani hari yang melelahkan ini. “Eh apa merah-merah keluar dari hidungmu, Ram?” “Merah-merah?” Langkahku menuju ke dalam masjid terhenti oleh pertanyaan Budi. Aku langsung meraba bagian hidungku. Benar, ada cairan merah mengalir keluar. Aku mimisan. Seketika aku langsung kembali ke tempat wudhu.  “Kamu duluan aja, Bud. Aku nanti masbuk.” Segera aku mengusap bagian hidung dengan air. Cairan merah itu mengalir cukup banyak dari salah satu lubang hidungku. Sial, malah kambuh lagi, padahal aku sudah minum obat tadi siang. Setelah tiga menit, darah berhenti mengalir. Aku segera mengambil air wudhu kembali. Semoga masih sampai untuk berjamaah walaupun masbuk. “Kenapa tadi, Ram?” Budi memulai pembicaraan lagi selepas sholat ashar. Kami memilih untuk duduk santai sejenak di serambi masjid. “Nggak apa, cuma mimisan. Bentar aja kok tadi keluar darahnya.” “Oalah, kecapekan kali kamu.” “Mungkin, beberapa hari ini sibuk ngejar skripsi.” Budi mengangguk. Bagi semua mahasiswa akhir, satu pekan ini menjadi salah satu yang tersibuk. Semua berusaha merampungkan target pekerjaan masing-masing sebelum masuk Ramadhan dua pekan lagi. Mereka tidak ingin pulang ke kampung halaman dengan membawa beban skripsi ke rumah. Kring. Kring. Dering teleponku berbunyi. Ada panggilan masuk, nomornya tidak tersimpan di kontakku. “Assalamualaikum, halo?” “Waalaikumussalam, Rama?” Suara perempuan lemah menyapa di ujung telpon. Emak di kampung. Kalau saja aku tahu emak yang akan menelpon, pasti tidak akan aku angkat. Seharusnya aku sudah curiga dengan nomor tidak dikenal yang masuk, triknya selalu sama ketika ingin menelponku. Pertanyaannya pun aku sudah hafal, pasti menanyakan kapan aku pulang. “Iya, ada apa?” Aku menjawab dengan datar, tanpa menyertakan sapaan.  “Kabar baik kamu disana? Sebentar lagi bulan puasa, kamu nggak pulang?” Nah, benar kan, batinku. Aku sampai bosan menjawabnya dengan alasan yang sama, skripsi. Walaupun, bukan itu sebenarnya alasanku tidak pulang. Seketika, aku terpikirkan headline berita pagi ini, PSBB mulai diberlakukan lagi pekan depan. Sudah dua pekan sejak berita virus corona itu masuk di Indonesia. Namun, kondisi di sekitar, terutama kampus, masih biasa saja. Hingga, salah satu dosen yang baru pulang dari luar negeri terindikasi positif. Sejak saat itulah kondisi menjadi berubah total. Sampai akhirnya pagi ini, pak Gubernur menetapkan PSBB di provinsi ini. Perjalanan keluar masuk antar kota akan diawasi dengan ketat, mengikuti protokol kesehatan yang ada. Kebijakan ini akan berlaku hingga waktu yang tidak ditentukan. Mungkin sebulan, atau bahkan lebih lama. “Alhamdulillah baik. Sepertinya Rama belum balik kampung ramadhan ini, tadi ada berita kalau PSBB mulai berlaku, akan sulit perjalanan keluar kota. Lagipula ada tugas skripsi yang harus dikerjakan disini. Kalau nggak, Rama bisa nggak lulus tahun ini.” Aku mencoba membuat percakapan sore itu singkat dan jelas, enggan berlama-lama. Aku sudah muak berbicara dengan orang di ujung telepon ini. Seketika hening, tidak ada respon dari ujung telepon. Sepertinya ini jadi kesempatan untukku segera mengakhiri percakapan ini. “Aku duluan ya, ada janji dengan teman. Assalamualaikum.” Aku langsung menutup telepon tanpa menunggu salamku terjawab. Aku menghela napas panjang, terdiam sejenak. Masih terpikir dalam diriku, apakah yang aku lakukan ini benar atau tidak.  “Siapa, Ram?” “Bukan siapa-siapa, orang di kampung.” “Oh, emakmu?” Aku terdiam. Tidak mau aku menjawab pertanyaan Budi, walaupun jawabannya cukup satu kata saja.  “Eh aku duluan ya, Bud. Ada janji sama teman di kantin, keburu maghrib.” Aku langsung berinisiatif pergi, tanpa menghiraukan pertanyaan Budi sebelumnya. Dengan memasang wajah ceria dan tersenyum, aku langsung menyalami Budi dan kemudian pergi. Segera aku memakai sepatu dan melangkah menuju kantin dengan hati yang sedikit risau. Matahari semakin dekat untuk tenggelam, senja hadir dengan cerah tanpa ada awan yang menghalangi. Kantin sudah tampak dalam pandangan. Tidak terlalu ramai, apalagi setelah berita PSBB dengan cepat menyebar. Semua orang menggunakan maskernya masing-masing. Seseorang duduk di meja bundar. Tampak sudah menunggu lama. Pakaiannya sederhana, seperti biasa. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.3K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.7K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook