Chapter 5

1276 Words
Seperti tertangkap basah sudah berselingkuh, Jack langsung berdeham dan menghampiri Phoebe. Laki-laki itu berdiri tepat di samping Phoebe dan tersenyum lebar ke arahnya. Emosi yang barusan sempat naik ke permukaan karena dia merasa Haikal sudah mencari kesempatan dalam kesempitan kepada Aurora, sirna entah ke mana. Pusat perhatian dan titik fokusnya kini hanyalah ke arah Phoebe.             Ke arah gadis yang sangat disayanginya itu.             “Halo, Phobia,” sapa Jack dengan nick name yang dia ciptakan untuk gadis keturunan keluarga tersohor itu. “Lagi ngapain di sini?”             “Mancing ikan!” Phoebe memutar kedua bola matanya dan mendengus. Dia kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Jack, Aurora dan Haikal. Sebelum benar-benar pergi, Phoebe sempat menatap Aurora dan sedikit tersenyum ke arah gadis itu. Entahlah, Phoebe juga kurang mengerti apa yang sudah terjadi pada dirinya beberapa saat yang lalu. Dia seperti merasa kesal dan emosi ketika Aurora memegang lengan Jack dan Jack yang bertindak seolah sedang melindungi Aurora dari laki-laki berkacamata tadi.             “Phobia!” seru Jack memanggil gadis itu. Dia sudah sempat berlari, mengejar Phoebe yang mendadak keluar lagi dari restoran cepat saji itu, kemudian memutar tubuhnya lagi. Jack menghampiri Aurora, memasang tubuh tegapnya di depan gadis itu sambil tersenyum lebar.             Senyuman yang sangat indah di mata Aurora.             Senyuman yang sudah berhasil membuat Aurora jatuh hati kepada Jack.             “Makasih buat makanannya, Ra,” kata Jack tulus. Dia memegang kedua pundak Aurora. “Lain kali, gue akan traktir apapun yang lo mau.”             Terlalu kaget, Aurora hanya bisa membulatkan mata dan mengerjap. Membuat wajah gadis itu terlihat lucu dan menggemaskan. Membuat Haikal, yang masih berada disekitar Jack dan Aurora tersenyum tipis tanpa sadar. Membuat laki-laki itu ingin mengacak rambut Aurora karena terlalu gemas dengan ekspresi wajahnya.             Wait a second.             Haikal bahkan tidak mengenal Aurora, Jack dan seorang gadis lainnya yang tadi dipanggil ‘phobia’. Aurora hanyalah seorang customer yang tidak sengaja menginjakkan kakinya di restoran cepat saji ini untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Tapi, coba lihat Haikal sekarang. Bisa-bisanya dia berpikir untuk mengacak rambut gadis menggemaskan itu?             Sudah mulai tidak waras sepertinya.             “Janji?” tanya Aurora tanpa sadar. Dia mengulurkan kelingkingnya, membuat Jack tertawa renyah dan langsung mengaitkan kelingkingnya tanpa pikir panjang. Setelahnya, Jack mengacak rambut Aurora, membuat gadis itu membeku di tempatnya dan Haikal yang mengangkat satu alis sambil mendengus tanpa sadar.             “Janji!” tegas Jack. Dia kemudian menepuk pundak Aurora beberapa kali. “Gue cabut dulu, oke?”             Aurora hanya bisa pasrah ketika Jack kembali berlari. Pasti laki-laki itu akan mengejar Phoebe. Aurora bukan orang yang t***l dan buta. Jack benar-benar cinta terhadap Phoebe dan dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk bisa menjatuhkan hati Jack.             “Pacarnya kok dibiarin pergi ngejar cewek lain, Mbak?”             Pertanyaan itu membuat Aurora tersadar dan mengerutkan kening. Dia menoleh, menatap si manajer restoran dengan name tag bertuliskan Haikal Putra dengan tatapan bingung.             “Pacar?”             Haikal mengangguk dan menunjuk Jack yang sudah menghilang dari balik pintu dengan dagunya.             “Yang tadi itu pacar Mbak, kan?”             Aurora tersenyum dan menggelengkan kepala. Senyuman gadis itu membuat Haikal merasa aneh pada dirinya sendiri. Untuk sesaat tadi, dia merasa detak jantungnya sempat terhenti, sebelum kemudian kembali berfungsi sebagaimana mestinya.             “Bukan. Dia bukan pacar gue.” Aurora membungkukkan tubuhnya sedikit untuk berpamitan. “Gue permisi.”             Haikal mengikuti kepergian Aurora dengan pandangan. Sambil menarik napas panjang dan memijat pelipisnya, laki-laki itu bersiap kembali ke tempatnya di dalam. Namun, dia harus menunda keinginannya karena tidak sengaja menangkap sosok Aurora yang terjatuh di luar sana melalui jendela restoran tersebut.             Tanpa basa-basi, Haikal bergegas menghampiri Aurora. Dia mendekati gadis itu, yang kini sibuk memegangi pergelangan kakinya sambil meringis menahan sakit. Haikal bersimpuh dengan satu lutut menyentuh aspal dan menatap Aurora yang ikut menatapnya dengan kening berkerut.             “Nggak apa-apa, Mbak?” tanya Haikal.             Sebal dipanggil ‘Mbak’ karena menurutnya sebutan itu terlalu tua untuknya, Aurora mendengus dan berdecak.             “Nama gue Aurora. Just call me Rora.”             Haikal mengangkat bahu kemudian mengangguk. Disentuhnya pergelangan kaki Aurora dan gadis itu mengaduh.             “Sepertinya kamu terkilir, Rora.”             “Nggak usah terlalu formal sama gue, Haikal,” balas Aurora. Gadis itu menunjuk name tag yang digunakan oleh Haikal, menjawab pertanyaan tersirat dari laki-laki itu mengenai dirinya yang tahu akan nama Haikal. Haikal tertawa renyah dan menarik napas panjang.             “Biar gue antar lo pulang.”             “What?”             “Kaki lo jelas terkilir. Biar gue antar lo pulang,” kata Haikal lagi. “Kebetulan, gue juga udah mau pulang. Pekerjaan gue udah selesai di sini.”             “Gue bisa pulang naik taksi.” Aurora masih saja berkelit. Pulang dengan seorang laki-laki yang baru saja dikenalnya? Ha! Makasih banyak, deh! Aurora ogah kalau harus terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia masih ingin berkarir. Dia masih ingin memiliki gaji besar nantinya. Pernikahan jelas bukan hal yang dia inginkan untuk saat ini.             “Tenang aja,” ucap Haikal lagi. Nada suaranya terdengar geli, membuat Aurora tersadar dari lamunan anehnya dan menatap laki-laki berkacamata itu. “Gue tau apa yang lagi menari-nari dengan indahnya di otak lo itu, Ra. Gue bukan orang jahat. Gue paham dosa. Seandainya gue khilaf pun, gue akan langsung bertanggung jawab, kok. Kalau gue kabur, lo bisa laporin gue ke polisi.”             Aurora mengerjapkan matanya dan mendengus. Sialan benar laki-laki bernama Haikal ini. Baru berkenalan sudah berani sok akrab dengannya.             Tanpa peringatan, Haikal menyusupkan tangannya ke lekukan lutut Aurora dan punggung gadis itu. Dengan satu gerakan cepat, Haikal mengangkat tubuh Aurora, membuat gadis itu memekik tertahan dan langsung menoleh ke sana-kemari. Fokusnya kemudian kembali ke arah Haikal yang menatapnya polos.             “Apa?” tanya laki-laki itu.             “Turunin gue!”             “Kaki lo terkilir, Aurora.”             Ada sesuatu yang membuat Aurora tertegun ketika mendengar Haikal memanggil namanya. Entahlah, rasanya seperti nyaman saat mendengar cara laki-laki itu memanggil namanya.             “Lo bisa memapah gue! Turunin!”             “Nggak usah keras kepala. Gue bawa lo ke mobil gue dulu.”             Aurora hanya bisa pasrah dan membiarkan Haikal membawanya ke mobil Everest laki-laki itu. ### Hari ini, ada acara ulang tahun kampus tempat Phoebe menimba ilmu. Gadis itu sudah masuk ke stand-stand yang ada di lapangan dan pelataran parkir kampus. Saat ini, dia sedang tertarik dengan salah satu stand dari unit kegiatan mahasiswa pecinta alam. Phoebe menatap ke arah senior yang sedang climbing di wall milik kampus dengan tatapan penuh minat.             “Ayo, ada yang berminat untuk mencoba climbing?” tanya seorang mahasiswa dengan senyuman lebarnya. Tanpa pikir panjang, Phoebe segera mengangkat tangan. Gadis itu menyukai tantangan.             Setelah dipasangkan alat-alat yang memang harus digunakan, Phoebe menatap wall di depannya dengan penuh tekad. Gadis itu tersenyum miring, senyuman khas dirinya jika sudah merasa tertantang akan sesuatu. Kalau dipikir-pikir lagi olehnya, sepertinya semua anggota keluarga Abimanyu tidak ada yang beres semua. Selalu saja menyukai tantangan yang bisa memacu adrenalin.             “Siap?” tanya si mahasiswa itu lagi. Phoebe mengangguk mantap dan mulai memanjat.             Baru beberapa pijakan Phoebe memanjat wall tersebut, sebelah kakinya tergelincir. Alhasil, gadis itu tidak bisa memijak kedua kakinya dengan benar dan bergelantung di pertengahan wall. Semua orang yang melihat—para mahasiswi tentu saja, langsung berteriak histeris. Tapi, tidak dengan Phoebe. Gadis itu tetap tenang di tempatnya walau dia sudah bergelantung. Nyaris terjatuh kalau Phoebe tidak mengingat bahwa dia akan baik-baik saja karena pengaman yang melekat di tubuhnya. Selain itu, seseorang sepertinya menahan pergelangan tangannya. Mungkin orang lain yang juga mencoba climbing tepat di sampingnya. Sekilas, Phoebe memang melihat ada seseorang yang sudah lebih dulu memanjat.             “Terima ka—“             Ucapan terima kasih itu terhenti di udara. Ketika Phoebe mendongak, berniat mengucapkan kata tersebut, dia terpaku. Di sana, beberapa hanya berkisar dua pijakan dari tempatnya, orang tersebut menahan pergelangan tangannya. Dia mengedipkan sebelah mata dan tersenyum lembut.             Senyuman yang, sialnya, membuat jantung Phoebe menghentak-hentak dadanya tanpa ampun.             Sialan!             Ada apa dengannya?!             “Gue tau lo anggota keluarga Abimanyu. Ketiga Abang lo jago berantem semua dan gue yakin, baik mereka dan elo sendiri nggak takut akan bahaya apapun. Tapi, di sini, sampai kapanpun, gue akan bertindak sebagai orang yang akan selalu melindungi dan menjaga lo. Gimana? Apa gue udah bisa lolos untuk masuk ke keluarga Abimanyu? Hmm?”             Dia, Jack Thampson. ###  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD